Konten dari Pengguna

JFW 2021: Migrasi ke Ranah Digital

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
4 Desember 2020 22:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Munculnya pandemi COVID pada akhir 2019 tidak disangka siapa pun, apalagi penyebarannya yang begitu cepat ke seluruh dunia pada awal 2020. Indonesia sendiri mengumumkan 2 kasus pertama pada tanggal 2 Maret lalu, yang dalam 10 bulan telah meluas ke seluruh Indonesia dengan 549.508 kasus dan 17.199 kematian.
ADVERTISEMENT
Berbagai acara publik mulai dibatalkan pada pertengahan Maret, setelah kasus kematian pertama COVID-19 diumumkan dan banyak provinsi memasuki masa karantina wilayah. Berbagai acara yang seharusnya dijadwalkan di penggalan pertama tahun ini diundur atau dibatalkan. Acara-acara tahunan yang terjadwalkan di pertengahan atau akhir 2020 berkesempatan untuk memindahkan penyelenggaraannya ke ranah digital.
Dunia mode Indonesia tidak terkecuali. Asia NewGen Fashion Award (ANFA) adalah salah satu acara tahunan besar di dunia mode Indonesia yang bermigrasi—menampilkan finalis dalan bentuk video klip mode, mirip dengan video musik namun dengan fokus pada produk mode yang disandangkan pada tubuh model. Beberapa merk mode seperti Amot Syamsurimuda dan Purana menjajal pagelaran lewat rekaman video, disusul dengan beberapa festival seperti Nusantara Fashion Festival (NUFF) dan Karya Kreatif Indonesia yang bukan saja menampilkan fashion show dalam bentuk video klip bernarasi tapi juga diskusi melalui Instagram Live, misalnya Mode: Menggeliat Bangkit dari Himpitan COVID-19.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, Ikatan Perancang Mode Indonesia mempersembahkan Trend Mode tahunannya dengan video mode yang terkonsep baik narasinya dan terkemas apik eksekusinya. IPMI Trend Show 2021: Optimisme Pasca Pandemi - kumparan.com
Penyelenggara Jakarta Fashion Week (JFW) sendiri sempat mengadakan Fashion Revival Festival (FRF) beberapa bulan lalu, dengan mempertahankan bentuk runway normal layaknya pagelaran mode pra-pandemi dengan penonton di kedua sisi dan media di penghujung. Eksperimen awal ini tersandung pada ketidakmampuan mata kamera menjadi jembatan penghubung pemirsa di rumah dengan busana yang diparadekan. Kadang siluet tersamarkan pencahayaan, kadang detail terlalu cepat tersorot kamera.
Akhir bulan lalu, JFW ke-13 kembali, dan tetap mempertahankan bentuk runway klasik, walau pengaturannya jauh lebih rapi dan estetik dibandingkan saat FRF. Sebenarnya runway klasik bukan pilihan buruk, karena memberikan kesempatan pada produk mode (busana, aksesoris) untuk menjadi fokus dan tidak tertutupi oleh elemen-elemen lain yang secara artistik diperlukan dalam bentuk video klip. Namun karena sekarang keputusan untuk menangkap gambaran koleksi sepenuhnya dipindahkan dari mata pemirsa ke mata kamera, maka kamera harus bermain lebih dinamis dan tanggap dibandingkan dengan peliputan pagelaran normal di mana rekaman hanya berfungsi menambahi laporan media dan memori pemirsa yang langsung menyaksikan.
