Konten dari Pengguna

Mengurai Tiga Aspek G30S demi Terwujudnya Rekonsiliasi Nasional

Manik Sukoco
Senang membaca. Sesekali menulis.
30 September 2017 18:08 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Manik Sukoco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengurai Tiga Aspek G30S demi Terwujudnya Rekonsiliasi Nasional
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Jokowi dan Panglima TNI nonton bareng film G30S (Foto: Istimewa)
ADVERTISEMENT
Sudah menjadi suguhan rutin media, setiap akhir Bulan September topik mengenai G30S disajikan dalam berbagai format. Kontennya bervariasi, mulai dari yang bertujuan menciptakan pesan damai, mengupas sisi sejarah, sampai dengan yang berbau politis.
Membahas Peristiwa G30S dan apa yang terjadi setelahnya tidaklah mudah. Topik ini sangat rawan polemik. Setengah abad telah berlalu semenjak kejadian itu terjadi, tapi perkara ini tak kunjung selesai dan belakangan justru semakin santer diperbincangkan.
Selain menjadi wacana diskursus kalangan intelektual maupun perbincangan di ruang publik, pada tahun ini topik seputar 1965 terangkat kembali ke permukaan dengan beberapa polemik baru. Salah satunya yaitu diputarnya kembali film kontroversional G30S yang sempat dihentikan penayangannya.
Topik 1965 juga menjadi alasan dibubarkannya Seminar Sejarah di Gedung YLBHI/LBH Jakarta (16/9). Drama berlanjut dengan munculnya aksi vandalisme setelah penyelenggaraan acara pentas seni di gedung yang sama keesokan harinya.
Mengurai Tiga Aspek G30S demi Terwujudnya Rekonsiliasi Nasional (1)
zoom-in-whitePerbesar
Kantor LBH Jakarta dikepung massa (Foto: Antara/Muhammad Adimaja)
ADVERTISEMENT
Topik ini semakin ramai diperbincangkan setelah Panglima TNI mengeluarkan pernyataan yang menghebohkan tentang isu pembelian 5000 senjata secara ilegal oleh institusi non-militer. Walau isu tersebut sudah ditepis oleh Menko Polhukam Wiranto, kondisi politik tak kunjung mendingin dengan diselenggarakannya aksi massa 299.
Mengurai Tiga Aspek G30S demi Terwujudnya Rekonsiliasi Nasional (2)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi 299 (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Pengulangan materi selama sekian puluh tahun ini sangatlah membosankan, terlebih karena pokok permasalahannya masih saja sama, sementara penyelesaian kasus masih jauh dari harapan publik. Masyarakat umum tidak mendapatkan informasi yang utuh dari kasus G30S karena hampir seluruh diskusi yang mengangkat tema ini dibubarkan oleh massa.
Jika melihat dari sisi sejarah, kasus G30S merupakan tonggak peralihan dari era Orde Lama ke Orde Baru. Peristiwa yang dipicu konflik di tubuh Angkatan Darat itu dengan serta merta menyeret nama Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang penculikan dan pembunuhan atas tujuh perwira AD pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965.
ADVERTISEMENT
Peristiwa tragedi kemanusiaan di Lubang Buaya itu kemudian, dalam hitungan bulan, diikuti oleh tragedi kemanusiaan yang jauh lebih besar, yakni aksi balas dendam berupa penangkapan dan pembunuhan masyarakat yang diduga menjadi anggota, simpatisan PKI, bahkan ribuan orang yang tidak terafiliasi dengan partai itu.
Sebagaimana ditulis dalam artikel "Warisan Sebuah Rezim" di Kompas (24/9/2005) bahwa dalam masyarakat Indonesia, Partai Komunis Indonesia telah lama diidentikkan sebagai partai dengan ideologi komunisme yang anti-Tuhan (atheisme). Identitas ketidak-bertuhanan orang-orang PKI ini kemudian menjadi alat pembenaran bagi tindak pembunuhan, pemusnahan, dan pengucilan para anggota PKI, simpatisan, warga yang diduga memiliki kedekatan, atau bahkan warga tak bersalah yang entah bagaimana terperangkap dalam peristiwa tahun 1965-1966.
Sudah menjadi hukum sejarah, ketika sebuah rezim berkuasa menggantikan rezim lama, terlebih jika pergantian itu terjadi dengan melalui peristiwa politik yang pelik dan kompleks, maka dengan serta-merta rezim baru akan membangun sebuah tatanan dengan paradigma tersendiri.
