Memantik Api Imaji Bocah lewat Film Anak Indonesia

30 Maret 2017 11:13 WIB
ADVERTISEMENT
Anak SD berlarian di halaman sekolah mereka (Foto: ANTARA FOTO/Kornelis Kaha)
ADVERTISEMENT
Langit adalah atap rumah, sungai adalah samudra, dan gunung adalah tiang pancang kokoh bagi rumahmu --bumi belantara semesta.
Begitulah mungkin dunia di mata kanak-kanak --tempat bermain yang amat menyenangkan. Dan imaji itu berhasil diwujudkan, salah satunya, melalui Petualangan Sherina.
Petualangan Sherina ialah film musikal untuk semua umur yang disutradarai Riri Riza dan diproduseri Mira Lesmana. Film dengan bintang utama Sherina Munaf --penyanyi cilik yang saat itu sedang naik daun dan oleh sebab itu namanya dijadikan judul film-- tersebut meraih penghargaan Film Anak-anak Terpuji dalam Festival Film Bandung.
Muncul tahun 2000, Petualangan Sherina menawarkan keindahan masa kanak-kanak seperti keriangan dan pertemanan para bocah, alur cerita menyenangkan nan menegangkan, yang dibubuhi deretan lagu apik karya komposer terkemuka, almarhum Elfa Secioria.
ADVERTISEMENT
Kisah dimulai saat Sherina, seorang anak perempuan yang hidup bahagia dengan banyak sahabat di kota Jakarta, harus pindah ke Bandung seiring pekerjaan baru yang diperoleh sang ayah di wilayah itu.
Sherina kecewa dan sedih karena harus berpisah dari kawan-kawan kentalnya di ibu kota. Bayangan tentang tinggal di daerah baru yang asing lantas sempat memicu resistensi dalam dirinya terhadap kedua orang tuanya.
Namun proses adaptasi Sherina di lingkungan baru ternyata tak begitu sulit. Ia bertemu dan berkenalan dengan teman-teman baru di sekolah. Semuanya berjalan baik --kecuali keberadaan bocah lelaki bandel bernama Sadam (diperankan Derby Romero) yang sejak awal menjaili Sherina dengan mengatainya “Anak Monyet”.
Ketidaksukaan Sherina terhadap Sadam, begitu pula Sadam terhadap Sherina yang berani melawannya, kian menjadi-jadi hingga keduanya justru dipertemukan saat long weekend. Saat Sherina diajak orang tuanya berlibur di perkebunan milik atasan ayahnya, ia justru mendapati fakta bahwa Sadam ialah putra bos ayahnya, Ardiwilaga (diperankan Didi Petet).
ADVERTISEMENT
Ardiwilaga, atasan ayah Sherina, ialah pemilik perkebunan luas di selatan Bandung yang belakangan didera masalah karena berbagai jenis tanaman di kebunnya dirusak dengan sengaja entah oleh siapa.
Di tengah suasana sejuk perkebunan itu, Sherina dan Sadam terlihat saling tantang, hingga mereka balapan melintasi bukit di areal perkebunan ayah Sadam berakhir dengan penculikan Sadam oleh orang suruhan Kertarajasa, konglomerat yang mengincar perkebunan luas milik ayah Sadam untuk dijadikan lahan bisnis properti.
Aksi heroik pun dilancarkan Sherina untuk membebaskan Sadam --kawan barunya yang tak pernah ia suka. Pada akhirnya, kecerdikan Sherina berhasil menyelamatkan Sadam, dan berujung pada luluhnya hati Sadam.
Sadam dan Sherina tak lagi bermusuhan. Keduanya bersahabat. Akhir bahagia bagi seorang bocah penonton film, setelah imaji mereka dibawa hanyut selama 93 menit oleh tempo cerita yang cukup cepat diselingi lagu asyik di sana-sini.
10 film terlaris, Laskar Pelangi. (Foto: Dok. Wikipedia)
Laskar Pelangi, yang diadaptasi dari novel berjudul serupa karya Andrea Hirata, juga menjadi perwujudan keindahan imajinasi dari alam pikir para bocah.
ADVERTISEMENT
Film ini, seperti bukunya, mengisahkan tentang 10 anak yang mengenyam pendidikan di sebuah sekolah dengan bangunan tak layak. Namun segala keterbatasan tak membuat semangat belajar bocah-bocah itu lenyap.
Adegan kegiatan belajar-mengajar yang menyenangkan dan perjuangan hidup bocah-bocah itu, dengan latar Pulau Belitung yang indah, seakan memanjakan mata penonton. Kelakar khas anak-anak yang tak jarang muncul pun berhasil memancing gelak tawa penonton.
Seperti Petualangan Sherina, Laskar Pelangi yang dirilis tahun 2008 juga disutradarai oleh Riri Riza dengan Mira Lesmana sebagai produser.
Film anak sudah semestinya mengangkat kisah dari sudut pandang kanak-kanak. Cara ini pun efektif untuk proses edukasi dan penanaman nilai, bahkan bisa ikut dinikmati oleh orang dewasa yang bisa jadi teringat dengan masa kecil mereka.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, film anak-anak tak selalu dibuat menggunakan kacamata anak-anak. Alih-alih menyuguhkan film untuk anak-anak dari perspektif mereka, banyak film anak Indonesia yang mengenakan sudut pandang orang dewasa dalam penceritaannya. Hasilnya sudah pasti tak sesuai ditonton anak-anak, minimal membosankan bagi mereka.
