Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
JFW Ke-12: Isu Lingkungan yang Seksi, Sesungguhnya Luas dan Pelik
9 November 2019 15:29 WIB
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pakaian jadi mulai diproduksi massal di Amerika Serikat dan Eropa pada akhir Perang Dunia II. Kebijakan dagang AS di bawah Ronald Reagan pada dekade 1980-an membuka peluang bagi pengusaha pakaian Amerika mencari manufaktur di negara dengan tingkat upah lebih rendah.
ADVERTISEMENT
Banyak negara Asia, Amerika Latin, dan lalu Afrika yang menikmati rezeki dari sektor garmen untuk ekspor ini. Isu lingkungan yang sering digaungkan saat itu limbah pabrik— dan sasarannya semua industri, bukan hanya garmen. Untuk Indonesia, ekspor garmen dilihat sebagai solusi bagi ratusan ribu pekerja berpendidikan atau berketrampilan terbatas.
Bertumbuhnya ekonomi dunia dan minat pada pakaian sebagai bagian gaya hidup makin menghidupkan berbagai strata industri mode yang saat itu didikte Paris, Milan, London, dan New York melalui pekan mode 2 kali setahun. Sampai kemudian pada akhir 1990-an jaringan pakaian kelas papan tengah Spanyol, Zara, sukses 'menurunkan' inspirasi dari rumah mode papan atas menjadi beberapa rangkaian baju murah yang hanya dijual 4-6 minggu per rangkaian agar pembeli sering belanja.
ADVERTISEMENT
Model bisnis yang lalu disebut fast fashion ini sukses mendemokratisasi akses mode, karena publik akhirnya bisa tampil modis. Penjualan Zara meroket. Langkah serupa diikuti pesaing di strata setara (H&M, Topshop, Primark, Gap) atau lebih murah (Forever 21, Charlotte Russe).
Monolog 'biru cerulean' Miranda Priestly dalam The Devil Wears Prada sebenarnya secara efektif menjelaskan alur bisnis mode ini. Bisnis garmen di banyak belahan dunia menyubur, selalu bergeser ke negara dengan tingkat upah yang lebih rendah.
Kritik terhadap fast fashion mulai datang. Melalui buku How Luxury Lost Its Luster (2007) jurnalis Dana Thomas menyindir ketatnya siklus mode dunia dan hadirnya fast fashion yang seenaknya mencontek menciutkan insentif desainer besar untuk berkreasi bebas.
Tahun 2010 aktivis Naomi Wolf berargumen model bisnis ini makin memerangkap buruh perempuan dalam lingkaran setan upah rendah, sementara Lucy Siegle menulis tajam sisi perusakan lingkungan dalam To Die For. Melalui Overdressed (2012) Elizabeth Cline mengulas fast fashion yang lekas dibuang karena murah ternyata tak habis diserap toko preloved, badan amal, dan bahkan pabrik pel di AS. Dunia masih acuh.
ADVERTISEMENT
Sampai runtuh lah Rana Plaza pada 2013, gedung reyot lokasi perusahaan garmen lokal Bangladesh mengerjakan pesanan berbagai fast fashion global. 1129 pekerja tewas dan lebih dari 2000 lainnya cedera-- sebagian besar wanita. Tragedi ini memicu protes dari seluruh dunia. Berbagai ulasan baru terbit. Tahun 2015 Andrew Morgan mengolah isu lebih jauh dalam film dokumenter The True Cost, di mana Lucy Siegle salahsatu narasumber utama.
Lucy Siegle hadir pada forum diskusi dan pemutaran The True Cost di Jakarta Fashion Week (JFW) ke-8 pada akhir 2015. Tahun berikutnya JFW menghadirkan perwakilan salah satu merk fast fashion yang memaparkan program seperti tekstil ramah lingkungan atau penukaran baju lama, namun mengelak saat ditanya apakah bersedia memanjangkan kembali siklus ritel ke 2-4 koleksi pertahun. Padahal persoalan utama fast fashion adalah itu-- tiap 6 minggu sumberdaya alam digerus untuk memproduksi dan mendistribusi koleksi baru, sementara pakaian lama menggunung di pembuangan sampah.
