Mengganti Paradigma 'Social Distancing' Menjadi 'Physical Distancing'

Mahmudin Nur Al Gozaly
Diplomat, pernah bertugas di Belanda, pernah menjadi negosiator perjanjian pedagangan dan investasi, pemerhati isu hukum-hubungan internasional, traveller, dan hobi kuliner, saat ini bertugas di KJRI San Francisco.
Konten dari Pengguna
23 Maret 2020 15:54 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mahmudin Nur Al Gozaly tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: ANTARA FOTO/Anindira Kintara
zoom-in-whitePerbesar
Foto: ANTARA FOTO/Anindira Kintara
ADVERTISEMENT
Istilah “social distancing” kini menjadi imbauan yang sangat sering disebut banyak orang terkait dengan pandemi virus corona atau COVID-19 yang sedang dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, para pejabat pemerintah pusat, kepala daerah hingga tokoh agama dan masyarakat, tak henti-hentinya mengimbau seluruh elemen masyarakat untuk menerapkan social distancing, seperti bekerja di rumah (work from home) atau menjaga jarak badan minimal 1-2 meter jika terpaksa keluar rumah. Semua dilakukan tak lain adalah untuk mengurangi risiko penularan virus.
Lalu, apakah istilah social distancing ini tepat?

Kesalahan Diksi dan Miskonsepsi

Ilustrasi penggunaan istilah physical distancing lebih tepat daripada social distancing -- Sumber: Twitter @nadrosia.
Sesungguhnya, dalam menghadapi masalah COVID-19 yang diperlukan adalah jaga jarak aman atau physical distancing, bukan menjaga jarak hubungan sosial atau social distancing. Dari berbagai imbauan yang diserukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pemerintah maupun para tenaga kesehatan di berbagai negara, dapat ditarik benang merah bahwa yang dimaksud adalah menjaga jarak fisik seaman mungkin guna mencegah atau mengurangi kemungkinan penularan virus tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi wabah COVID-19, WHO bahkan beberapa waktu lalu tak lama sebelum diturunkannya tulisan ini telah memutuskan untuk mengubah paradigma penanganan corona dari gerakan social distancing menjadi physical distancing. Hal tersebut nampaknya untuk meluruskan bukan hanya kesalahan pemilihan istilah (diksi), tetapi juga miskonsepsi di tengah masyarakat.
Bagi penulis sendiri, kampanye social distancing tidak sejalan dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain. Sebagai makhluk sosial (istilahnya “zoon politicon” menurut seorang filsuf, Aristoteles atau “homo homini socius” menurut seorang pelopor ekonomi modern, Adam Smith), gerakan jaga jarak dalam interaksi sosial atau social distancing akan dikhawatirkan mengarah pada isolasi sosial atau terhalangnya ruang-ruang interaksi sosial.
Dalam situasi kiris akibat COVID-19 seperti sekarang ini, tingkat stres masyarakat, baik secara individu maupun kolektif, akan meningkat. Sehingga menciptakan jarak dalam hubungan sosial diperkirakan akan semakin memberikan tekanan kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Menurut ilmu kedokteran, individu yang kurang koneksi sosialnya akan meningkatkan kadar hormon kortisol dalam tubuhnya yang dapat menyebabkan tingkat stres semakin tinggi. Dalam kondisi seperti ini, tingkat kekebalan tubuh pun akan berkurang, sehingga akan lebih rentan terhadap segala penyakit. Pada situasi yang lebih ekstrim, orang yang sedang sakit yang terisolasi hubungan sosialnya dapat menjadi depresi, muncul dorongan bunuh diri, atau menyebabkan kondisi klinis lainnya.

