Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cek Kosong Kedaulatan Rakyat
8 Agustus 2022 14:05 WIB
Tulisan dari M Nurul Fajri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Konsolidasi elit yang terdiri dari pimpinan partai, politisi, dan tokoh berpengaruh adalah bagian dari proses kandidasi menuju pemilu presiden dan wakil presiden. Sayangnya, di negara yang secara eksplisit dalam konstitusinya menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat, justru konsolidasi tersebut meninggalkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Proses konsolidasi yang terus berjalan hanya menjadikan rakyat sebagai penonton.
ADVERTISEMENT
Kedaulatan Mandataris
Pemilu yang secara konseptual diartikan dengan bagaimana mengkonversi suara menjadi kursi merupakan upaya konstitusional mengejawantahkan makna kedaulatan rakyat secara lebih prosedural. Dalam arti lain, proses penyerahan kedaulatan dari rakyat kepada negara sebagai wujud kontrak sosial tersebut – antara rakyat dengan pejabat terpilih atau organ – yang nantinya akan mengurusi dan menjalankan fungsi pemerintahan agar dapat terselenggara secara berkelanjutan.
Secara tidak langsung, makna kedaulatan rakyat sesungguhnya sejak terjadinya pactum unionis ke pactum subjectionis telah dikonversi kepada pemilu sebagai perwujudannya dan merupakan mandat konstitusional untuk diselenggarakan secara berkelanjutan. Keberadaan pemilu menjadi sangat krusial dalam menjamin suksesi kekuasaan, sehingga mesti diselenggarakan secara berkala dan tetap. Agar memberikan jaminan pemerintahan terjauh absolutisme kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Secara sosiologis, pemilu juga turut mengimani serta mengamini situasi fluktuasi aspirasional. Bahwa ada kehendak umum yang dapat berubah karena realitas sosial yang terus berjalan. Sehingga rakyat akan terus mengevaluasi hak suara yang telah mereka berikan sebelumnya.
Perubahan kehendak umum tersebut tidak terbatas pada kemungkinan untuk menggantikan kekecewaan terhadap hak suara yang telah diberikan sebelumnya, namun juga turut menjadi preferensi terhadap siapa yang paling tepat dijadikan kandidat berikutnya oleh partai politik. Tentunya menjadi sangat ironi apabila dalam proses kandidasi menghadapi pemilu, konsolidasi politik elit terjadi dengan rakyat hanya menjadi penonton di dalamnya. Padahal pemilu tidak akan bisa lepas dari aspek filosofis dan historis kontrak sosial.
Hanya saja pemilu pun patut dievaluasi, tidak hanya dari konteks sukses atau tidak suksesnya penyelenggaraan, namun juga dari sisi sejauh mana keterpilihan atau pengisian jabatan politik dapat benar-benar mewakili keinginan rakyat sebagai pemegang kedaulatan?
ADVERTISEMENT
Hal ini tidak hanya menilai posisi penting rakyat dalam pemilu dengan mencengkram erat pijakan dasarnya, yakni kedaulatan rakyat. Akan tetapi juga turut menjelaskan kembali makna, “pemilu hanyalah instrumen” untuk mengisi jabatan politik dalam negara untuk menjalankan fungsi pemerintahan.
Uji urgensi keberadaan rakyat dalam pemilu menjadi penting untuk melihat kedaulatan rakyat benar-benar terlaksana, baik secara prosedural melalui pelaksanaan pemilu yang adil dan berintegritas, maupun secara substansial yang hasilnya benar-benar merepresentasikan aspirasi setelah terpilih. Uji urgensi keberadaan rakyat dalam pemilu tidak dapat hanya diukur melalui jangkauan informasi kepemiluan dan tingkat partisipasi pemilih.
Sebab keterwakilan aspirasional merupakan aspek paling esensial kenapa pemilu harus diselenggarakan selama pemilu masih melekatkan dirinya dengan kedaulatan rakyat dalam konteks filosofis dan historis. Pemilu tidak dapat dilihat semata-mata bagaimana mengkonversi suara menjadi kursi. Jika paradigma pemilu masih dipandang sebatas hal tersebut atau perihal hitung-hitungan keterwakilan suara pemilih, maka hal itu menjadi sangat keliru lagi manipulatif. Karena telah mensimplifikasi aspek paling krusial dari kedaulatan rakyat itu sendiri, yakni melahirkan pemerintahan yang akan mengurusi kehidupan warga negara, mengatur ketertiban warga negara, dan melindungi serta menjamin perlindungan hak-hak warga negara sebagai tujuannya.
