Ironisnya Kaum Intelektual Kita dan Gagalnya Gerakan Kerakyatan di Indonesia

Luthfi Ridzki Fakhrian
Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
13 Mei 2023 14:47 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Luthfi Ridzki Fakhrian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Protes kaum Intelektual yang membela kesetaraan dan hak asasi manusia, Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Protes kaum Intelektual yang membela kesetaraan dan hak asasi manusia, Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berbicara tentang Indonesia, rasanya hari ini tidak bisa lepas kaitannya dengan peran kaum intelektual. Secara sosiologis, kaum intelektual adalah sebutan atas julukan untuk mereka yang diberikan berdasarkan pemikiran, pandangan dan hasil karya serta peranan sosial kulturalnya.
ADVERTISEMENT
Kaum intelektual biasanya independen dari hubungan-hubungan kekuasaan, tapi dengan merebaknya berbagai organisasi dan gerakan dari kaum intelektual, jelas terjadi pergeseran makna “kaum intelektual” di tengah masyarakat.
Ada pendapat bahwa biasanya organisasi kaum intelektual yang menjadi ladang gerakan kaum intelektual, umumnya didirikan dalam situasi sosial politik yang biasanya dilatarbelakangi pertimbangan ganda. Pertama, konsolidasi politik baik untuk mobilisasi kelompok maupun untuk artikulasi kepentingan dan “ideologi” tertentu.
Kedua, kurang optimalnya organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ada dalam menampung dan menyalurkan aspirasi sosial politiknya yang kian beragam. Langkah ini juga dimaksudkan agar mereka tak sulit meraih legitimasi sosial.
Terlepas setuju atau tidak, gejala sosial ini mengindikasikan adanya persaingan politik yang tajam, sebuah isyarat bahwa kelompok-kelompok dalam kelas menengah kita sudah tidak mau lagi terus menerus mengambil sikap diam. Pilihan untuk melahirkan gerakan dengan mendirikan organisasi intelektual menunjukkan pilihan politis dan ideologis untuk berperan di panggung-panggung masyarakat saat ini.
ADVERTISEMENT

Sebuah Gugatan dari Rakyat Semesta

Aksi unjuk rasa di depan kompleks kantor Gubernur Jawa Tengah diwarnai kericuhan pada Kamis (13/4) sore. Foto: Intan Alliva Khansa/kumparan
Dengan adanya pembentukan berbagai gerakan dan organisasi kaum intelektual itu, menjadi pertanyaan dan gugatan. Apakah mereka bermaksud memperkuat posisi tawar masyarakat kita, sebagai “the real power” atau hanya kekuatan moral yang “pseudo” (semu) belaka? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan refleksi dari kegamangan masyarakat akan peta dan situasi politik dewasa ini.
Hal ini menjadi pertanyaan dan gugatan karena kaum intelektual di Indonesia seringkali memainkan perannya dalam dinamika politik nasional dan menjadi bagian dari kelas menengah di Indonesia, namun yang sering dijumpai kaum intelektual kita biasanya sangat sukar untuk dipisahkan dengan keterlibatan mereka dalam percaturan kekuasaan.
Selain itu ironisnya, pada dewasa ini peran kaum intelektual di Indonesia justru makin menguat dan menjadi perhatian politik bukan karena pencariannya akan kebenaran dan perjuangannnya untuk menegakkan demokrasi dan kebebasan, melainkan oleh praktik dan wacana politiknya yang mengarah kepada “power struggle” terselubung.
ADVERTISEMENT
Mengambil sudut pandang historis, Vaclav Havel pemimpin Revolusi Beludru di Cekoslowakia, setidaknya jauh hari telah lama mengingatkan bahwa bila politik selalu difokuskan atau dikonotasikan dengan kekuasaan, bukan disublimasikan pada tata nilai moral dan etis untuk memperdayakan dan mencerdaskan masyarakat mengenai hak-hak dan kewajibannya, maka politik akan menimbulkan ketegangan atau bahkan konflik di seputar pusat kekuasaan.
Hal ini bisa terjadi karena ada semacam krisis tersembunyi yang sukar untuk dipecahkan dari kaum intelektual di Indonesia, terkait tataran ide, cita-cita, cara pandang, dan prinsip politik yang melatarbelakanginya, sehingga tidak heran berbagai gerakan dan organisasi yang dipimpin oleh kaum intelektual akhir-akhir ini meski sama-sama memakai simbol “kelas pekerja, demokrasi ataupun hak asasi manusia”, seringkali sering bertentangan satu dengan yang lainnya.
ADVERTISEMENT