Yang Diperlukan Justru Solidaritas Sosial

Ilustrasi pentingnya physical distancing dan social solidarity -- Sumber: Twitter @DalitChef.
Masalah COVID-19 tidak hanya akan berdampak secara ekonomi, tapi juga mengganggu kesehatan dan tatanan sosial masyarakat. Masyarakat menjadi takut, panik, bahkan bisa bersikap terlalu protektif terhadap lingkungan sekitarnya. Saat ini, tidak jarang ditemukan di bus, kereta, tempat kerja, atau dimana pun, seseorang yang batuk atau bersin akan lebih mudah dicurigai sebagai pengidap corona, padahal hal tersebut bisa saja hanya gejala flu atau reaksi batuk biasa.
ADVERTISEMENT
Dengan munculnya banyak korban jiwa dan peningkatan jumlah orang yang terpapar, ditambah upaya peningkatan keamanan oleh aparat untuk menciptakan kondisi masyarakat menghindari keramaian, menjadikan seruan gerakan swakarantina #dirumahaja semakin relevan. Terlebih lagi, hal itu dimaksudkan untuk menjaga diri dan mengurangi risiko penularan virus.
Foto: ANTARA/HO Instagram.
Namun demikian, kampanye jaga jarak aman atau physical distancing ini jangan sampai diartikan sebagai isolasi terhadap hubungan sosial. Seluruh upaya untuk menjaga jarak aman tidak berarti harus mengurangi apalagi semakin menjauhkan individu dari ruang interaksi sosialnya. Justru sebaliknya, interaksi yang bermakna (meaningful connections) harus tetap terjalin di tengah jarak yang memisahkan akibat work from home atau stay at home.
Sehingga dalam hal ini masalah corona menjadi test case sosial bagi masyarakat. Di tengah kekhawatiran dan ketidakpastian akibat pandemi corona, isolasi sosial justru akan berbahaya karena tertutupnya atau minimnya peluang untuk saling menguatkan dan memberikan dukungan dalam menghadapi COVID-19 sebagai musuh bersama umat manusia saat ini. Isolasi sosial juga akan menjadikan orang semakin egoistis dan individual. Realitas panic buying untuk menimbun masker atau makanan secara berlebihan di sejumlah toko atau supermarket beberapa waktu lalu merupakan contoh betapa sulitnya ujian sosial yang diakibatkan pandemi corona.
Foto: ANTARA/HO Polsek Kebayoran Baru.
Dalam situasi tersebut, justru yang diperlukan adalah solidaritas sosial agar tercipta sikap saling mendukung, membantu dan menguatkan di tengah keluarga, masyarakat dan negara. Pada skala yang lebih besar, solidaritas sosial diperlukan untuk mendorong upaya bersama antara pemerintah, tenaga medis, dan seluruh elemen masyarakat dalam melawan corona.
ADVERTISEMENT
Mungkin ada baiknya setiap orang menghayati pesan yang pernah disampaikan Dirjen WHO pada akhir Februari lalu yang menegaskan bahwa musuh terbesar saat ini bukanlah virus itu sendiri, melainkan ketakutan, rumor, dan stigma, serta aset terbesar yang ada adalah fakta, alasan, dan solidaritas.
Jadi, jelas sekali bahwa solidaritas sosial adalah kunci di tengah pandemi.

Mulai Biasakan Physical Distancing

Berdasarkan berbagai penjelasan tersebut, diksi yang tepat semestinya physical distancing, bukan social distancing. Mungkin masih ada yang tidak peduli dengan penggunaan suatu istilah ini. Namun penggunaan istilah yang tepat itu merupakan aspek elementer yang tetap penting untuk memberikan pemahaman sosial yang benar dalam konteks upaya bersama penanganan COVID-19.
Bagi penulis sendiri, pesan utama dari hal ini adalah tetap perlunya bersikap peduli satu sama lain, meski terdapat jarak fisik yang semakin memisahkan akibat wabah corona. Masalah tersebut jangan sampai menjadikan masyarakat terpecah belah. Justru ia harus jadi musuh bersama (common enemy) sehingga masyarakat begerak bersama melawannya.
ADVERTISEMENT