ADVERTISEMENT
Dan pada aspek ini, JFW ke-13 masih punya ruang untuk perbaikan. Menangkap keseluruhan siluet dan menggambarkan ayunan bahan saat busana dipakai berjalan amat penting, namun bukan berarti kamera harus berlama-lama dengan long-shot dari muka, atau menyorot dari samping saat model berpapasan bila memang tak ada detail menarik di samping busana. Runway memang lebih lebar tahun ini, mungkin untuk mengkompensasikan pemangkasan panjangnya, namun bukan berarti ruang kosong di samping pilar pembatas runway harus sering masuk frame dan membuat busana terlihat lebih kecil dalam keseluruhan skala frame, misalnya. Atau mata kamera mengikuti “pulangnya” model sampai menghilang ke balik panggung, kecuali ada detail penting di punggung. Pencahayaan juga harus dipertimbangkan secara komprehensif, mengukur antara drama yang diperlukan dan kemampuan pemirsa untuk tetap memperhatikan busana dari balik layar gawai mereka.
Koleksi Lekat, Jakarta Fashion Week 2021.Dokumentasi: JFW.
Satu hal yang dimanfaatkan dengan baik oleh JFW melalui runway yang lebih lebar tahun ini adalah ketersediaan ruang untuk group dance yang lebih leluasa dibanding dengan medan yang diberikan untuk tetarian dalam JFW sebelumnya. Dalam aspek ini, video besutan tim JFW untuk pagelaran Lazada, Calla the Label dan TS the Label jeli menangkap emosi dari koleksi.
Tarian pembuka pagelaran Lazada, Jakarta Fashion Week 2021.Dokumentasi: JFW.
Ditarikan sekelompok pria bertopi bercorak yang berinteraksi dengan model pada momen tertentu, Calla the Label sukses mengirimkan pesan tentang kemeriahan desain dan fleksibilitas material dalam desainnya melalui musik dan gerak yang dinamis.
Tarian pembuka pagelaran Calla the Label, Jakarta Fashion Week 2021.Dokumentasi: JFW.
TS the Label dari Tities Sapoetra, desainer yang kerap menyertakan tarian dalam pagelarannya selama ini, kembali mengirimkan sepasukan street dancer dan model profesional Drina Ciputra untuk membuka pagelarannya pada JFW ke-13 ini. Bahkan sebenarnya, untuk jenis koleksi TS the Label ini, bisa disampaikan sepenuhnya dalam bentuk tarian bila koreografinya direncanakan sedemikian rupa. BIla tren pagelaran mode secara daring berlanjut, Tities Sapoetra memiliki peluang untuk menjadikan tarian berkonsep kuat sebagai ciri khasnya.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah memang pagelaran mode akan berlanjut daring di masa depan?
“Melihat keadaan sekarang, cukup besar kemungkinan JFW tahun depan masih dalam bentuk online,” jawab Lenni Tedja, Direktur Jakarta Fashion Week, saat diwawancarai pada pembukaan JFW ke-13. Sempat terbersit rencana untuk mengadakan dalam bentuk hibrid antara daring dan luring pada bulan Oktober, JFW akhirnya memutuskan migrasi ke ranah digital untuk pelaksanaan di bulan November karena situasi pandemi tak kunjung pasti; tetap direkam di Senayan City yang telah menjadi lokasi acara sejak JFW ke-5. Namun bukan berarti JFW menutup pintu untuk kembali pada penyelenggaraan luring pada suatu saat nanti. “Kita lihat situasinya dulu,” ujar Lenni.
Dinding promosi Jakarta Fashion Week 2021, Senayan City.Dokumentasi: Lynda Ibrahim.
Lebih jauh Lenni Tedja membahas kendala operasional luarbiasa yang dihadapi JFW 2021, mulai dari rapid test atas seluruh partisipan dan kru, pengetatan jadwal perekaman demi menghindari penumpukan manusia, sampai rumitnya proses dari persiapan sampai post-production karena harus dikoordinasikan di antara banyak pihak yang bekerja dari rumah masing-masing. Zea Zabrizkie, penanggungjawab seri webinar, menggambarkan hal serupa. “Memberikan instruksi untuk mengedit harus detil sampai ke millisecond karena dilakukan dari jauh,” cetusnya.
ADVERTISEMENT
Situasi belakang layar Jakarta Fashion Week 2021.Dokumentasi: JFW.
