Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengkaji Perubahan Iklim (Bagian I)
30 Desember 2017 1:28 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Manik Sukoco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Es yang mulai mencair di Laut Arktik. (Foto: Kathryn Hansen/Reuters)
ADVERTISEMENT
Topik mengenai perubahan iklim ini adalah topik yang cukup sering diperbincangkan dalam setidaknya tujuh tahun terakhir. Untuk lebih memahami apa saja indikator utama perubahan iklim dan dampaknya, saya akan mencoba menulisnya dalam dua bagian. Masing-masing mengulas 5 indikator utama perubahan iklim.
1. Es di laut Arktik.
Potongan es di kawasan Arktik (Foto: Climate Central)
Sejak pengamatan satelit dimulai pada akhir 1970-an, es di laut Arktik telah berkurang secara drastis. Jumlah es minimum tahunan di Arktik telah menurun pada tingkat 13,3 persen per dekade sejak 1979. Sekitar 1 juta mil persegi es telah hilang. Luas ini kira-kira setara dengan empat kali ukuran Texas. Pada tahun 2012, es laut Arktik mencapai tingkat terendah dalam rekaman satelit, dan tujuh tingkat terendah dalam catatan terjadi dalam tujuh tahun terakhir.
Grafik penurunan es di laut Arktik. (Foto: Climate Central)
ADVERTISEMENT
Pengurangan luas tersebut, bukanlah satu-satunya yang mengalami perubahan. Es laut Arktik yang tersisa kini, merupakan es yang lebih muda dan rapuh, sehingga memudahkan gelombang perairan hangat untuk memecahnya ke dalam ukuran yang lebih kecil sehingga mempercepat proses pencairan.
Es yang meleleh memainkan peran yang penting dalam pemanasan global. Es laut ternyata bersifat jauh lebih reflektif dibandingkan samudera di sekitarnya. Mencairnya es tersebut akan meningkatkan jumlah energi yang diserap oleh lautan.
Seiring meningkatnya suhu, es di laut Arktik akan menyusut, energi matahari yang diserap menjadi lebih besar, dan lambat laun suhu di kawasan Arktik akan mengalami peningkatan. Berkurangnya es di laut Arktik juga dapat mempengaruhi pola cuaca di seluruh dunia karena mampu menciptakan udara dingin pada saat mencair.
ADVERTISEMENT
Menurunnya massa es di laut Arktik juga mempengaruhi pola makan dan migrasi beruang kutub, paus, walrus, dan anjing laut. Bukan saja hewan, penduduk yang tinggal di kawasan Arktik dan bergantung pada es musiman untuk penghidupan mereka, juga akan sangat terdampak.
2. El Niño.
Kekeringan yang terjadi di Nicaragua akibat El Niño. (Foto: Osvaldo Rivas/Reuters)
El Niño adalah hamparan air hangat sangat luas, yang terbentuk di lepas pantai Peru. El Niño membentang melintasi kawasan Pasifik dan terjadi setiap 3-7 tahun.
Pada fase yang berlawanan, La Niña, menampilkan pola yang sama. Namun, hamparan air yang terbentuk memiliki suhu yang lebih dingin dibandingkan suhu normal.
Pergeseran samudera ini berkonspirasi dengan atmosfer untuk mengubah cuaca global. Perpaduan antara El Niño dan La Niña meningkatkan kemungkinan terjadinya kekeringan, hujan deras, perubahan suhu dingin atau panas di berbagai belahan dunia.
ADVERTISEMENT
Secara global, El Niño cenderung meningkatkan suhu dan memberikan kontribusi terhadap rekor pemanasan global, seperti yang terjadi pada tahun 2014. Di kawasan selatan Amerika Serikat, El Niño cenderung muncul bersama hujan lebat.
Sementara La Niña biasanya muncul pada kondisi kering. Selama La Niña yang sangat kuat pada tahun 2011, hujan turun sangat deras di Australia sehingga kenaikan permukaan air laut benar-benar melambat.
El Niño dapat mengakibatkan bencana kekeringan, mempengaruhi temperatur global, serta menimbulkan berbagai dampak yang serius bagi masyarakat di seluruh penjuru dunia.
