Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengkaji Perubahan Iklim (Bagian II)
30 Desember 2017 2:59 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Manik Sukoco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang petugas pemadam kebakaran sedang bekerja untuk memadamkan api di Bonsall, California pada 7 Desember 2017. (Foto: Mike Blake/Reuters)
ADVERTISEMENT
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari paparan mengenai indikator perubahan iklim. Berikut adalah lima indikator yang mempengaruhi perubahan iklim. Kelima indikator lainnya telah dibahas pada bagian pertama .
1. Tutupan salju.
Tutupan salju di belahan bumi utara. (Foto: NASA Earth Observatory)
Luas tutupan salju menjadi salah satu indikator dalam pemanasan global. Sejak satelit mengumpulkan data tentang tutupan salju awal tahun 1970-an, telah terjadi kecenderungan pengurangan penutupan salju pada musim dingin di belahan bumi utara.
Kebanyakan orang beranggapan bahwa pada musim panas, salju masih menutupi hamparan tanah yang luas di kutub utara. Namun, selama 50 tahun terakhir, tutupan salju telah menurun dari posisi tertinggi 10,28 juta mil persegi (2.662 juta hektare) pada tahun 1979 ke posisi 3,69 juta mil persegi (955 juta hektare) pada tahun 2013. Tutupan salju pada musim semi juga menurun sejalan dengan kenaikan suhu yang mendorong peningkatan pencairan salju.
Tutupan salju di belahan bumi utara yang terus mengalami penurunan. (Foto: Climate Central)
ADVERTISEMENT
Sebagaimana es, salju memiliki reflektifitas yang tinggi. Musim salju yang kini lebih pendek dapat meningkatkan jumlah sinar matahari yang diserap oleh permukaan bumi.
Intensitas salju yang turun pada musim semi sebelumnya, andil pada kenaikan suhu bumi. Melelehnya salju juga mempengaruhi persediaan air di daerah-daerah yang mengandalkan cadangan air dari limpasan salju musim semi.
Meskipun tutupan salju pada musim gugur dan musim dingin cukup konsisten selama 40 tahun terakhir. Namun, berkurangnya tutupan salju dikhawatirkan dapat mengganggu ketersediaan pasokan air di berbagai belahan dunia.
2. Peningkatan muka air laut.
Naiknya permukaan air laut di kawasan Greenland. (Foto: Jason Edwards/Getty Images)
Kenaikan suhu udara menyebabkan permukaan laut global mengalami peningkatan. Ada dua mekanisme utama yang mempengaruhi hal ini. Pertama, volume air mengembang saat suhu menghangat sehingga menyebabkan permukaan air meningkat. Kedua, suhu yang lebih panas mencairkan es di daratan (seperti gletser dan lapisan es kutub), sehingga menambahkan lebih banyak air ke laut.
ADVERTISEMENT
Pengukuran satelit dan pasang surut air laut (Australia’s Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation dan NOAA) telah menunjukkan peningkatan permukaan laut mutlak sebesar 1,7 mm per tahun (dari tahun 1880-2011) di seluruh samudra di dunia, dengan kecenderungan permukaan air yang meningkat dari 2,7 sampai 3,2 mm per tahun (dari tahun 1993-2011).
Permukaan air laut secara global mengalami peningkatan. (Foto: Climate Central)
Kenaikan permukaan air laut dapat bergerak lebih cepat lagi di masa depan dengan mencairnya lapisan es di Antartika bagian Barat. Lapisan es telah berkurang secara drastis dan mencair secara tak terbendung sehingga berpotensi menaikkan permukaan air laut hingga 4-10 kaki (1-3 meter).
Di Amerika Serikat, hampir 30.000 mil persegi (77.699 hektare) tanah maupun rumah bagi 12,3 juta orang, terletak kurang dari 3 meter di bawah garis pasang air laut. Daerah yang dimaksud meliputi lebih dari setengah wilayah pada 40 kota besar di Amerika, seperti: New York City, Boston, dan New Orleans.
ADVERTISEMENT
Sepertiga populasi warga Amerika Serikat tinggal di dataran rendah yang rentan terhadap konsekuensi dari kenaikan permukaan air laut ini. Tingkat keparahannya bervariasi, mulai dari genangan permanen hingga intrusi air asin ke sumber air tawar.
Kenaikan muka air laut tentu mengancam kehidupan penduduk di kawasan yang berpotensi terdampak. Jika tidak ada tindakan adaptasi yang diambil, kenaikan permukaan laut diperkirakan akan menghabiskan biaya sebesar $ 1 triliun per tahun pada tahun 2050.