Drina Ciputra, salahsatu model papan atas yang telah menjalani JFW selama bertahun-tahun, juga harus banyak menyesuaikan diri tahun ini. “Proses masuk ke lokasi lebih ketat lagi, karena dicek dan ditandai beberapa kali,” kisahnya. Untuk mengurangi resiko, Drina membawa dan memakai sendiri base foundation, sebuah praktek yang kadang dibolehkan pra-pandemi dan menjadi keharusan selama pandemi. Proses dandan menjadi lebih lama karena menurut Drina makeup artist mensterilkan tiap kuas sebelum dipakai.
Proses berjalan di catwalk sendiri terasa agak beda bagi Drina karena ketiadaan penonton, apalagi saat menyelesaikan nomer tariannya. Sejak kecil belajar menari tradisional sebelum menekuni modelling, Drina terbiasa dengan tanggapan penonton di lapangan. “Biasanya ada saja teman atau penonton yang meneriakkan namaku saat jalan, jadi ada tanggapan seketika yang membuat lebih semangat,” tutur Drina. Namun sebagai peragawati profesional Drina tetap memberikan yang terbaik terlepas dari segala perubahan, baik untuk perekaman tipe runway klasik seperti JFW atau video klip dalam pagelaran lain yang ia kerjakan sebelumnya. Ia mengambil hikmah ilmu baru berjalan dengan sepatu hak tinggi di atas treadmill untuk pengambilan video klip saat NUFF dan mensyukuri bahwa karena efisiennya penggunaan waktu JFW tahun ini ia bisa pulang sebelum larut. “It is what it is,” pungkasnya.
Edwan Handoko, salah satu koreografer pagelaran mode terbaik di Indonesia, yang sejak awal terlibat dalam JFW dan tahun ini bertanggung jawab pada setengah pagelaran, menghadapi permasalahan yang lebih kompleks karena tugasnya adalah meramu seluruh elemen busana, peraga, musik, dan pencahayaan menjadi pagelaran mode yang enak ditonton oleh media, sponsor, dan undangan lainnya. Tahun ini, kerja Edwan kian merumit karena harus memastikan ramuannya tetap menjadi tontonan menarik saat hanya bisa dipirsa melalui layar gawai.
ADVERTISEMENT
“Memindahkan mata manusia ke mata kamera berjalan sulit sekali,” aku Edwan, yang sebelum mengerjakan perekaman tipe runway klasik ala JFW telah terlibat dalam beberapa video klip mode atau rekaman hibrid yang menggunakan kedua teknik. Ia mencontohkan, kadang pencahayaan yang bagus di lapangan gagal terterjemahkan dengan baik ke video, atau pencahayaan yang ideal bagi video tidak optimal bagi penangkapan kamera foto.
Kendala lain bagi Edwan adalah isu hak pada musik yang dipakai, karena dengan format penayangan daring sepenuhnya, yang artinya bisa disaksikan sedunia, bukan hanya hak cipta namun juga hak publikasi harus diurus dan dibayar sebelum rekaman. Akibatnya, desainer seperti Tities Sapoetra yang tak ingin eksekusi kreatifnya terhambat, memutuskan menggubahkan musik sendiri (original score). Terlibat sejak persiapan sampai proses rekaman di lapangan, Edwan mengaku puas melihat tayangan final yang dirakit terpisah oleh tim videografer.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tanggapan para desainer, pemilik dari busana, sajian utama pagelaran mode?
Toton Januar, pemenang International Woolmark Prize 2016 untuk kategori busana wanita dan wilayah Asia, menyebutkan kerinduan interaksi langsung manusia dalam pagelaran mode luring. “Biasanya setelah show terasa feedback seketika, baik antusiasme positif atau lainnya. Ada sebuah emosi kolektif, terlihat juga dari tanggapan publik melalui media sosial,” papar Toton saat dihubungi. Toton menduga, fleksibilitas pemirsa untuk menonton pagelaran kapanpun dan bukannya saat tertentu, ditambah berbagai gangguan fokus saat menonton dari rumah yang tentu akan beda dengan menonton live, membuat reaksi kolektif tidak terbentuk.
