Giri Marhara, Hidup Berkubang Sampah

9 Januari 2017 8:08 WIB
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Giri Marhara. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Pemuda 20 tahun itu sepintas biasa saja. Tapi cobalah pandangi wajahnya lebih lama. Gurat tegas tergores di paras, bagai menggambarkan tekad kuat yang tertanam di hati.
ADVERTISEMENT
Giri Marhara namanya. Mahasiswa semester dua Universitas Lampung itu hidup berkubang sampah. Bermodalkan sepeda dan alat capit yang ia rancang sendiri, Marhara membawa misi besar: mewujudkan Indonesia bebas limbah.
Marhara selama tiga tahun terakhir sedikitnya telah membersihkan 1,7 ton sampah --seberat seekor sapi gemuk. Ia mencatat semua upayanya itu baik-baik.
Bermula 7 tahun lalu, saat Marhara masih duduk di bangku sekolah. Ia tak puas ketika melihat sampah berserak di sekolahnya tak dibersihkan dengan benar.
“Dulu 2010 saya lulus dari SD Insan Kamil, SD Islam (swasta). Lalu ke SMP Negeri, bukan swasta, yang pengelolaan sampahnya kurang. Saya kaget karena orang-orang kok begitu disrespectful terhadap kebersihan. Yang piket bolong-bolong. Beda dengan SD saya yang sangat kinclong karena memang ada mamang yang bersih-bersih,” kata Marhara ketika berbincang dengan kumparan, Jumat (6/1).
ADVERTISEMENT
Melihat kesadaran kawan-kawannya yang rendah terhadap kebersihan, Marhara tergugah. Ia merasa harus melakukan sesuatu. Maka Marhara berinisiatif melakukan piket secara rutin. Rutin di sini ialah setiap hari.
Mestinya, jika sesuai jadwal, Marhara hanya bertanggung jawab untuk piket di hari Selasa. Tapi, jadwal itu tak dipatuhi oleh Marhara.
Alih-alih hanya piket hari Selasa, setiap hari saat jam pelajaran sudah berakhir, Marhara tak langsung pulang. Ia keliling sekolah dengan membawa sapu, ember, dan pel di tangan.
Sampai akhirnya Marhara tiba di titik jenuh. Ia bosan menjadi “pawang” kebersihan sendirian. Marhara butuh teman untuk berjuang bersama. Maka dia menyiapkan aksi selanjutnya.
Satu hari saat upacara sekolah, Marhara berpidato di hadapan kawan-kawan dan guru-gurunya. Ia mengajak seluruh teman di sekolahnya untuk ikut ambil bagian menyelesaikan masalah sampah yang pelik.
ADVERTISEMENT
Gayung bersambut. Kawan-kawan Marhara terketuk hatinya. Mereka turut piket rutin bersama Marhara. Kumpulan itulah yang menjadi cikal bakal terbentuknya Avian Sanitizing Force (ASF), sebuah organisasi nonprofit yang ia kembangkan dengan misi membersihkan sampah, mulai dari proses sanitasi hingga pengolahannya.
Berawal dari 7 orang, anggota ASF bertambah menjadi 13 orang saat Marhara naik ke kelas 3 SMP. Perhatian terhadap Marhara dan ASF pun semakin tinggi, sampai-sampai Marhara selalu dijuluki “seksi kebersihan.”
Bertambahnya anggota ASF, meski perlahan, menjadi salah satu titik lompatan yang membakar semangat Marhara untuk melakukan aksi lebih besar.
“Waktu kelas 9 (3 SMP), kami sudah mulai bosan sama (membersihkan) sekolah. Sekolah sudah punya regulasi kebersihan dan kami sudah terlalu terkenal dan mulai merasa bosan. Kami lalu buat aksi ke luar sekolah. Karena waktu itu SMP saya lokasinya dekat dengan IPB, kami bersih-bersih ke hutan IPB,” ujar Marhara.
ADVERTISEMENT
Sekolah Marhara di kemudian hari memang punya sistem manajemen sampah yang apik, dengan program rutin "Sabtu Bersih." Guru-guru mengambil alih tata kelola lingkungan sekolah dan menjaga standarnya. Perbaikan amat terasa.
