Perhutanan Sosial: Jalan Panjang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Indonesia

Luthfan Nugraha
Peneliti di Pusat Riset Ekologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) - Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (KLHK)
Konten dari Pengguna
23 September 2023 9:44 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Luthfan Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Jokowi membagikan SK Perhutanan Sosial dalam Festival LIKE di Indonesia Arena GBK, Jakarta (dok. Kementerian LHK)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi membagikan SK Perhutanan Sosial dalam Festival LIKE di Indonesia Arena GBK, Jakarta (dok. Kementerian LHK)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk kesekian kalinya secara simbolik menyerahkan Surat Keputusan (SK) Perhutanan Sosial dan Surat Keputusan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) kepada perwakilan kelompok masyarakat dari berbagai daerah.
ADVERTISEMENT
Penyerahan SK tersebut berbarengan dengan puncak acara Festival Lingkungan, Iklim, Kehutanan, Energi Baru Terbarukan (LIKE) yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di GBK Arena, Senayan, Jakarta Selatan, Senin, 18 September 2023.
Dalam sambutannya Presiden mengatakan hingga saat ini pemerintah telah banyak membagikan sertifikat Perhutanan Sosial dan TORA kepada masyarakat. Mengacu pada data Kementerian LHK, setidaknya hingga September 2023 pemerintah telah menyerahkan SK Hutan Sosial seluas 6,37 juta hektare (ha) bagi 1,29 juta Kartu Keluarga dalam 9.642 kelompok atau gabungan kelompok.
Sedangkan berdasarkan targetnya, perhutanan sosial ditargetkan dapat mencapai 12,7 juta ha pada tahun 2030. Artinya Pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk menambah jangkauan program perhutanan sosial sebanyak 6,33 juta ha hingga tujuh tahun mendatang.
ADVERTISEMENT
Apabila kita kilas balik, Presiden Jokowi sejak awal periode pertama masa pemerintahannya memang sudah mencanangkan program yang dinamai Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) ini sebagai salah satu prioritas kebijakan pembangunannya.

Apa Itu Perhutanan Sosial dan Mengapa Penting?

Ilustrasi hutan dan penanaman pohon. Foto: KLHK
Perhutanan sosial adalah program pemberian izin pengelolaan hutan negara kepada masyarakat sekitar hutan, termasuk masyarakat adat. Bentuknya melalui berbagai skema seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan.
Kebijakan ini menjadi begitu penting dan strategis karena sebagai bentuk upaya dari pemerintah untuk bisa menyeimbangkan pembangunan serta pengelolaan Sumber Daya Alam yang adil dan berkelanjutan. Kebijakan ini menegaskan kembali kehadiran negara untuk mengatasi ketimpangan pengelolaan hutan yang selama ini di dominasi oleh korporasi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kebijakan ini juga terkait dengan upaya solusi konflik dan pengentasan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan. Kata kunci yang bisa menjadi perekat visi bersama itu adalah “pengentasan masyarakat miskin” atau “kesejahteraan” karena cita-cita dalam perhutanan sosial adalah meningkatkan ekonomi dan taraf hidup masyarakat di sekitar hutan, sekaligus mengelola hutan secara lestari.
Dalam perhutanan sosial, setiap orang yang terlibat dalam progam ini mesti bekerja untuk menurunkan kemiskinan dan mencapai tutupan lahan hutan sebagai tujuan ekologi.
Tujuan perhutanan sosial juga sesuai dengan beberapa target (goals) pelaksanaan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang terdiri atas 17 tujuan. Jika diadopsi, tiga tujuan tersebut sejalan dengan tujuan SDG’s karena 10 tujuan di antaranya terkait dengan perhutanan sosial.
ADVERTISEMENT

