Mentalitas Budaya, COVID-19, dan Proyeksi Masa Depan

Muh Akbar
An ordinary person who studying sociology, education, and political science.
Konten dari Pengguna
26 Maret 2021 6:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi/Parastoo Maleki,Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi/Parastoo Maleki,Unsplash.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mentalitas budaya merupakan istilah yang akrab di telinga para mahasiswa, akademisi, periset, dan sebagian praktisi yang memiliki konsentrasi dan minat pada kajian sosio-humaniora. Frasa mentalitas budaya sendiri pertama kali dikenalkan oleh pemikir sosial bernama Pitirim Alexander Sorokin dalam bukunya berjudul Social and Culture Dynamic (1937).
ADVERTISEMENT
Sekilas pemahaman Sorokin mengenai mentalitas budaya memiliki persamaan dengan hukum tiga zaman/tahap Aguste Comte. Selain karena Sorokin dan Comte sama-sama menganut positivisme. Inti pemikiran Sorokin berpusat pada tahapan-tahapan perkembangan manusia.
Rincinya Sorokin menjelaskan bahwa manusia memiliki 3 tipe kebudayaan dominan di setiap zamannya yakni kebudayaan ideasional, kebudayaan senate, dan kebudayaan campuran. Kebudayaan ideasional dapat dinyatakan sebagai kebudayaan yang mengandung pemikiran (premis) realitas adalah bersifat spiritual, non-material, tersembunyi di bawah permukaan materiel (misalnya, Tuhan, Nirwana, Tao, Brahma). Realitas itu abadi dan tidak berubah (Sztompka, 2017; 167).
Sehingga hal-hal menyangkut metafisika dan transendental menjadi utama dibandingkan dengan yang lain. Pengaruhnya bisa dilihat pada berbagai hal di sekitar kita, mulai dari pembentukan norma, nilai, pola pikir dan tingkah laku manusia. Pastinya komponen tersebut mengedepankan hal yang sifatnya gaib baik dari proses membentuknya maupun dari penafsirannya akan dunia yang ditinggali sekarang.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, kebudayaan senate sederhananya merupakan kebalikan dari kebudayaan ideasional. Kebudayaan ini menitikberatkan pada empirisme dan komponen yang materiel. Pada prosesnya mengedepankan rasionalitas dan dapat dirasakan oleh panca indra. Sehingga segala unsur dan bagian dari masyarakat bertitik fokus pada kehadiran pikiran (rasio) ketimbang yang gaib (Sztompka, 2017; 167).
Melihat covid-19 dan penanganannya kita bisa memberikan kesimpulan sederhana apabila menggunakan telusur dua bagan teori Sorokin ini. Penanganan Covid-19 menjadi sesuatu yang mencerminkan mentalitas budaya senate. Asumsinya sederhana. Penggunaan sains sebagai metode utama penangan Covid-19 mengindikasikan sesuatu yang berdasar pada hal yang materiel (kebendaan) seperti Vaksin, Masker, APD medis, Ventilator dsb. Sains pun dianggap sebagai panggung utama dari adanya kebudayaan senate. Bisa dikatakan puncak kebudayaan senate. Karena rasio diutamakan dalam sejarah perkembangan sains ketimbang metafisika yang non-materiel.
ADVERTISEMENT
Selain ideasional dan materiel. Ada juga terdapat campuran atas kedua mentalitas di atas. Nilai-nilai ideasional dan materiel pun saling mendukung dan menutup kesalahan satu sama lain. Kebudayaan campuran ini mungkin terlihat lebih bijak untuk dinyatakan sebagai tahap yang dialami oleh manusia zaman sekarang.
Akan tetapi, penulis meyakini hal tersebut keliru mengingat generalisasi yang terjadi tidaklah menyeluruh pada masyarakat dunia sekaligus. Sorokin pun dalam memetakan mentalitas kebudayaan hanya melingkupi masyarakat zaman romawi, yunani, dan eropa sampai abad 14 sampai Sekarang—maksud dari sekarang pun masih bisa diperdebatkan (Sztompka, 2017).
Jadi, indikasi dan sasaran penulis jelasnya terjadi pada masyarakat dunia, khususnya persoalan penangan Covid-19. Mekanisme penanganan Covid-19 pun berdasar pada sains yang perkembangannya menjadikan metode ilmiah dengan segala unsur di dalamnya (riset, sains terapan, dsb) sebagai komponen bangunan utama.
ADVERTISEMENT
Namun memahami mentalitas budaya sebagai unit analisis seperti di atas nampaknya kurang tepat. Mengutip Sztompka (2017) Sorokin menjelaskan arti penting analisisnya terlihat ketika ia menerapkan tipologinya pada aliran proses historis. Menurutnya pola utama perubahan historis terjadi secara melingkar. Dalam arti terjadi singularitas dan tidak berhenti pada satu kebudayaan saja. Tidak seperti Comte yang meyakini masyarakat mencapai puncaknya pada tahap positivis (kekal dan menetap).
Proses perubahan itu sering berbalik arahnya dan berulang sendiri. Singkatnya, dalam jangka panjang, dalam sistem sosial yang sama atau dalam beberapa sistem sosial, proses perubahan bergerak menurut arah atau ruang tertentu yang secara kuantitatif atau kualitatif akan mencapai “titik jenuhnya” dan kemudian sering membalikkan arah gerakannya (Sorokin, 1937; Stzompka; 2017).
ADVERTISEMENT
Jadi, bisa saja wabah hari ini ditangani secara ilmiah dan menerapkan prinsip sains. Akan tetapi di masyarakat masa depan, hal tersebut tidaklah berguna terlebih dilakukan. Kebudayaan ideasional pun jadi pilihan, dan kebudayaan senate tersisihkan dari panggung mentalitas masyarakat dunia. Proses kehidupan dan keteraturan masyarakat dilihat seperti lingkaran.
Perubahan sosial dapat diprediksi dengan mudah menggunakan teori ini. Dengan memerhatikan racikan metodologi ilmiah yang futuris dan tepat, akademisi dengan dapat memprediksi masa depan secara cepat dan bisa dikatakan akurat. Apabila melihat buah karya Sorokin sebagai permodelan tunggal perubahan sosial. Hal seperti inilah kemudian yang menjadi kritik utama para penggugat perubahan yang terprediksi.