Jakarta Fashion Week ke-12: Wastra Penyatu Indonesia

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
Konten dari Pengguna
30 Oktober 2019 15:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
BINhouse di Jakarta Fashion Week 2020, Kamis (24/10/2019). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
BINhouse di Jakarta Fashion Week 2020, Kamis (24/10/2019). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
"Wastra itu yang menyatukan kita."
Kalimat tersebut dicetuskan Obin pada salah satu jumpa pers Jakarta Fashion Week (JFW) ke-12 minggu lalu. "Kalau atasan selain kebaya kan juga ada baju bodo atau baju kurung. Pemersatunya, sebenarnya ya wastra," lanjut Obin.
ADVERTISEMENT
Keakuratan dan bijaknya pernyataan tersebut datang dari pengalaman puluhan tahun Obin menggeluti wastra Indonesia, terutama batik. Tiap suku bangsa Indonesia memiliki paling tidak satu jenis wastra tradisional yang mengakar pada sejarah dan budaya, seperti jumputan, batik, dan tenun. Akar ini yang mendasari pernyataan Obin bahwa wastra mempersatukan Indonesia.
Dalam pagelaran bertajuk "Rayuan Kain", Obin menyajikan 48 tampilan dengan berbagai motif batik tulis, tekstur kain dan sapuan warna, tanpa meninggalkan ciri khas Binhouse berupa kerutan kain meruncing dan warna merah bendera Indonesia. Seni gerak-tubuh kali ini dihadirkan murni sebagai tarian kontemporer pembuka yang jauh lebih bisa dinikmati ketimbang babak model menari-nari kecil sambil memeragakan busana yang kadang terlihat janggal bila sang model kurang luwes liuk tubuh atau ekspresi wajahnya. Kain kreasi Obin nyaris tak pernah mengecewakan, dan pagelarannya pun kian menyenangkan.
BINhouse di Jakarta Fashion Week 2020, Kamis (24/10/2019). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Penggarapan pakaian-jadi batik di level pangrajin yang patut dicatat dan mungkin lebih terjangkau bagi khalayak adalah Jarit dan Batik Marunda. Sama-sama mengangkat budaya lokal Betawi, eksekusinya cukup kontras. Batik Marunda bermain dengan motif klasik bernuansa hitam dan merah, palet warna yang cocok untuk kerasnya kawasan perairan seperti Marunda. Jarit, salah satu wakil Dekranasda DKI Jakarta, memilih motif batik tulis ondel-ondel dalam sapuan monokromatik putih dengan latar jingga teduh dari pewarna kunyit— angin segar di antara ramainya pilihan kain Betawi dalam warna-warna mencolok.
Koleksi Jarit di Show Dekranasda DKI, Jakarta Fashion Week 2019. Foto: Lynda Ibrahim
Koleksi Batik Marunda di Show Binhouse, Jakarta Fashion Week 2019. Foto: Lynda Ibrahim
Koleksi Jeny Tjahyawati di Show The Ethnic of West Sumatra, Jakarta Fashion Week 2019 Foto: Lynda Ibrahim
Persilangan yang menarik juga tergambarkan oleh Dekranasda Sumatera Barat. Jeny Tjahyawati menawarkan songket terkenal Pandai Sikek dari Tanah Datar, didesainkan sebagai setelan unik dalam nuansa pastel elegan yang menunjukkan betapa usangnya stereotip tentang songket hanya berwarna tegas atau terlalu kaku untuk desain kontemporer. Pendekatan menarik juga dilakukan De Irma yang mengawinkan tenun Silungkang dari Sawahlunto dengan batik Tanah Liek dari Padang untuk koleksi busana santun yang walaupun bertumpuk tetap memberi tempat bagi kedua wastra untuk bersinar.
ADVERTISEMENT
Sinar banyak disorotkan kali ini pada pagelaran tenun Nusa Tenggara Timur (NTT), yang mungkin adalah keluarga tenun paling kompleks dalam jenis dan teknik. Pada Simposium Tenun Ikat Dunia di Jakarta baru-baru ini pun tenun NTT menarik banyak perhatian.
Koleksi Victor Dino di Show Dekranasda NTT, Jakarta Fashion Week 2019 Foto: Lynda Ibrahim
Di JFW tahun ini, Dekranasda NTT boleh berbangga dengan koleksi cocktail wear bersiluet urban dari Victor Dino yang bekerja dengan tenun Sumba Timur berbenang biru dan Maria Rita yang menggarap tenun Manggarai Barat bermotif Mata Manuk. Sekarang dimotori oleh Julie Laiskodat yang sebelum mengetuai Dekranasda sudah berbisnis mode dibawah brand Levico, besar harapan sumber daya manusia dalam komunitas wastra NTT mendapat pengayaan wawasan desain, dasar bisnis dan standar kualitas.