ADVERTISEMENT
Perubahan yang kemudian terjadi yang mengiringi pergantian rezim tersebut, tidak hanya menyangkut perubahan struktur politik, tatanan birokrasi, aturan-aturan undang-undang dan hukum, tetapi bahkan menyangkut segenap perubahan dalam hal-hal yang tidak termasuk masalah-masalah fundamental tadi, seperti hal berubahnya makna sebuah kata PKI diidentikkan sebagai kekafiran. Ingatan orang-orang PKI sebagai kaum kafir ini bersemayam sekian tahun lamanya dalam kesadaran masyarakat yang pada akhirnya menciptakan perasaan benci dan dendam yang tak berkesudahan (Kompas, 24/9/2005).
Menarik ketika membaca pendapat Solahuddin Wahid di Kompas (30/9/2005), bahwa kita perlu memisahkan Peristiwa G30S menjadi beberapa aspek, yaitu aspek kemanusiaan, ajaran, dan politik, agar masalah ini bisa diselesaikan satu per satu. Disinilah kunci untuk mengurai permasalahan G30S dan apa yang terjadi setelahnya.
ADVERTISEMENT
Fenomena yang selama ini terjadi dalam masyarakat timbul, karena tidak ada batas yang jelas ketika membahas tentang G30S. Ketiga aspek tersebut dicampur aduk menjadi satu kesatuan sehingga masyarakat tidak memahami batasannya.
Upaya sejarawan memberi pencerahan (aspek kemanusiaan) tidak digubris masyarakat karena dikira ada sangkut-pautnya dengan penyebaran komunis (aspek ajaran). Demikian juga yang terjadi dengan diskusi di kampus atau ruang publik, semuanya digeruduk atau diancam dibubarkan oleh massa karena alasan serupa.
Lebih berbahaya lagi ketika sebagian orang, secara serampangan lalu mengaitkan isu pelanggaran HAM 1965-1966 (aspek kemanusiaan), dengan bangkitnya komunisme (aspek ajaran), dan membawanya ke percaturan politik menjelang Pilpres 2019 (aspek politik).
Kesemrawutan pembahasan peristiwa G30S bukan hanya menyebabkan warisan dendam kesumat di masyarakat, namun juga berpotensi sangat besar untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, bahkan mengancam keselamatan hidup para pegiat kemanusiaan, penyintas, dan memperpanjang derita mereka.
ADVERTISEMENT
Media perlu memberikan edukasi dengan memperjelas batas antara aspek kemanusiaan, ajaran, dan politik supaya masyarakat tercerahkan. Harapannya masalah ini bisa diselesaikan secara bermartabat, setelah 52 tahun terbengkalai.
Aspek Ajaran
Pada dasarnya komunisme sudah tewas di negara ini. Landasan hukumnya adalah TAP MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme. TAP MPRS ini terdiri dari 3 pasal. Walau dari namanya saja sudah sangat jelas, tapi untuk lebih meyakinkan lagi, mari kita lihat isi dari ketetapan ini.
Pasal 1.
Menerima baik dan menguatkan kebijaksanaan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seazas/berlindung/bernaung dibawahnya dan pernyataan sebagai organisasi terlarang diseluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, yang dituangkan dalam Keputusannya tanggal 12 Maret 1966 No. 1/3/1966, dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut diatas menjadi Ketetapan MPRS.
ADVERTISEMENT
Pasal 2.
Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang.
Pasal 3.
Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada universitas-universitas, faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara terpimpin, dengan ketentuan, bahwa Pemerintah dan DPR-GR, diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan.
Dari Pasal 1 tersebut, tampak sangat jelas bahwa Komunisme/Marxisme-Leninisme sudah tamat dan tidak perlu dibahas lagi. Sebagaimana dikatakan oleh Frans Magnis Suseno, meributkan “bahaya kebangkitan kembali komunisme” justru berpotensi membangkitkan kembali suasana saling curiga dan saling memusuhi. Jangan sampai rakyat menjadi tersulut emosi dan isu ini dimanfaatkan sebagai proxy war oleh musuh-musuh demokrasi hasil reformasi.
ADVERTISEMENT
Kemudian jika merujuk pada Pasal 2, kita perlu sangat berhati-hati dalam menyebarkan informasi terkait komunisme karena sesungguhnya kegiatan menyebarkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang.