ADVERTISEMENT
Isu lingkungan hidup makin mewarnai dunia mode Indonesia pada tahun-tahun berikutnya. Sebuah acara khusus ethical fashion bahkan sempat diumumkan sebuah asosiasi mode walau urung dilaksanakan. Dari hulu, APR muncul di Muslim Fashion Festival ke-4 untuk edukasi serat viscose rayon yang digadang lebih ramah lingkungan sementara di hilir ada koleksi Hari Bumi 2019 dari Sejauh Mata Memandang (SMM) yang memakai Tencel, salah satu merk dagang serat rayon. Gerakan Zero Waste, yang program tukar-bajunya sukses tahun ini, sudah hadir beberapa kali di JFW.
Toton Januar kembali ke JFW ke-12 dengan denim daur-ulang limbah pabrik garmen Jakarta yang ia rintis sejak tahun lalu, menampilkan motif tabrak lari sebagai ilustrasi sosial-politik Indonesia yang sureal.
ADVERTISEMENT
Peggy Hartanto dan IKYK mengolah kain sisa ekspor: Peggy konsisten memakai pola yang tidak menyisakan kain. SMM dan Lekat bekerja dengan sisa material produksi sebelumnya, di mana SMM lebih mampu menampilkan benang merah visual yang bagaimanapun penting dalam pagelaran busana. Koleksi terbaru Byo mendayagunakan tas-tas dari pasar loak.
Apakah inisiatif ini dan sejenisnya patut diapresiasi secara umum sebagai niat mengurangi penggerusan alam? Ya, dengan apresiasi berbeda atas tingkat kesulitan teknis koleksi.
Apakah kemudian merek-merek yang sudah menjalankan inisiatif serupa lalu bebas memakai klaim sustainability fashion? Nanti dulu.
Kembali ke pokok persoalan di atas: penggerusan alam. Penggerusan alam bisa terjadi sejak penanaman serat, pemintalan benang, pabrikasi kain, sampai penjahitan pakaian. Sebagian besar benang yang beredar di Indonesia, bahkan di kalangan penenun tradisional, harus diimpor dari produsen yang tidak selalu bisa terlacak.
ADVERTISEMENT
Belum lagi pengadaan kancing dan ritsleting, pemakaian listrik dan air dari produksi sampai promosi, atau bahkan kertas dan plastik sekali-pakai dalam kemasan ekspedisi pengantar belanja daring.
Desainer mana yang bisa menjamin 100% ramah lingkungan dalam proses kerjanya dari hulu ke hilir? Klaim sustainability fashion memang sexy, namun luas, dalam, berat dan pelik, sehingga tidak bisa serampangan disandang. Topi perlu diangkat untuk desainer seperti Toton Januar dan Wilsen Willim yang secara publik dalam JFW ke-12 menyatakan belum berani menggunakannya.
Klaim yang sama beratnya adalah persentase pengurangan konsumsi mode atau dampak lingkungan karena adanya kegiatan insidentil seperti tukar baju atau pembelian benda preloved. Klaim seperti itu hanya bisa didapat dari studi kuantitatif atas subyek terkontrol dalam waktu tertentu dengan metode statistika standar, bukan survei sepihak yang tak bisa dicek-ulang kesahihan jawabannya.
ADVERTISEMENT
Klaim-klaim serius seperti di atas, bila terlalu mudah dilontarkan tanpa basis legitimasi, akan mereduksi arti dan memberikan edukasi buruk, mirip salah-kaprah istilah muse dalam dunia mode Indonesia. Sudah waktunya dunia mode Indonesia lebih berdisiplin dalam mempelajari isu tanpa terpancing arus klaim yang sedang sexy di mata publik.
Lalu, apa berarti usaha mengurangi kerusakan lingkungan harus dilupakan hanya karena klaim sustainability fashion berat dicapai? Tentunya tidak. Peradaban manusia tidak akan pernah maju bila semua orang berfilosofi fatalisme. Inovasi material dan proses produksi tetap harus dilakukan. Bisa juga dengan membatasi volume produksi, seperti yang dipaparkan Sean Sheila saat menjelaskan tema konsumsi berlebihan yang setahun ini diusung.
Pekerjaan rumah yang serupa seriusnya ada dalam pundak peritel dan konsumen. Ironis kadang melihat kalangan yang begitu galak soal sedotan plastik namun giat belanja segala benda secara daring, menunjukkan ketidakpahaman arti jejak karbon dan gambaran besar masalah lingkungan.
ADVERTISEMENT
Masalah penggerusan alam dalam mode bukan hanya sexy namun luas, dalam, pelik, dan serius, dan sudah waktunya kita memperlakukannya begitu.