Masih Pantaskah Jadi Harapan Masyarakat Tertindas?

Sejumlah warga beraktivitas di rumahnya di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Jumat (30/9/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Ironis, bahkan paradoks itu se olah tak terelakkan. Di saat masyarakat memerlukan kaum intelektual sebagai pembebas dan pembela hak-hak warga negara yang tertindas, kaum intelektual kita sebagian besar justru cenderung mengejar kepentingan kekuasaan atas nama kepentingan kebangsaan, mayoritas atau pluralisme.
Sehingga tidak mengherankan jika masyarakat dipenuhi tanda tanya apakah kaum intelektual masih pantas menjadi harapan masyarakat mereka? Apakah mereka masih mendengarkan suara masyarakatnya?
Apakah kaum intelektual kita masih bisa independen di tengah kooptasi dan korporatisasi di Indonesia yang saat ini begitu hegemoni? Apakah yang mereka perjuangkan dengan nasib buruh murah kita, dengan persoalan deforestasi hutan dan marginalisasi rakyat dari sumber daya ekonomi dan politiknya?
ADVERTISEMENT
Merujuk pada pemikiran Julien Benda dalam Buku Pengkhianatan Kaum Cendekiawan (1999), maka hari ini barangkali ia akan bertanya siapakah gerangan intelektual indonesia, mau apa dan hendak ke mana.
Benda sendiri adalah penganjur yang keras agar kaum intelektual tidak mengejar tujuan-tujuan praktis. Baginya, kaum intelektual adalah orang yang mencari hal-hal yang tidak menghasilkan keuntungan kebendaan maupun keuntungan ekonomi dan politik.
Dengan demikian, konteks duniawi bagi sang intelektual tidaklah menjadi kebutuhan hakiki. Karena itu ketika Julien Benda menyaksikan kaum intelektual berpihak pada gerakan Nazi Jerman, tidak bisa dibayangkan betapa kecewa dan pedih dirinya, sehingga ia menulis kisah “Pengkhianatan Kaum Cendekiawan” yang masyhur di mana-mana, termasuk di Indonesia.
Dalam persepsi Benda, menjadi sangat penting peran kaum intelektual dalam menggerakkan perubahan dan mengarahkan masyarakat pada perkembangan peradaban ke depan. Dalam bahasa Edward Shils, maka sudah semestinya kaum intelektual itu bergairah untuk berbakti kepada kebenaran. Barangkali pandangan Benda dan Shils itu terkesan romantik.
ADVERTISEMENT

