Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Aku dan Beribu Alasanku
28 November 2019 7:44 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Marissakres tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pagi itu, aku dalam perjalanan menuju kampus Universitas Al Azhar Indonesia, daerah Kebayoran Baru, untuk mengikuti ujian. Entah ujian apa, diriku lupa. Yang jelas waktu itu aku naik bus AC 05 jurusan Bekasi Barat-Blok M, atau orang biasanya menyebutnya ‘Acos’.
ADVERTISEMENT
Di perjalanan, aku meluangkan waktu untuk belajar, lumayan waktu perjalanan yang kurang lebih 2 jam bisa dipakai mengulas materi yang udah dipelajari semalam.
Ketika lagi asyik membaca, bus ku berhenti di daerah Jatibening. Banyak penumpang yang naik, dan beberapa yang turun. Kemudian, naiklah seorang pengemis muda, bermodal bungkusan permen yang ia jadikan untuk tadahan meminta uang ke penumpang bus.
Aku adalah orang pertama yang dimintai uang di antara semua penumpang. Dalam hati muncul pertanyaan “Kenapa harus aku yang pertama? apa wajahku ini terlihat berbaik hati yang langsung kasih uang gitu aja? atau karena aku duduk paling depan?”. Either way, aku menolak halus si pengemis ini, bukan karena nggak ada recehan, tapi emang nggak mau kasih aja.
ADVERTISEMENT
Pengemis itu pun berlalu, dan membuat sedikit penyesalan dan pertanyaan di otak ini.
“Kenapa enggak kau kasih aja? Seribu, dua ribu bukannya enggak berat untuk anak kuliahan?”
Pikirku kala itu anak muda yang lebih memilih mengemis ketimbang bekerja atau berdagang adalah orang yang malas. Di sisi lain, banyak dari mereka yang gunakan uang tersebut untuk mabuk bahkan ngobat.
Mengetahui uang yang kita kasih hanya untuk kesenangan temporer membuat aku berpikir dua kali untuk lantas memberi. Menyisihkan uang kecil terasa berat, jika melihat orang yang meminta hanya menadah tangan tanpa berusaha cukup keras keluar dari kesengsaraan mereka.
Tapi yang selalu menjadi pertanyaan lagi, “Apa kau yakin mereka nggak berusaha?”
ADVERTISEMENT
Aku sih nggak cukup yakin, tapi mungkin ada di antara mereka yang putus asa karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan atau tidak punya modal untuk usaha. Realitanya, yang ku lihat banyak dari mereka yang jadikan ‘mengemis’ untuk pekerjaannya. Jutaan rupiah ada di saku pengemis , mengemis dilakoninya bertahun-tahun, padahal ia kaya raya di kampung halamannya.
Namun beda cerita kalau ada pengemis tua nan lusuh, hati langsung tergerak memberi dan mengeluarkan uang tanpa harus ada perdebatan dalam hati.
****
Pengemis muda itu pun turun di exit Semanggi (Komdak), tak lama setelah itu aku turun di depan kampus, dan langsung bergegas lari menuju kelas.
Beres ujian, aku bawa cerita di atas ke salah satu dosen kampus yang kala itu lagi ngobrol menuju kantin. Dia memberi gambaran dengan percakapan Nabi Musa as dengan Allah SWT. Dalam percakapan ini Nabi Musa as bertanya apa yang membuat Allah SWT senang.
ADVERTISEMENT
Bukan salat, karena sesungguhnya salat melindungi kita dari perbuatan keji dan munkar. Bukan pula zikir, karena zikir membuat hati kita tenang. Bukan puasa juga, karena puasa membuat kita belajar untuk menahan hawa nafsu.
Allah SWT menjawab, “Sedekah. Tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang kesusahan dengan sedekah. Sesungguhnya Aku sedang berada di sampingnya.”
Jadi, teringat tulisannya Yusuf Mansur tentang misteri sedekah , ia menyebut sedekah itu jalan untuk menjadi orang kaya, jalan untuk menjadi orang berhasil dan jalan untuk menjadi orang sukses, dan sedekah tak harus memandang orang.
Look at you Ca, manusia dengan beribu alasan untuk tidak membahagiakan pengemis. Padahal sebenarnya kau tidak membutuhkan satu alasan pun untuk menolong orang lain.
ADVERTISEMENT