Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
ADVERTISEMENT
Hai, majalah remaja pria yang telah empat dekade menemani anak-anak muda Indonesia, hari ini menerbitkan edisi cetak reguler terakhirnya. Setelah 1 Juni ini, kamu bisa melihat Hai dalam format digital di website hai.grid.id. Tapi sesekali nanti, Hai berencana mengeluarkan edisi cetak khusus.
ADVERTISEMENT
Muncul tahun 1977, Hai menjadi kawan para remaja lintas generasi. Mulai era komik, cerita seri, hingga kini era budaya pop yang mengkombinasikan musik dan visual.
Terbitan-terbitan Hai yang terentang panjang selama 40 tahun menunjukkan, tiap generasi memiliki keunikan tersendiri. Jika menengok edisi-edisi awal Hai akhir 1970-an, ada semacam nostalgia yang muncul.
Terbitan perdana Hai diisi oleh konten komik setebal 36 halaman. Beberapa judul komik Hai dari tahun 1970-an yang mungkin diingat pembacanya hingga kini ialah Pendekar Trigan, Arad & Maya, Si Rambut Merah, atau komik strip Coki si Pelukis Cepat.
Komik kala itu memiliki daya tarik kuat, begitu digandrungi. Remaja ibu kota berlomba-lomba mengoleksi komik dan saling tukar cerita tentang komik yang mereka baca. Era komik ini baru surut pada paruh 1980-an.
ADVERTISEMENT
Jelang akhir 1980’an, tren berganti. Minat remaja tersedot pada konten musik, sedangkan video mulai banyak dikenal dalam format VHS (Video Home System). Hai lantas menyuguhkan konten dalam bentuk artikel ulasan dan sinopsis film, video, serta serial televisi.
Namun satu hal yang saat itu menjadi perhatian Hai adalah isu tawuran yang marak di kalangan anak muda. Perkelahian massal yang semula terjadi antara sekolah bertetangga, meluas menjadi antarsekolah yang jaraknya berjauhan.
Tawuran seolah berubah jadi tradisi dan dilihat sebagai simbol pertandingan kekuatan antarsekolah. Kebiasaan tawuran pun diturunkan dari senior ke juniornya.
Maka untuk meredam tren keblinger tersebut, Hai menggagas sebuah acara yang melibatkan para “jagoan” sekolah. Mereka diajak bertemu untuk berkolaborasi secara positif dalam forum bertajuk Hai Informal Meeting --yang lalu berubah nama menjadi Pesta Pelajar.
ADVERTISEMENT
Pesta Pelajar mampu menjadi wadah bagi murid remaja untuk unjuk gigi dengan cara positif. Ia memiliki fungsi ganda, yakni sebagai ajang pencarian bakat sekaligus menjadi jembatan komunikasi antarpelajar.
“Daripada tawur, ya mending nonton dulu aja. Nongkrong bareng. Yang dulu (berprinsip) senggol bacok, udahlah lu ngapain sih berantem, gak gentle amat, main aja yuk sama Hai,” kata Bayu Dwi Wardana, Pemimpin Redaksi Hai, saat berbincang dengan kumparan (kumparan.com), Rabu (24/5).
Pada ajang Pesta Pelajar tersebut, Hai berperan sebagai fasilitator yang memberi pengarahan, mengajarkan keterampilan manajerial dan berorganisasi kepada para siswa yang terlibat dalam kepanitiaan.
Kemasyhuran Pesta Pelajar kala itu lantas menjadi cikal bakal format Pentas Seni yang kerap diselenggarakan di berbagai sekolah di kota besar pada tahun 90 dan 2000’an.
Dari era 1990-an, rubrik cerita serial Hai pasti diingat pembaca setianya. Dari sanalah muncul berbagai penulis berbakat. Mereka memulai karier menulis di Hai hingga akhirnya dikenal luas.
ADVERTISEMENT
Tahun 1990-an era di mana remaja menggemari cerita pendek (cerpen), cerita bersambung (cerbung), hingga cerita serial. Sastra jadi salah satu cara mengekspresikan diri secara lebih bebas, medium untuk diam-diam meloloskan diri dari kekangan politik Orde Baru.
Maka muncullah sejumlah karya terkenal seperti Lupus, Balada si Roy, dan Anak-anak Mama Alin. Seiring kemunculan karyanya, nama Hilman Hariwijaya, Gola Gong, dan Bubin Lantang menyeruak ke permukaan.
Tahun 2000-an, rubrik Hai kian beragam, termasuk gaya hidup yang mengisi porsi dominan. Halaman Majalah Hai pun bertambah, dari 36 halaman menjadi 80 halaman, full color.
Sampai saat ini, kala teknologi internet mencengkeram dunia dan format cetak tak lagi merajai. Hai pun perlahan beralih ke daring yang jadi andalan remaja generasi ini.
ADVERTISEMENT
“Generasi 2000-an mulai booming teknologi. World wide web dikenalkan, dan dulu juga ada Friendster yang mulai bisa chatting. Makin ke sini, gulungan sapuan digital makin seru, makin tak terbatas, Hai harus makin giat,” ujar Bayu.
Tantangan lain dari generasi 2000-an ini ialah tren yang amat cepat berganti, bisa dalam hitungan hari. Musik misalnya, dari genre Britpop meliuk cepat ke K-pop.
Contoh lain, lanjut Bayu, “Kami sempat membuat content plan untuk Snapchat. Sudah rapi kami garap, ternyata Snapchat kalah dengan Instagram.”
Generasi millennials punya kecenderungan mudah berpindah, sesuka dan secocok hati mereka. Dan karakter khas yang beda dengan generasi pendahulunya ini jelas harus mendapat treatment yang berbeda.
“Kalau suka visual, ya konten visual kami prioritaskan,” kata Bayu.
Meski Hai kini dapat terus diikuti pembaca setianya dalam format digital, namun mungkin versi majalahnya bakal ngangeni.
ADVERTISEMENT
Buat kamu yang pernah tumbuh bersama Hai, apa yang paling kamu ingat dari majalah ini?