3. Mencairnya gletser dan lapisan es.
Mencairnya es di kawasan Greenland. (Foto: Climate Central)
Mencairnya lahan es (gletser dan lapisan es) juga merupakan indikator pemanasan global. Lahan es adalah pemasok sebagian besar air tawar dunia. Luas dari lahan es ini bahkan mencakup 10 persen luas daratan.
ADVERTISEMENT
Setiap benua (kecuali Australia) memiliki sejumlah lahan es. Namun, sebagian besar lahan es terdapat di kawasan Greenland dan Antartika. Menurut gambar yang dipublikasikan oleh Universitas Georgia, wilayah Greenland telah mengalami pengurangan es dalam jumlah yang cukup signifikan.
Kawasan yang berwarna oranye adalah kawasan lahan es di kawasan Greenland yang mencair pada tanggal 15 September 2017. (Foto: NSIDC/Thomas Mote, University of Georgia)
Kawasan yang ditampilkan dalam graduasi warna adalah kawasan lahan es di kawasan Greenland yang mencair sepanjang 1 Januari hingga 26 Desember 2017. (Foto: NSIDC/Thomas Mote, University of Georgia)
Perbandingan persentase lahan es yang mencair pada periode 1981-2010 dengan persentase lahan es yang mencair pada tahun 2017 di kawasan Greenland. (Foto: NSIDC/Thomas Mote, University of Georgia)
ADVERTISEMENT
Sejak tahun 2002, Antartika kehilangan lebih dari 24 mil kubik lahan es per tahun. Daerah lain juga telah mengalami pencairan gletser secara dramatis, termasuk diantaranya: Alaska, Himalaya, dan Gunung Kilimanjaro (yang kehilangan sekitar 80% dari es glasial yang tampak seabad yang lalu).
Grafik pengurangan lahan es di kawasan Greenland dan Antartika. (Foto: Climate Central)
Pencairan es di daratan berkontribusi pada kenaikan permukaan air laut karena menambah volume air di lautan. Hampir seperenam populasi dunia - termasuk di Amerika Selatan dan Asia Tengah - bergantung pada limpasan glasial untuk mencukupi ketersediaan air tawar.
Lahan es yang terdapat di kawasan Greenland dan Antartika merupakan penyedia 75 persen air tawar dunia. Jika lahan es meleleh seluruhnya, permukaan air laut diperkirakan akan naik setinggi 75 meter. Mencairnya lahan es dapat menyebabkan hilangnya sumber air tawar penduduk.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana es di lautan, es tanah juga bersifat sangat reflektif. Melelehnya lahan es dapat meningkatkan penyerapan energi surya dan memperparah dampak pemanasan global.
4. Kebakaran hutan di Amerika.
Seorang petugas pemadam kebakaran sedang bekerja untuk memadamkan api di Bonsall, California pada 7 Desember 2017. (Foto: Mike Blake/Reuters)
Sejak 1970, jumlah rata-rata tahunan kebakaran hutan mencapai lebih dari 1.000 hektare. Jumlah ini bahkan telah meningkat lebih dari dua kali lipat di Amerika Serikat bagian barat.
Kebakaran kini berlangsung lebih lama dari yang biasa terjadi. Penyebab utamanya adalah peningkatan suhu udara. Kenaikan suhu berkontribusi pada terjadinya hujan salju di Amerika Serikat bagian barat sehingga menyebabkan kondisi lebih kering. Temperatur bumi yang terus meningkat juga memungkinkan terjadinya perluasan total area yang terbakar.
ADVERTISEMENT
Proyeksi menunjukkan bahwa setiap kenaikan suhu 1,8° F berpotensi menaikkan suhu rata-rata hingga 9° F di Amerika Serikat bagian barat pada tahun 2100. Adapun daerah yang terbakar diprediksi akan bertambah hingga empat kali lipat.
Kebakaran hutan di Amerika yang kini berlansung 105 hari lebih lama dari yang biasa terjadi. (Foto: Climate Central)
Hutan di kawasan Amerika Serikat menyedot sekitar 250 juta metrik ton karbon pada tahun 2010, mengimbangi lebih dari 15 persen emisi karbon dioksida negara tersebut. Kebakaran hutan mengancam fungsinya sebagai penyerap karbon menjadi sumber emisi dengan melepaskan karbon yang tersimpan ke atmosfer, sebagaimana yang terjadi di California.