Beban Tinggi dan Hilangnya Kepercayaan Rakyat untuk Kaum Intelektual

Aksi unjuk rasa mahasiswa di depan Gedung DPRD Jawa Tengah, Selasa (14/3/2023). Foto: Intan Alliva Khansa/kumparan
Jika dilihat dari perspektif dunia ketiga yang remuk karena kolonialisme, kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi adalah pembangunan dalam berbagai bidang untuk memakmurkan rakyat.
Sebagai kelas yang dikategorikan pintar, tentu kaum intelektual menanggung beban yang begitu berat untuk memandu rakyatnya memenuhi kebutuhan akan kemakmuran itu, karena diharapkan juga mampu meneruskan estafet kepemimpinan, sehingga menuntut mereka harus mampu menangani berbagai persoalan, serta tuntutan untuk selalu kritis dan peka terhadap permasalahan yang ada di sekitarnya.
Di sisi lain, keinginan untuk mengkritisi berbagai kebijakan dengan memunculkan gerakan sosial kerakyatan untuk menyikapi berbagai kesewenangan, ketidakadilan, serta memunculkan perubahan kondisi masyarakat, ternyata tidak banyak menimbulkan simpati dalam sebagian besar masyarakat sendiri.
ADVERTISEMENT
Hal ini terjadi karena biasanya berbagai gerakan dan organisasi yang di inisiasi oleh kaum Intelektual kita seringkali dianggap destruktif, tidak ilmiah dan bisa menimbulkan instabilitas perpolitikan nasional yang berujung pula pada instabilitasi secara ekonomi dan sosial.
Selain itu dalam konteks dunia ketiga termasuk Indonesia di dalamnya, peranan kaum Intelektual kita dalam jalannya sejarah Indonesia, nyatanya telah banyak menimbulkan disilusi pada sebagian masyarakat.
Sebab, kaum intelektual kita yang menjadi aktor pergerakan biasanya seringkali berujung menjadi calon elite politik di masa depan, yang pada akhirnya justru menukar janji-janji kemakmuran yang mereka dengungkan dalam setiap gerakan yang dilakukan, dengan menumpuknya kekayaan pada segelintir orang serta munculnya rezim baru setelah reformasi yang otoriter dan birokratis.
ADVERTISEMENT

Restorasi Peran Kaum Intelektual Indonesia

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) berunjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/3/2023). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Dari sinilah hilangnya kepercayaan dan gugatan terhadap kaum intelektual berawal. Kemunculan rezim otoriter dan birokratis di Indonesia saat ini, terus terang tak dapat dipisahkan dari legitimasi simbolis yang hanya dapat diberikan oleh kaum intelektual. Mereka menjadi aparat simbolis negara yang memperkuat hegemoni atas masyarakat.
Di sinilah, tuntutan pada mereka sudah bukan lagi terbuka pada keterlibatan dalam birokrasi negara, tetapi melakukan kritik dan koreksi terhadap birokrasi itu sendiri sebagai aparatur negara, sehingga diperlukan restorasi kembali peran kaum intelektual.
Pada konteks ini, Antonio Gramsci mengungkapkan pentingnya kaum intelektual dalam menciptakan simbol-simbol dan wacana sebagai kontra hegemoni terhadap reproduksi simbol dan wacana penguasa. Sebab di mata Gramsci, penguasaan dan penjinakan masyarakat oleh penguasa tidak hanya menggunakan pendekatan material, tapi juga moral dan intelektual.
ADVERTISEMENT
Bahkan, lebih jauh, Michel Foucault menunjukkan bahwa pengetahuan dan kekuasaan merupakan relasi yang menalukkan dan hegemoni terhadap masyarakat yang lemah, tersingkir, dan tertekan, sehingga sangat berbahaya bagi kita untuk mempercayakan begitu saja nasib sebuah bangsa atau masyarakat di tangan kaum intelektual.
Sebab, betapa sangat banyak kaum intelektual di Indonesia yang pada akhirnya menjadi bagian dari penguasa justru menyeleweng dari kodratnya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa kaum intelektual juga terlibat dalam krisis-krisis yang terjadi di Indonesia.
Jika saja setiap penyelewengan yang dilakukan itu tidak terkontrol oleh publik, maka apa yang disebut Michel Foucault sebagai bahaya-bahaya dan pengetahuan yang memiliki relasi timbal balik dengan kekuasaan niscaya tidak akan terhindarkan.
Maka sudah seharusnya, restorasi peran kaum intelektual kita dilakukan, agar mereka yang diharapkan perannya dapat memperbarui keadaan, di tengah situasi sosiologis dan politis saat ini, di mana konformitas, ketertundukan, dan patronasi politik yang masih dominan.
ADVERTISEMENT