Monique Soeriatmadja, salahsatu desainer hasil binaan Indonesia Fashion Forward, yang mengaku mengawasi ketat timnya untuk mematuhi protokol kesehatan selama proses rekaman, merasa beberapa detil koleksi Soe Jakarta tidak tertangkap mata video, terutama bila ditonton dari gawai berlayar kecil seperti ponsel. Hal positif yang bisa ia ambil adalah otomatis diunggahnya video di situs JFW, sehingga ia bisa dikirimkan kepada export buyer di luarnegeri. Setelah berpengalaman dengan NUFF dan JFW tahun ini, Monique tetap akan mengikutsertakan merk-merk desainnya pada pagelaran daring karena ia realistis dengan ketersediaan wahana promosi selama pandemi.
ADVERTISEMENT
Tentu tidak semua desainer bereaksi positif. Beberapa desainer yang menolak dikutip namanya mengeluhkan eksekusi final yang ditampilkan. Ada yang merasa fokus kamera bukan pada karyanya namun pada elemen penyerta, ada yang merasa sebagian busananya tidak tertangkap kamera samasekali. Entah mepetnya tenggat atau hal lain yang membuat para desainer tidak mendapat akses melihat hasil rekaman sebelum ditayangkan. “Kalau saja dilibatkan dalam pengeditan, atau paling tidak bisa melihat rekaman awal, kami bisa memberitahukan bahwa ada baju yang tidak kelihatan (seperti seharusnya),” keluh mereka
Ketidaksesuaian antara lookbook desainer dan tampilan di video juga dikeluhkan beberapa desainer lainnya, walau untuk acara mode sekain JFW. Tak dilibatkan atau minimal diinformasikan tentang storyboard yang menjadi dasar pengerjaan, para desainer terkejut saat styling busananya dirombak total oleh panitia dan ditampilkan dengan narasi yang berbeda dengan inspirasi koleksinya.
ADVERTISEMENT
Migrasi ini memang perihal baru, dan dikondisikan pada para pelaku bisnis mode tanpa aba-aba dari jauh atau buku manual khusus. Dalam webinar Navigating Fashion Crisis Post Crisis bersama Victoria & Albert Museum di London, para kurator berbagi cerita mengenai sulitnya bagi institusi sekelas V&A untuk menyelenggarakan acara daring, terutama bagi obyek mode dan seni. Penyelenggara JFW telah melakukan perbaikan sejak pelaksanaan FRF pada Agustus lalu, namun masih banyak ruang untuk perbaikan karena sebagai perhelatan mode pertama dalam skala sebesar ini di Indonesia, harapan tinggi selalu disematkan di bahunya. Masih ada setahun lagi untuk merencanakan perhelatan daring dan aktivasi ritel yang jauh lebih baik lagi, selaras dengan citra besar JFW yang digaungkan sejauh ini.
ADVERTISEMENT
Bila terasa berat, JFW dapat bercermin pada kesuksesannya sendiri dalam soal sponsor. Saat perhelatan lain kesulitan mencari penyokong dana tahun ini, JFW masih bisa menggaet sponsor baru seperti Istana Boneka dan Mustika Ratu. Kolaborasi boneka berbusana desainer yang dilakukan dengan Istana Boneka cukup unik dan bisa membuka ceruk pasar tersendiri. Sedangkan Mustika Ratu, yang menurut Chief Marketing Officer Yuniastuti Kusuma Putri justru mencatat pertumbuhan dari kategori personal care tahun ini, mungkin didorong peningkatan kepedulian pada kebersihan dan kesehatan, bisa menjadi mitra yang lebih luas dari penyedia kosmetika para peraga di muka kamera.
Tiada yang tahu seperti apa Indonesia tahun depan nanti. Apa pun itu, dalam perihal migrasi digital, JFW harus lebih siap dari tahun ini.
ADVERTISEMENT
-Lynda Ibrahim-