“Film anak-anak itu pakemnya, selain karakter utamanya anak-anak, ceritanya juga harus dari sudut pandang anak-anak. Simpel dan riang, bukan yang berat-berat. Mestinya begitu, tapi film anak-anak Indonesia memang sedikit,” kata Shandy Gasella, pengamat film Indonesia, kepada kumparan (kumparan.com), Jumat (24/3).
Dalam situs resmi filmindonesia.or.id yang menyajikan data dan informasi tentang perfilman Indonesia, tercatat sedikitnya ada 33 film anak-anak yang diproduksi pada periode 1950-1998. Salah satunya berjudul Lima Sahabat, yang menceritakan tentang kehidupan masa kecil seorang anak bernama Saba.
ADVERTISEMENT
Kehidupan anak yang energik, ceria, iseng, namun juga penuh perjuangan, tergambarkan begitu baik melalui jalan cerita film itu.
Diceritakan tentang hobi Saba dan empat kawannya bermain ketapel. Sampai-sampai mereka mengambil sepatu kulit entah milik siapa guna diambil kulitnya dan dipakai untuk bermain ketapel.
Belakangan, diketahui bahwa sepatu tersebut milik Pak Dahlan --yang marah bukan main, lalu membuang sepatunya yang sudah dikuliti di beberapa bagian.
Adegan kebandelan itu lantas “dibayar” dengan scene mengharukan saat kelima anak itu mengambil sepatu yang dibuang Pak Dahlan, untuk diberikan kepada seorang veteran perang yang membutuhkan sepatu.
Lima Sahabat adalah salah satu film anak pada periode Orde Baru yang mampu menghadirkan kehidupan masa kecil anak yang indah, ceria, sekaligus diwarnai aksi jahil dan bandel.
Anak kecil berenang di Sungai Ciliwung (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Pada masa Orde Baru --anggaplah berkah di antara kutukan, peraturan sensor dan konten film anak cenderung lebih terjaga, sehingga alur cerita akan disesuaikan dengan penonton yang disasar, yakni anak-anak.
ADVERTISEMENT
Walau angka produksi tak banyak, anak-anak sedikit banyak mendapatkan tayangan yang sesuai dengan sudut pandang mereka.
Setelah Orde Baru rontok, produksi film anak meningkat walau angkanya masih terhitung kecil. Namun masalah angka bukan momok utama. Problem paling besar ialah bagaimana proses penyampaian film anak-anak tersebut.
Dimulai dari produksi film Petualangan Sherina di tahun 2000, angka produksi film anak saat ini berada di kisaran angka 42 film.
Sayangnya, sudut pandang film kerap tak memakai kacamata para bocah. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh kebebasan berekspresi yang dibawa angin Reformasi, sehingga konten film yang ingin disajikan dapat disesuaikan dengan mudah oleh selera produser dan pasar potensial --yang tak selalu anak-anak.
Hal lain yang juga memengaruhi adalah pasar film anak yang cenderung sedikit, bahkan film anak menjadi genre terakhir yang dipilih untuk diproduksi. Sehingga, melibatkan sudut pandang orang dewasa dalam film menjadi salah satu “alternatif” untuk mengundang pasar yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, dalam hal ini anak lantas menjadi “korban”. Film anak tak sepenuhnya ditujukan untuk mereka dan jadi milik mereka.
Sebut saja film Wonderful Life yang digarap tahun 2016, dengan alur cerita fokus pada dua karakter utama, yakni Amalia sang ibu (diperankan Atiqah Hasiholan) dan Aqil sang anak (Sinyo).
Wonderful Life mengisahkan tentang Amalia, seorang ibu yang ambisius dalam kariernya dan bertekad mendorong anaknya untuk berprestasi dalam pendidikan. Namun, ternyata garis hidup berjalan berbeda; Aqil ternyata mengalami disleksia --gangguan dalam membaca dan menulis yang menghambat proses belajar.
Amalia lantas menempuh segala cara untuk menyembuhkan sang anak. Mulai ke orang pintar hingga mencari dokter yang mampu memberi terapi bagi sang anak.
ADVERTISEMENT
Dalam langkah penyembuhannya, begitu banyak kejadian dan pengalaman reflektif yang membuatnya tertekan dan trauma. Sebagai seorang perempuan yang cenderung kaku dan memandang segalanya hitam-putih, Amalia akhirnya harus mengubah diri agar dapat menyelamatkan Aqil dan berhadapan dengan kemungkinan terburuk dalam hidupnya: kehilangan Aqil.
Masuk dalam kategori Semua Umur (SU), Wonderful Life dipandang sebagai film yang pantas ditonton anak-anak. Namun meski Wonderful Life menghadirkan Aqil sebagai sosok anak, film ini secara garis besar sesungguhnya menggunakan sudut pandang ibu. Tak banyak ruang bagi anak untuk berimajinasi dalam film ini.
Ini hanya salah satu kondisi yang tengah dihadapi dunia film anak di Indonesia. Memang, angka produksi kini lebih tinggi. Namun, apakah ini semata tentang angka?
Anak-anak antusias mengikuti kelas Yoga (Foto: Fajar Kristianto)
Simak juga rangkaian kisah berikut
ADVERTISEMENT
Infografis Layar dan Sinema Indonesia (Foto: Bagus Permadi/kumparan)