Koleksi Maria Rita di Show Dekranasda Nusa Tenggara Timur, Jakarta Fashion Week 2019. Foto: Lynda Ibrahim
Sorotan sinar sebenarnya paling dibutuhkan oleh ragam wastra yang belum terlalu diakrabi di luar komunitasnya. Pujian pantas dialamatkan pada Kerukunan Keluarga Kawanua yang telah dua tahun berturut-turut memperkenalkan wastra Minahasa ke forum JFW. Tenun Pinawetengan dan tenun Bentenan yang dihadirkan memiliki kekayaan corak, ragam warna, dan tingkat kualitas pengerjaan yang sudah layak dilirik oleh komunitas pemakai kain atau desainer kontemporer senior yang bisa lebih jauh mengembangkan wastra Sulawesi Utara.
Koleksi Tenun Bentenan di Show Kerukunan Keluarga Kawanua, Jakarta Fashion Week 2019. Foto: Lynda Ibrahim
Koleksi Tenun Pinawetengan di Show Kerukunan Keluarga Kawanua, Jakarta Fashion Week 2019. Foto: Lynda Ibrahim
Peluang untuk berkolaborasi dengan desainer kontemporer juga kadang dibutuhkan oleh wastra yang kental muatan adatnya. Semua faksi adat Sumatera Utara memiliki ulos yang sarat simbol dan kadang pertalian marga tertentu, sedemikian sehingga citra tersebut mengalahkan bayangan ulos sebagai materi busana modern. Humbang Kriya sebenarnya punya kesempatan ini dengan Purana. Kolaborasi berusia dua tahun ini telah sukses bermain dengan jenis tekstil shibori (sejenis jumputan Jepang), batik, songket dan eco-print, ditandai dengan permintaan ekspor berlanjut ke Kuwait. Langkah logis selanjutnya bagi kedua pihak adalah mengolah ulos dari Humbang Hasundutan dan sekitarnya; tantangan tersendiri bagi desainer sesemangat Nonita Respati yang baru saja mengusung Purana ke African Fashion Exchange 2019.
BINhouse di Jakarta Fashion Week 2020, Kamis (24/10/2019). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Adrian Gan, salah satu dari empat desainer mumpuni yang tahun ini terpilih untuk Dewi Fashion Knight, pagelaran pamungkas dan paling bergengsi di Jakarta Fashion Week, memberikan contoh menarik eksplorasi ulos sebagai adi busana yang elegan, urban, dan tanggap pada zaman. Bekerja dengan ulos-ulos antik Pinuncaan yang sudah rapuh dan tak mungkin dipakai lagi sebagai kain tradisional, Adrian melepaskan semua kekangan, termasuk simbol di balik motif ulos, dan mendesainkan koleksi ini murni berdasarkan kreativitas dan estetika pribadinya. Apakah hasilnya indah, menggugah rasa dan bernilai mode tinggi? Tentunya— mengingat kaliber seorang Adrian Gan yang, contohnya, pada 2016 telah sukses mengenali potensi dan berkolaborasi dengan Palantaloom, brand inovatif songket Sumatera Barat.
DEWI FASHION KNIGHTS x Adrian Gan pada Jakarta Fashion Week 2020 di Senayan City, Jakarta, Senin (28/10/2019). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Model mengenakan busana rancangan Humbang Kriya x Purana & Windy Chandra saat peragaan busana pada Jakarta Fashion Week 2020 di Senayan City, Jakarta. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Apakah bijak untuk sepenuhnya mengabaikan makna dan konteks di balik motif wastra Nusantara, yang berisi narasi kehidupan dan terkadang doa? Kesepakatan umum di kalangan pegiat kain Indonesia selalu mengisyaratkan sebaliknya. Dan sesungguhnya, edukasi lisan dan tertulis wastra tradisional kita sudah mulai tersedia. Saran baik datang dari Obin, yaitu untuk berwastra dulu dalam hidup keseharian. Obin berharap, dengan rutin mengenakan, membuka pintu keingintahuan untuk mendalami lebih dalam. Mengingat wastra tradisional adalah salah satu denominator umum di antara kebhinekaan suku dan puak Indonesia, saran ini masuk akal dan layak diterapkan.
ADVERTISEMENT
Berkainlah dulu, sambil belajar lebih jauh. Dari sekian wastra yang digelar selama JFW ke-12 seperti ulasan di atas, Anda bisa memulai mengenakan paling tidak satu.