Grafik perubahan temperatur, dengan dan tanpa El Niño. (Foto: Climate Central)
Grafik di atas menunjukkan pengaruh antara El Niño dengan kenaikan suhu. Dimasa depan, perubahan iklim diprediksi dapat melipatgandakan kemungkinan peristiwa El Niño dan La Niña yang lebih ekstrem dari yang terjadi saat ini.
ADVERTISEMENT
3. Peningkatan keasaman air laut.
Phytoplankton di Laut Barents. (Foto: NASA/Goddard Space Flight Center)
Sekitar seperempat karbon dioksida yang dipancarkan ke atmosfer saat ini diserap oleh lautan. Karbon dioksida bereaksi dengan air laut dan membentuk asam karbonat. Pengasaman air laut secara global dapat ditandai dengan menurunnya tingkat pH air laut.
Sejak masa pra-industrial, pH rata-rata permukaan air laut turun dari angka 8,21 menjadi 8,10. Walau perubahan tersebut tidak terdengar besar, namun penurunan pH ini sama artinya dengan peningkatan 30 persen keasaman air laut.
Perubahan iklim yang terjadi belakangan ini, diperkirakan dapat menurunkan 0,3 kadar pH air laut pada akhir abad ini. Dengan tingkat keasaman seperti itu, lautan akan lebih asam daripada yang tercatat selama 100 tahun terakhir.
Grafik yang menunjukkan bahwa air laut kini menjadi lebih asam. (Foto: Climate Central)
ADVERTISEMENT
Tingkat perubahan keasaman air laut saat ini, 50 kali lebih cepat dari yang diperkirakan. Keadaan tersebut berpotensi menyulitkan spesies yang hidup dalam ekosistem air laut untuk dapat beradaptasi.
Ion karbonat di lautan menjadi kurang berlimpah di laut yang lebih asam. Akibatnya spesies kerang (kerang, tiram) akan kesulitan untuk membuat cangkang/kerangka yang mereka butuhkan.
Plankton yang merupakan basis jaring makanan samudra, diperkirakan juga akan mengalami kesulitan dalam beradaptasi. Kenaikan kadar asam dalam lautan dapat menimbulkan "efek cascading", yang berpotensi mengubah komposisi ekosistem karena mengganggu ketersediaan makanan pokok berbagai hewan laut sehingga mempengaruhi rantai makanan.
Kondisi laut yang lebih asam dapat berakibat negatif pada kelestarian terumbu karang. Dengan kandungan kalsium karbonat yang lebih rendah, kemampuan karang untuk mempertahankan terumbu mereka akan berkurang. Padahal, terumbu karang merupakan habitat penting bagi organisme laut serta melindungi masyarakat yang tinggal pesisir dari hempasan badai.
ADVERTISEMENT
Lebih dari 1 miliar orang mengandalkan hasil laut sebagai sumber makanan dan juga penghidupan mereka. Perubahan kadar keasaman air laut ini diperkirakan akan merugikan perekonomian global sebesar $ 1 triliun per tahun pada tahun 2100.
4. Karbon dioksida (CO2).
Pelepasan karbon dioksida ke udara. (Foto: Wikimedia Commons)
Jumlah karbon dioksida (CO2) telah meningkat di atmosfer sejak terjadinya Revolusi Industri. Pengukuran kadar karbon dioksida (CO2) dilakukan secara terus menerus sejak akhir 1950-an di Observatorium Mauna Loa, Hawaii.
Hasil dari pengukuran tersebut merupakan dasar dari pembuatan “Kurva Keeling”, salah satu grafik paling ikonik dalam ilmu yang mempelajari iklim (klimatologi). Konsentrasi CO2 biasanya diukur dalam komponen per juta, atau ppm.