ADVERTISEMENT
Simplifikasi makna kedaulatan rakyat menjadi pemilu dan pemilu menjadi bagaimana mengkonversi suara menjadi kursi merupakan sebuah alasan konseptual nan krusial kenapa akuntabilitas kinerja pasca keterpilihan sulit ditagih oleh rakyat. Undang-undang dapat dibuat semaunya dengan partisipasi masyarakat yang amat minim, semisal revisi UU KPK dan UU MK, serta pembentukan UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan UU Ibu Kota Negara. Dan terbaru sepertinya RKUHP juga akan disahkan dengan menempuh jalur yang mengabaikan partisipasi masyarakat.
Tindakan kesewenangan pembentuk undang-undang yang mengabaikan partisipasi masyarakat hanya bisa diratapi sunyi. Sekalipun kita memiliki Mahkamah Konstitusi, belakangan keberadaanya mulai terjebak moral hazard pembentuk undang-undang yang tengah ambruk-ambruknya – dengan membentuk undang-undang secara sembunyi-sembunyi – dalam argumen open legal policy.
ADVERTISEMENT
Kewenangan Merestriksi
Tanpa disadari keterjebakan rakyat dalam pemilu tak semata-mata perihal politik ingkar janji, politik uang, atau integritas partai politik dan politisi yang lemah. Akan tetapi, inti persoalannya adalah rakyat sama sekali tidak memiliki kewenangan yang dapat merestriksi tindakan anggota parlemen sebagai lembaga pengawas tanpa harus menunggu pemilu berikutnya.
Selama ini, keberadaan sistem pemilu proporsional turut mendukung lemahnya akuntabilitas kinerja wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya, terutama dalam fungsi pengawasan dan fungsi legislasi. Di mana kedua fungsi dimaksud adalah kunci berjalannya mekanisme check and balance dalam sistem pemerintahan presidensial.
Keberadaan lebih dari satu wakil rakyat untuk satu daerah pemilihan dalam sistem proporsional membuat rakyat sama sekali tidak mengetahui siapa yang benar-benar mewakili aspirasi mereka di parlemen. Fungsi kontrol rakyat atas kinerja wakilnya pun menjadi samar. Ketiadaan model pertanggungjawaban yang jelas, terutama dari sisi keterwakilan aspirasional membuat hak suara yang telah diberikan oleh rakyat ibarat pemberian cek kosong semata.
ADVERTISEMENT
Secara institusional, pengambilan keputusan di parlemen berlandaskan pada keputusan fraksi partai politik. Sikap individu anggota parlemen menjadi tidak menentukan kecuali yang bersangkutan adalah elit di partai politik. Tidak heran kalau proses pembentukan undang-undang cepat kilat dapat terjadi berulang kali dengan mengabaikan aspirasi masyarakat luas.
Sebab politik legislasi terkendali penuh oleh partai yang juga mengendalikan jalannya pemerintah. Dengan kondisi ini tentu fungsi pengawasan pasti akan melemah. Anggota parlemen secara individu hanya dipandang kursinya, bukan manusia yang dipilih untuk mewakili daerah pemilihannya. Suara individu anggota parlemen sebagai wakil rakyat tidak berguna karena setiap keputusan di parlemen ada pada tingkat fraksi. Padahal dalam pendekatan institusional, aspirasi warga negara tersebut melekat secara langsung ke individu wakil rakyat. Bukan kepada partai politik.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, harus ada upaya restrukturisasi sistem pemilu yang mendukung akuntabilitas langsung antara yang dipilih dengan yang memilih. Caranya dengan mengganti sistem proporsional menjadi sistem distrik. Termasuk dengan memberikan rakyat kewenangan untuk merestriksi tindakan wakil rakyat, terutama dalam proses legislasi.
Semisal melaksanakan proses uji autentifikasi aspirasi terhadap rancangan produk legislasi. Dengan mengukur sejauh mana norma yang telah dibentuk dalam rancangan undang-undang benar-benar telah merepresentasikan aspirasi rakyat secara keseluruhan. Jika tidak begitu, rakyat dengan sistem yang ada hanya akan ditempatkan sebagai partisipan suara untuk melegitimasi proses pemilu. Sembari menyaksikan klaim bicara dan bertindak atas nama rakyat yang selalu disampaikan oleh politisi dan partai politik di ruang-ruang publik.