Kebakaran hutan juga memiliki konsekuensi kesehatan yang serius. Dari tahun 2002-2013, kebakaran hutan di bagian barat AS secara rutin menyebabkan kualitas udara menjadi 5-15 kali lebih buruk daripada kualitas udara normal di kota-kota yang berjarak 100 mil dari kebakaran. Meningkatnya kebakaran juga berdampak pada membengkaknya biaya untuk memadamkan api.
ADVERTISEMENT
Dinas Kehutanan Amerika Serikat bersama Departemen Dalam Negeri telah menghabiskan sekitar $ 3,5 miliar per tahun untuk melawan kebakaran, tiga kali lipat dari apa yang mereka habiskan di tahun 1990-an.
5. Menghangatnya suhu global.
Kenaikan suhu secara global merupakan indikator perubahan iklim yang paling jelas. Menurut catatan temperatur NOAA, suhu rata-rata bumi telah meningkat secara drastis selama lebih dari satu abad. Pengukuran temperatur udara dilakukan di darat maupun laut di seluruh dunia oleh beberapa organisasi internasional, seperti: NASA, NOAA, UK Met Office.
Tiga dataset utama yang tersedia, saling menguatkan satu sama lain. Perbedaan dalam metode analisis bahkan memperkuat tingkat kepercayaan terkait hasil yang ditunjukkan. Ketiga dataset utama melaporkan hal yang serupa, bahwa temperatur bumi semakin meningkat.
Kenaikan suhu secara global dari masa ke masa. (Foto: Climate Central)
ADVERTISEMENT
Menurut NOAA, rata-rata suhu permukaan di daratan dan lautan pada 2016 mengalami peningkatan sebesar 0,94° C diatas rata-rata temperatur udara selama abad ke-20 yang sebesar 13,9° C. Suhu rata-rata permukaan bumi saat ini, sekitar 0,45-0,56° C diatas suhu rata-rata bumi pada periode 1981-2010.
Meskipun angka 0,94° C mungkin tidak terdengar seperti jumlah yang besar, namun angka ini telah berkontribusi pada serangkaian isu dari pencairan es di laut Arktik, kenaikan permukaan air laut, pergeseran ekosistem, kekeringan, dan terjadinya sejumlah gelombang panas.
Peta kenaikan suhu global sepanjang Bulan Januari-November 2017. (Foto: Climate Central)
Sejak tahun 1950-an, setiap dekade menjadi lebih hangat dari dekade sebelumnya. Bahkan terjadi lompatan suhu yang cukup besar setelah tahun 1970-an. Suhu diprediksi akan meningkat lebih tajam dalam beberapa dekade mendatang, kecuali jika permasalahan emisi gas rumah kaca dapat diatasi.
ADVERTISEMENT
Dampak perubahan iklim di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Indonesia, yang merupakan negara kepulauan, sangatlah rentan terhadap kenaikan suhu bumi yang mengakibatkan naiknya permukaan laut.
Kenaikan permukaan laut setinggi satu meter, dapat menenggelamkan wilayah seluas lebih dari 400.000 hektare. Di Jakarta saja, kenaikan permukaan air laut setinggi 50 cm berpotensi membuat kawasan Jakarta Utara tenggelam dan mengancam kehidupan 270.000 orang.
United States Agency for International Development (USAID) memperkirakan bahwa pada 2050 Indonesia harus menanggung kerugian paling tidak sebesar Rp.132 triliun dari sebagian dampak perubahan iklim yang dapat dikuantifikasi. Dari jumlah tersebut, 53% kerugian disebabkan oleh penurunan produksi pertanian, 34% dari meningkatnya biaya kesehatan, dan 13% dari kenaikan muka air laut.
ADVERTISEMENT
Angka Rp.132 triliun didapat jika menghitung dampak yang sifatnya gradual. Apabila dampak non-gradual (seperti terjadinya badai dan kebakaran hutan) ikut diperhitungkan, maka jumlah kerugian akan lebih besar lagi.
Melihat kesepuluh indikator perubahan iklim beserta dampaknya, sudah selayaknya masyarakat lebih menaruh kepedulian akan lingkungan dan turut mengambil langkah penting untuk melawan perubahan iklim. Langkah tersebut tentu sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Dukungan dari masyarakat sangatlah diperlukan untuk mencapai ketujuhbelas poin dalam sustainable development goals (SDGs).