Selanjutnya mengacu pada Pasal 3, kegiatan mempelajari faham Komunisme/Marxisme-Leninisme secara ilmiah diperbolehkan seperti pada universitas-universitas, dalam rangka mengamankan Pancasila. Terlebih pendidikan tinggi merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan sebagaimana tertulis dalam konsiderans UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Seharusnya tidak boleh ada pelarangan, pemberangusan, atau pembungkaman terhadap diskusi ilmiah terkait topik ini. Pembubaran sewenang-wenang terhadap penyelenggaraan diskusi ilmiah, menentang hak berkumpul warga dan hak warga berekspresi tanpa direpresi dan ditakut-takuti, sebagaimana yang dijamin oleh konstitusi.
ADVERTISEMENT
Namun pada kenyataannya, restriksi terhadap diskursus 1965 dan Marxisme di kampus merupakan kasus yang paling dominan terjadi pada tahun 2014-2016. Rincian kasus bisa dilihat secara mendetail dalam laporan Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Edisi I/Bulan Juli 2017. Dari 18 kasus restriksi kebebasan akademik yang dapat dikumpulkan, berikut beberapa kasus yang telah ditulis dalam laporan CRCS.
Di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung terdapat penghentian sepihak "Sekolah Marxisme", yaitu serial diskusi dengan tema “Memahami Seni Lewat Pemikiran Marx”, oleh pihak kampus atas desakan dari Front Pembela Islam (FPI) pada 10 Mei 2016. Protes mahasiswa sekitar 8 hari setelah penghentian kegiatan tersebut melalui aksi “Panggung Seni untuk Demokrasi” juga mendapatkan intimidasi dari FPI.
ADVERTISEMENT
Seminar dengan topik “Marxisme sebagai Ilmu Pengetahuan” yang diadakan oleh BEM Fisip Universitas Padjajaran (Unpad) Sumedang pada 19 Mei 2016 dibatalkan secara sepihak oleh Rektorat dan Dekanat Unpad juga karena tekanan dari FPI. Kemudian sebuah diskusi tentang Marxisme dan Kekerasan Pasca 1965 oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Fenomena Universitas Islam Malang (Unisma) pada 29 September 2016 juga dibubarkan oleh aparat polisi.
Masih berkaitan dengan diskursus Marxisme dan 1965, ada beberapa kasus menyangkut restriksi terhadap diskusi dan pemutaran film "Senyap". Putaran kedua acara nonton dan diskusi film "Senyap" yang diselenggarakan oleh LPM Sintesa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM pada 17 Desember 2014 bubar setelah didatangi dan diintimidasi oleh Front Umat Islam (FUI) Yogyakarta. Di Fakultas Hukum, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya pemutaran dan diskusi film "Senyap" pada 29 April 2015 mendapatkan intimidasi dari aparat keamanan kampus. Panitia dan mahasiswa tetap melanjutkannya, sampai kemudian pemutaran film berhenti di tengah jalan karena listrik dipadamkan oleh pihak kampus. Meskipun demikian, mereka tetap melanjutkan sesi diskusi.
ADVERTISEMENT
Di UIN Sunan Kalijaga, rombongan Ormas dengan atribut keagamaan mendatangi dan mengintimidasi kegiatan pemutaran dan diskusi film "Senyap" yang diselenggarakan 16 aliansi organisasi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga pada 11 Maret 2015. Meskipun Rektor kemudian melarang mahasiswa untuk memutar film tersebut karena tekanan Ormas, tetapi mahasiswa tetap menyelenggarakan kegiatan itu sampai selesai. Diskusi dengan tema “Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Peristiwa Gestok 65” di Magister Administrasi Publik (MAP) UGM pada 4 Oktober 2016 juga tetap diselenggarakan sampai selesai, meskipun mendapat ancaman.
Selain kasus-kasus di atas, terdapat 3 peristiwa restriksi terhadap kebebasan akademik yang berkenaan dengan diskursus 1965 lainnya. Otoritas Wakil Rektor III Bidang Akademik dan Kemahasiswaan mendatangi dan mengancam penghentian kegiatan mahasiswa yang juga dihadiri dosen mengenai pemutaran dan diskusi film "Pulau Buru Tanah Air Beta" di Fakultas Tarbiyah UIN Walisongo Semarang pada 9 Juni 2016. Meskipun demikian, mereka tetap melangsungkan acara tersebut sampai selesai.
ADVERTISEMENT
Film yang sama di Fakultas Hukum UGM juga mendapatkan intimidasi dari Pemuda Pancasila dan FPI pada 21 April 2016. Akhirnya, pihak kampus membatasi peserta, hanya membolehkan mahasiswa Fakultas Hukum UGM sebagai peserta acara, padahal semula rencananya diperuntukkan bagi umum.
