Konten dari Pengguna

Implikasi Ketegangan Laut China Selatan Terhadap Kedaulatan Maritim Indonesia

MOH ALI S M
Mahasiswa Pascasarjana Pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas Airlangga Surabaya
15 Mei 2024 13:41 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari MOH ALI S M tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.shutterstock.com/id/image-photo/south-china-sea-506070154
zoom-in-whitePerbesar
https://www.shutterstock.com/id/image-photo/south-china-sea-506070154
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Laut China Selatan adalah salah satu wilayah maritim paling strategis dan diperebutkan di dunia. Dengan luas sekitar 3,5 juta kilometer persegi, kawasan ini merupakan jalur pelayaran penting yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia, dan menyimpan cadangan sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak dan gas.
ADVERTISEMENT
Sejarah ketegangan di Laut China Selatan dapat ditelusuri kembali ke beberapa dekade lalu, ketika klaim teritorial yang tumpang tindih antara negara-negara pesisir mulai memicu perselisihan seperti Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei. Persaingan atas sumber daya alam, seperti minyak dan gas, serta jalur perdagangan yang strategis, menjadi pemicu utama ketegangan.
Pembangunan infrastruktur militer di pulau-pulau terpencil, kegiatan militer yang meningkat, dan campur tangan negara-negara eksternal, terutama Amerika Serikat, semakin memperumit situasi, menciptakan lingkungan yang rentan terhadap eskalasi konflik di wilayah tersebut.
Tiongkok menjadi aktor dominan dengan klaimnya yang luas, yang sering disebut sebagai "Garis Sembilan Putus" (Nine-Dash Line), yang mencakup hampir seluruh Laut China Selatan. Klaim ini sering berbenturan dengan klaim dari negara-negara lain, yang sebagian besar didasarkan pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
ADVERTISEMENT
China memanfaatkan kelemahan ekonomi Barat untuk memperkuat klaimnya di Laut China Selatan, mengakui sembilan garis putus-putus pada 2009 saat Barat mengalami krisis ekonomi. Namun, sekarang, dengan meningkatnya kekuatan China, mereka melihat kesempatan untuk memperluas kontrol mereka, termasuk ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara tetangga, seperti Indonesia
Bahkan berdasarkan penjelasan langsung yang disampaikan oleh Bapak Andika Prakasa dalam forum yang diselenggarakan oleh Indonesia Strategis & Defence Studies (IDDS) yang bertajuk 'Kamu Bertanya Jenderal Andika Perkasa Menjawab; Pertahanan Indonesia Dan Perkembangan Geopolitik Terkini', disampaikan sebuah fakta baru terkait dash line yang ada di peta standar China keluaran terbaru. Ia menyampaikan bahwa "sebutannya saja Nine-Dash Line, akan tetapi pada faktanya yang tergambar itu ada sepuluh garis putus-putus. Taiwan masuk ke dalam dash line yang kesepuluh sebagai teritori barunya. Sehingga, ini menimbulkan ancaman terhadap Filipina terkait Teritorial Water sesuai Konvensi PBB tentang Hukum Laut". Tidak hanya itu, negara lain yang terganggu saat ini adalah India dan Rusia.
ADVERTISEMENT
Di tengah ketegangan ini, Indonesia memegang posisi yang cukup unik. Meskipun Indonesia tidak memiliki klaim teritorial di Laut China Selatan, wilayah perairan Natuna yang kaya sumber daya sering menjadi sasaran klaim sepihak oleh Tiongkok. Hal ini menempatkan Indonesia dalam posisi yang rentan dan memaksa negara ini untuk meningkatkan patroli maritim dan memperkuat kehadiran militernya di kawasan tersebut untuk mempertahankan kedaulatannya.