Sejak pengukuran pertama pada tahun 1958, CO2 telah meningkat dari 313 ppm menjadi 400 ppm. Dengan menggunakan teknik lain, para ilmuwan menghitung bahwa kadar CO2 pada awal Revolusi Industri berada di kisaran 280 ppm.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar kenaikan karbon dioksida berasal dari aktivitas manusia, terutama dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Observasi pengukuran karbon dioksida yang dilakukan pada berbagai tempat di seluruh dunia sejalan dengan hasil pengukuran Observatium Mauna Loa.
Karbon dioksida adalah faktor utama dalam terbentuknya gas rumah kaca yang mendorong terjadinya perubahan iklim. Baru-baru ini, kadar CO2 bahkan melampaui angka 400 ppm di atmosfer untuk pertama kalinya sepanjang sejarah.
Grafik kenaikan karbon dioksida secara global. (Foto: Climate Central)
Para ilmuwan menemukan bahwa tingkat CO2 dengan level setinggi itu, pernah terjadi lebih dari 3 juta tahun yang lalu, ketika Arktik memiliki suhu 32° F lebih hangat daripada saat ini. Pada saat itu, permukaan laut mencapai ketinggian 90 kaki.
ADVERTISEMENT
Iklim merespon perubahan kadar CO2 secara perlahan. Sehingga, walaupun emisi karbon terhenti hari ini, temperatur global akan terus mengalami peningkatan dan dampaknya tetap kita rasakan selama beberapa dekade yang akan datang.
5. Cuaca ekstrim.
Badai Irma yang melanda kawasan selatan Amerika Serikat pada 9 September 2017. (Foto: Carlos Barria/Reuters)
Seiring dengan perubahan iklim, cuaca ekstrim semakin kerap terjadi. Akibatnya, jumlah daerah yang terkena dampak juga terus mengalami peningkatan.
Cuaca ekstrim biasanya terjadi setiap 20 tahun sekali pada tahun 1960-an. Saat ini, cuaca ekstrim terjadi setiap 10 sampai 15 tahun sekali. Adapun rekor tertinggi melampaui rekor terendah dengan rentang margin yang semakin besar.
Kecenderungan terjadinya cuaca ekstrim panas diperkirakan akan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2100. Berikut grafiknya.
Suhu ekstrim kini makin sering terjadi. (Foto: Climate Central)
ADVERTISEMENT
Para peneliti memperkirakan bahwa kedepan frekuensi terjadinya cuaca panas (hot weather) maupun cuaca panas yang ekstrim (extreme hot weather) akan lebih sering terjadi, sementara cuaca dingin yang ekstrim (extreme cold weather) akan mengalami penurunan.
(Foto: Climate Central)
Para peneliti dari Universitas Cambridge dan the National Snow and Ice Data Center di Universitas Colorado memperkirakan bahwa pada tahun 2200 nanti, dampak ekonomi yang ditimbulkan dari perubahan iklim mencapai $ 43 triliun.
Mereka menggunakan model skenario yang dikembangkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change. Kerugian yang dimaksud mencakup kerugian di sektor pertanian, peningkatan biaya kesehatan, hingga membengkaknya tagihan listrik akibat AC yang terus menyala seiring dengan suhu yang semakin panas.
Sebagaimana kita ketahui, panas yang berlebihan dapat mengurangi kemampuan tubuh untuk mengatur suhu dan memicu hipotermia. Cuaca panas ekstrim yang terjadi di Chicago pada tahun 1995 telah menyebabkan lebih dari 700 orang meninggal. Sementara cuaca panas ekstrim yang terjadi pada tahun 2006 di California menyebabkan 655 kematian, 1.620 orang rawat inap, dan 16.000 kunjungan ke unit gawat darurat.
ADVERTISEMENT
Para peneliti juga memperkirakan cuaca panas ekstrim di 40 kota terbesar Amerika Serikat akan meningkat lima kali lipat pada pertengahan abad ini. Jumlah total kematian akibat panas yang berlebihan juga diprediksi akan membengkak menjadi dua kali lipat dibandingkan total kematian akibat cuaca panas sepanjang 1975-2004.
Dari lima indikator utama beserta dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim dan pemanasan global, apakah kamu memilih untuk mengabaikannya? Yuk, cari tau apa yang bisa kamu lakukan untuk tidak memperparah kondisi ini.