Masyarakat Sekitar Hutan Sebagai Aktor Terdepan

Masyarakat sekitar hutan merupakan aktor terdepan yang merasakan dampak langsung dari kerusakan hutan yang terjadi. Keberhasilan pengelolaan hutan di masa depan tidak terlepas dari kondisi kehutanan saat ini.
Keberhasilan pengelolaan hutan ini juga berkorelasi dengan kondisi masyarakat di sekitar hutan, kepastian kawasan hutan, kepastian usaha kehutanan dan partisipasi masyarakatnya.
Konflik tenurial yang terus terjadi dan potensi sumberdaya hutan dan kontribusinya terhadap pembangunan yang terus menurun, menuntut adanya suatu konsep pengelolaan yang adaptif dan memiliki resiliensi dengan kondisi sosial ekonomi, politik dan biofisik hutan.
Izin perhutanan sosial untuk merespons isu-isu tersebut telah banyak diterbitkan namun operasionalisasi perhutanan sosial di lapangan masih menjadi pertanyaan yang sulit dijawab.
ADVERTISEMENT
Kebijakan dan program perhutanan sosial semakin berkembang seiring dengan era/rezim pemerintahan yang berlangsung di Indonesia. Transisi pemerintahan yang lebih demokratis juga mendorong transisi pengelolaan hutan ke arah devolusi hutan dengan berbagai permasalahan yang dihadapi.
Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi menjadikan perhutanan sosial memasuki era baru dengan harapan semakin luasnya akses masyarakat dalam pengelolaan hutan. Periode pemerintahan ini memiliki target ambisius terkait luas perhutanan sosial di Indonesia yang mencapai 12,7 juta hektare.
Berbagai perangkat dan upaya disiapkan pemerintah untuk mewujudkan target tersebut. Salah satu upaya tersebut dilakukan dengan memberikan legalitas akses kelola kawasan hutan melalui beberapa bentuk kelola hutan sosial yang disesuaikan dengan fungsi hutannya.
Akses masyarakat menjadi hal yang paling mendasar dalam program perhutanan sosial. Legalitas akses terhadap kawasan hutan menunjukkan jaminan keamanan tenurial bagi masyarakat yang penghidupannya bergantung pada kawasan hutan.
ADVERTISEMENT
Secara teoritis, Jesse C. Ribot, profesor geografi lingkungan dari University of Illinois sekaligus penulis buku “A Theory of Access: Rural Sociology” menjelaskan bahwa akses menunjuk pada “kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu” dalam rentang hubungan sosial yang lebih luas yang membatasi atau memungkinkan orang untuk memperoleh manfaat dari beragam sumberdaya tanpa fokus hanya pada hak yang melekat.
Dalam konteks perhutanan sosial, akses tidak hanya sekadar hak kelola kawasan namun juga terkait dengan kemampuan yang dimiliki untuk memperoleh manfaat dari objek kawasan hutan yang dikelola. Kemampuan yang dimiliki juga terkait dengan kuasa (power) dalam rentang ikatan (bundle of power) dan jejaring (web of power) yang melekat dan diperoleh melalui suatu mekanisme, proses dan hubungan sosial.
ADVERTISEMENT
Setelah izin perhutanan sosial diperoleh, operasionalisasi perhutanan sosial menjadi tantangan besar dalam keberhasilan program perhutanan sosial. Dukungan akses terhadap berbagai faktor pemungkin yang mendukung keberhasilan program perhutanan sosial masih tetap diperlukan terhadap berbagai kelompok perhutanan sosial setelah izin diperoleh.

Meningkatkan Penghidupan Masyarakat Sekaligus Mempertahankan Kelestarian Hutan

Eduwisata Kopi yang di kelola oleh LMDH Bukit Amanah (dok. PKPS, PSKL KemenLHK)
Pemberian izin perhutanan sosial, diharapkan bisa menjaga kelestarian hutan, juga menjadikan masyarakat mandiri secara ekonomi, “hutan lestari rakyat sejahtera”. Dalam rangka mencapai tujuan itu, perlu kolaborasi para pihak, sinkronisasi, serta tahapan-tahapan yang perlu diwujudkan bersama.
Keberhasilan perhutanan sosial yang pertama yakni menciptakan masyarakat mandiri secara ekonomi akan terbentuk apabila kelompok tani sekitar hutan terlembaga dengan baik.
Para petani harus membentuk kelembagaan berbadan hukum, seperti koperasi atau badan usaha milik desa (bumdes), sebelum mengajukan legalisasi akses mengelola hutan di sekitar permukiman mereka.
ADVERTISEMENT
Dengan legalitas tersebut para petani bisa meningkatkan negosiasi dengan mitra keuangan maupun pasar serta bisa mengelola arus kas koperasi atau bumdes dengan dukungan lembaga keuangan.
Selanjutnya, keberhasilan perhutanan sosial yang kedua yakni tetap menjaga kelestarian hutan akan terjadi apabila fungsi-fungsi ekologis hutan tidak terganggu. Perlu semacam kesepakatan Bersama dalam menjaga ruang dalam lanskap perhutanan sosial yang diberikan izin oleh pemerintah kepada masyarakat.
Seperti contohnya dalam menetapkan kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi (high conservation value forest), seperti adanya sumber mata air, berada di kiri-kanan sungai, dan area dengan kelerengan tinggi atau habitat satwa liar, masyarakat mesti menetapkannya sebagai area perlindungan.
Apabila kedua aspek tersebut bisa terpenuhi dengan baik maka ungkapan “hutan lestari rakyat sejahtera” bukan mustahil dapat terwujud. Sehingga jalan panjang pencarian keadilan pengelolaan sumber daya alam di Negeri ini pun bisa terjawab, yakni dengan Perhutanan Sosial.
ADVERTISEMENT