Ancaman Konflik Laut China Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia
https://www.shutterstock.com/id/image-photo/indonesia-on-map-travel-background-texture-2319140095
Implikasi bagi kedaulatan wilayah Indonesia terkait dengan konflik di Laut China Selatan menunjukkan kompleksitas hubungan antarnegara di kawasan tersebut. Kepulauan Natuna menjadi titik fokus dalam persaingan klaim wilayah, terutama setelah Tiongkok mengumumkan peta baru pada 2023 yang menambahkan sebagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna ke dalam wilayahnya. Hal ini menimbulkan ketegangan dan meningkatkan kekhawatiran atas kedaulatan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kehadiran kapal-kapal Tiongkok di sekitar Natuna telah menjadi perhatian serius bagi Indonesia. Pada Januari 2020, kapal Tiongkok diduga melakukan pencurian ikan di perairan Natuna, yang menyebabkan konfrontasi diplomatik antara kedua negara. Lebih lanjut, Tiongkok juga meningkatkan kegiatan militer dan patroli di sekitar Kepulauan Natuna, memperdalam ketegangan.
Upaya diplomatik terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan konflik ini. Pada Januari 2021, Indonesia mengadakan pertemuan bilateral dengan Tiongkok untuk membahas isu-isu maritim, meskipun hasilnya belum mencapai penyelesaian yang memuaskan. Pemerintah Indonesia juga mengintensifkan patroli laut dan udara di sekitar Natuna untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya.
Pada tahun 2021, Indonesia juga meluncurkan stasiun radar baru di Natuna, sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat pengawasan terhadap perairan tersebut. Langkah-langkah seperti ini menegaskan komitmen Indonesia untuk melindungi kedaulatannya di tengah klaim yang saling tumpang tindih dan meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan. Meskipun tantangan tetap ada, Indonesia terus berupaya menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan tersebut.
ADVERTISEMENT
Langkah Strategis Indonesia dalam Menghadapi Ancaman di Laut China Selatan
Menghadapi ketegangan di Laut China Selatan, Indonesia perlu menerapkan berbagai langkah strategis yang melibatkan aspek pertahanan dan diplomasi. Penguatan pertahanan maritim menjadi salah satu langkah utama, dengan memperkuat kapasitas TNI Angkatan Laut dan Badan Keamanan Laut (Bakamla). Ini termasuk peningkatan alutsista dan patroli rutin di wilayah Natuna untuk memastikan kedaulatan terjaga.
Selaras dengan itu, pengamat militer dan Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menegaskan bahwa penguatan TNI diperlukan untuk mengantisipasi potensi konflik di Laut China Selatan, mengingat ketegangan yang terus meningkat dan klaim teritorial yang agresif dari China. Pendekatan ini harus mencakup peningkatan patroli maritim dan kerjasama yang lebih erat dengan negara-negara ASEAN
ADVERTISEMENT
Selain penguatan militer, pendekatan diplomasi multilateral dan bilateral juga sangat penting. Indonesia harus terus aktif dalam forum ASEAN untuk mendorong penyelesaian damai dan kerjasama regional. Hal ini termasuk mendukung pembentukan dan implementasi Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan untuk mengurangi risiko konflik dan memastikan kepatuhan terhadap hukum internasional.
Pengamat hubungan internasional, Teuku Rezasyah, menambahkan bahwa ketegangan ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan militer atau diplomasi biasa. Diperlukan strategi yang lebih terkoordinasi dan kolaboratif dalam forum ASEAN​​. Selain itu, ancaman terhadap kedaulatan Indonesia tidak hanya berasal dari klaim teritorial, tetapi juga dari intervensi kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat dan China yang memperumit dinamika geopolitik di kawasan tersebut​.
Indonesia juga perlu memperkuat kerjasama dengan mitra internasional, termasuk Amerika Serikat, untuk menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan. Kolaborasi ini dapat mencakup latihan militer bersama dan pertukaran informasi intelijen yang bertujuan memperkuat keamanan maritim regional.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penting bagi Indonesia untuk melibatkan masyarakat lokal, terutama nelayan di wilayah Natuna, dalam upaya menjaga kedaulatan. Pemberdayaan masyarakat melalui program ekonomi dan pendidikan akan meningkatkan kesadaran dan partisipasi aktif mereka dalam menjaga wilayah perairan Indonesia.