Usmar Ismail, Minibus Reyot, dan Hari Film Nasional

30 Maret 2017 5:57 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kamera Akeley (Foto: http://www.gmcamera.com)
Sebuah kamera usang bermerek Akeley mengawali semuanya. Di pedalaman Subang, Jawa Barat, 67 tahun lalu, ia merekam sepotong cerita yang jadi asal mula gulungan miliaran menit film Indonesia yang lahir setelahnya. (Baca juga: )
ADVERTISEMENT
Pada 30 Maret 1950 itu, Usmar Ismail si mantan tentara mungkin tak menyangka syuting hari pertama film berjudul Darah dan Doa akan menjadi sedemikian pentingnya.
Pengambilan gambar yang ia lakukan hari itu penuh keterbatasan. Alih-alih bermimpi menjadi Bapak Film Nasional, Usmar bahkan berjuang keras untuk menjadi seorang sutradara yang instruksinya didengarkan dan dipatuhi seluruh anggota kru.
Saat itu, para pemeran film besutan Usmar berani memprotes arahan sang sutradara. Sungguh debut tak mudah bagi sutradara baru itu.
Usmar Ismail di lokasi syuting (Foto: usmar.perfilman.pnri.go.id)
Dari sisi anggaran produksi, Usmar dan kru tertatih mengawali semua proses pembuatan film. Mereka hanya punya modal Rp 30 ribu.
Sebagai perbandingan, film-film murah yang mengadaptasi cerita dari luar negeri, pada masa itu menghabiskan biaya produksi Rp 60 ribu lebih. Apalagi film garapan Usmar yang jelas-jelas bakal memakan banya biaya, misalnya pengambilan gambar yang harus dilakukan di beberapa kota --menandakan proses long march yang menjadi tema film itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Tapi apa daya, pengumpulan dana mentok di angka Rp 30 ribu itu, tak lebih. Saking tekornya, untuk berangkat dari Jakarta ke Subang saja, kru film harus menyewa sebuah minibus yang sudah reyot.
Dalam minibus reyot itu, para kru dan artis film perdana Indonesia duduk saling berimpitan. Mogok? Tak jadi soal. AC? Lupakan saja.
Jadi, apabila Anda kadung membayangkan kehidupan artis masa itu serba enak, mohon segera direvisi demi jernih imaji Anda sendiri.
Usmar Ismail (tengah). (Foto: usmar.perfilman.pnri.go.id)
Beberapa langkah cergas lantas diambil Usmar. Untuk menekan anggaran, ia tak menggunakan jasa aktor dan aktris yang sudah punya pengalaman hebat di bidang sandiwara. Ia cari muka-muka baru. Dalihnya, mencari “... muka-muka baru dengan bakat-bakat yang segar." (Baca juga:
ADVERTISEMENT
Meski begitu, pemilihan pemeran kurang pengalaman saja tak cukup untuk menghemat pengeluaran pada angka yang diinginkan. Maka untuk lebih menekan anggaran, para aktor dan aktrisnya memerankan beberapa tokoh sekaligus.
Kalau Anda jeli dan suatu saat punya kesempatan menonton film tersebut, tak usah kaget apabila menemukan seorang pasukan yang telah mati pada adegan tertentu, kembali hidup di scene berikutnya.
Namun, dua usaha penghematan itu pun bahkan masih belum memadai. Maka di tengah jalan, produksi film sempat terhenti. Dan mau-tak mau, pinjam uang sana-sini dilakukan Usmar untuk wujudkan karya nomor wahidnya.
Poster Darah dan Doa atau "Long March" (Foto: Wikimedia Commons)
Meski film pertama Indonesia, Usmar tak mau kompromi dalam penentuan cerita. Alur stori film diambilnya dari sebuah cerita pendek karangan pujangga Sitor Situmorang. Cerpen ini dipilih khusus oleh Usmar --yang menyebut film berdasarkan cerita itu akan mampu menceritakan “... jujur kisah manusia dengan tidak jatuh menjadi film propaganda yang murah(an).”
Adegan film Darah dan Doa (Foto: usmar.perfilman.pnri.go.id)
Film Darah dan Doa mengisahkan upaya seorang kapten dari Divisi Siliwangi. Setelah Belanda menguasai Yogya, ia harus membawa rombongan pasukannya (dan keluarga mereka) dari Yogya ke Bandung --sebuah long march sepanjang 120 kilometer di tengah serbuan pasukan Belanda.
ADVERTISEMENT
Di sepanjang perjalanan panjang itu, Sudarto sang Kapten didera berbagai konflik, mulai kontak senjata, rindu-dendam, kesetiaan, hingga pengkhianatan. (Baca juga: )
Usmar Ismail dan para aktris (Foto: usmar.perfilman.pnri.go.id)
Darah dan Doa yang di dunia internasional dikenal dengan judul The Long March, sesungguhnya bukan film pertama Usmar Ismail. Ia pernah terlibat sebagai asisten sutradara dalam produksi dua film berjudul Harta Karun dan Tjitra --dua-duanya di tahun 1949.
Bedanya, dua film tersebut dibuat di bawah panji rumah produksi Belanda, South Pacific Film Corporation (SPFC).
Nah, kali ini tak demikian. Darah dan Doa menjadi film pertama yang disutradarai, dimainkan, dan didanai oleh orang-orang Indonesia.
Usmar menerjang maju, dan terus percaya akan apa yang ia upayakan. Ia ingin bikin dunia baru, kenyataan baru, sebuah film baru yang bisa dibanggakan bangsanya yang juga baru --yang saat itu belum genap lima tahun.
ADVERTISEMENT
Sehari setelah syuting, ia dan krunya kembali ke Jakarta dan membentuk Produksi Film Negara (PFN), sebuah badan yang menjadi cikal bakal Perum PFN.
Maka, jadilah: hari pertama syuting film Darah dan Doa menjadi Hari Film Nasional Indonesia.
Usmar Ismail dan Ali Sadikin (Foto: usmar.perfilman.pnri.go.id)
Usmar Ismail di Festival Film Asia (Foto: usmar.perfilman.pnri.go.id)
Studio Perfini, Mampang, Jakarta Selatan (Foto: usmar.perfilman.pnri.go.id)
Usmar Ismail, Fatmawati, dan Marlon Brando (Foto: usmar.perfilman.pnri.go.id)
Infografis Layar dan Sinema Indonesia (Foto: Bagus Permadi/kumparan)