Peristiwa lain adalah penyelenggaraan diskusi International People’s Tribunal (IPT) 1965 di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga pada 18 Februari 2016 setelah gagal diselenggarakan di kampus lain. Meskipun berjalan lancar, kegiatan diskusi di UIN Sunan Kalijaga tersebut juga masih dibayang-bayangi pengawasan dan ancaman dari Ormas.
Kasus 1965, terutama dari aspek legal, merupakan masalah yang sangat kompleks dan telah menjadi beban sejarah. Upaya rekonsiliasi sudah lama dikumandangkan, namun bukan hanya jauh dari tuntas, malah belum mengalami perkembangan berarti, terutama menyangkut sikap resmi negara dan militer.
ADVERTISEMENT
Aspek Politik
Pada dasarnya aspek politik mengulas tentang kepentingan. Mempelajari politik berarti menelaah “who gets what, when and how”. Bicara tentang politik adalah bicara mengenai siapa yang mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana caranya.
Ariel Heryanto seperti dilansir The Conversation Indonesia (27/9) berpendapat bahwa dalam propaganda Orde Baru, Islam dan komunisme dipertentangkan secara hitam putih. Tetapi di kalangan elite politik negara, baik Islam maupun komunisme sama-sama diperlakukan sebagai alat berpolitik untuk membakar emosi massa atau stigma yang dilemparkan kepada lawan politik.
Menurut Ariel, Indonesia bisa reda dari hiruk pikuk hantu komunisme bila sudah ada alat lain yang bisa dimanfaatkan para politikus itu untuk ambisi politiknya. Bagi mereka tidak terlalu penting apakah itu ajaran komunisme, atau Islam. Yang penting sejauh mana atribut itu bisa dimanipulasi untuk kepentingan politik mereka.
ADVERTISEMENT
Demi meraih tujuan politik, para politisi terkadang abai terhadap masalah etika. Etika politik adalah batas yang bertujuan untuk menjelaskan mana tingkah politik yang baik dan sebaliknya. Standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Jangan sampai demi sebuah kepentingan, topik yang sensitif ini lalu digiring ke ranah politik karena akibatnya bisa fatal. Selain berpotensi untuk memecah belah persatuan, mengganggu keamanan/ketertiban, menimbulkan polarisasi di masyarakat, dendam sejarah yang telah berusia puluhan tahun itu masih akan diwariskan kembali pada anak cucu kita, entah sampai berapa generasi lagi.
Aspek Kemanusiaan
Sebagaimana yang ditulis di Kumparan (17/9), ada 9 unsur kejahatan kemanusiaan serius yang terjadi pada 1965/1966, yaitu: pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, kerja paksa atau perbudakan, pemerkosaan massal, pemindahan tempat tinggal secara paksa, perampasan, dan pembatasan kemerdekaan atau kebebasan berekspresi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan temuan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP), dalam peristiwa 1965/1966 terdapat unsur genosida, yaitu menghancurkan orang atau kelompok tertentu atau orang-orang yang memiliki keyakinan atau ideologi politik yang berbeda. Ada banyak versi perkiraan jumlah sesungguhnya manusia yang dibunuh, antara ratusan ribu hingga jutaan orang.
Sari Dewi Sukarno, istri Presiden Sukarno, menyebutkan,sekurang-kurangnya 2 juta manusia dibunuh. Amnesty Internasional menyebutkan 1 juta manusia dibunuh. Badan Intelijen Amerika Serikat, CIA, dalam laporannya menyebut angka korban dibunuh 500 ribu.
Sarwo Edhie Wibowo yang pada masa itu menjabat Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), pasukan elite yang ditugasi menumpas orang-orang yang dituduh komunis, menyebut angka sekurang-kurangnya 3 juta manusia dibunuh.
Sebagaimana disinggung oleh Salahuddin Wahid, aspek kemanusiaan inilah yang paling penting dan mendesak untuk diselesaikan. Pekerjaan rumah pemerintah adalah bagaimana mewujudkan rekonsiliasi antara mantan tahanan politik (tapol) 1965 dan keluarga korban dengan masyarakat luas, baik bersifat yuridis maupun kultural.
ADVERTISEMENT
G30S diperingati bukan untuk menumbuhkan kembali saling curiga, saling benci, atau saling menyalahkan, tetapi untuk mengingatkan kita semua bahwa kita pernah melakukan kesalahan besar agar tidak mengulanginya di masa depan. Kita harus menyadari, jika Indonesia ingin maju dan menjadi bangsa besar, rekonsiliasi nasional adalah syarat utama yang harus dipenuhi. Janganlah kita mewariskan dendam sejarah pada generasi penerus bangsa.