Marhara dan teman-teman ASF-nya menggencarkan aksi bersih-bersih di luar sekolah sepanjang tahun terakhir mereka di SMP. Masa itu menjadi momen kejayaan ASF. Sampai akhirnya Ujian Nasional tiba dan semua anggota ASF lulus SMP.
Kawan-kawan Marhara di ASF mulai hilang satu per satu ditelan kesibukan masing-masing. Ia sendiri lagi.
Tapi ia kadung cinta meski kerap diserang rasa kesepian. Marhara pun tetap berjuang tanpa menyesal.
“Enggak ada yang bantuin, rasanya berat. Bersatu dengan alam, sekaligus berpisah dengan teman,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Marhara lantas menjaga nyala “api” motivasinya dengan membuat catatan rekor diri. Itu buku catatan sederhana, berisi daftar aksi yang sudah ia lakukan, disertai detail lokasi operasi dan jumlah sampah yang dibersihkan. Pada catatan itu, Marhara membubuhkan bintang emas tiap kali berhasil membersihkan 100 kilogram sampah.
Kini Marhara hampir menuntaskan dua buku catatan rekor diri. Selama tiga tahun terakhir, tercatat ia telah membersihkan 1.700 kilogram sampah.
Marhara punya target, sebelum usianya mencapai 23 tahun --artinya tiga tahun lagi, ia sudah harus mampu membersihkan setidaknya 100 ton sampah.
“Ini tidak ada nilai uangnya, hanya ingin membuat diri saya melakukan yang terbaik,” ujar Marhara.
Setamat SMA di Bogor, Marhara masuk jurusan sosiologi Universitas Lampung. Ia sengaja memilih sosiologi sebagai bidang untuk ditekuni, percaya bahwa sosiologi merupakan salah satu ilmu yang mampu menyelesaikan masalah sampah di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Menurut Marhara, sampah bukan cuma persoalan alam, tapi juga sosial. Ia menyoroti tata kelola sampah yang berbeda di wilayah kota dan pinggiran, termasuk dalam hal pengolahan sampah dan sanitasinya.
Kemiskinan pun, ujarnya, jadi problem mendasar yang menjadi bagian dari aspek sosial dari persoalan sampah.
Singkat cerita, Marhara ingin menggunakan perspektif sosiologis untuk menyelesaikan masalah sampah secara menyeluruh, dengan menyentuh akar persoalan.
Tumpukan sampah di pinggir jalan (Foto: ANTARA FOTO/Rony Muharrman)
Di bangku kuliah kini, Marhara merasa lebih mudah untuk membagi waktu antara kampus dan aksi bersih-bersihnya, sebab ada banyak waktu luang di sela perkuliahan.
“Saya pikir dulu membagi waktu sangat sulit, tapi ternyata saat kuliah waktu luangnya banyak sekali. Jadi daripada saya diam di kosan enggak ngapa-ngapain, ya mending bergerak di lapangan,” kata Marhara.
ADVERTISEMENT
Aksi terbaru yang ia lakukan di masa kuliah ini ialah pada 17 Desember 2016, sebelum Ujian Akhir Semester (UAS). Marhara mengambil lokasi operasi di belakang gedung serba guna di universitasnya untuk dibersihkan.
Awal tahun ini, Marhara hendak beraksi selepas UAS semester 1. Lokasi operasi di Lampung, kota tempat ia menimba ilmu saat ini. Setelah itu, bulan depan Marhara akan pergi ke Jakarta untuk mengikuti peringatan Hari Peduli Sampah Nasional pada 21 Februari.
Sampah di TPA Talangagung (Foto: Antarafoto)
Cerita Marhara memperlihatkan bahwa sampah bukan masalah enteng. Ini persoalan sosial dan lingkungan yang harus mendapat prioritas untuk dituntaskan. Berkaca pada Marhara, perubahan bisa dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat, tak melulu diawali dengan target muluk-muluk.
ADVERTISEMENT
Kepada kaum muda Indonesia, Marhara menitipkan pesan.
“Kamu memang tidak bisa melakukan semua hal. Tapi apa yang bisa kamu lakukan, itulah yang harus kamu lakukan.”
Simak lebih dalam di kisah selanjutnya: Gerobak "Sakti" Marhara
Marhara bersama Wahyu, kawan seperjuangannya. (Foto: doc. pribadi: Giri Marhara)