Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Lapas dan Open Government
5 Mei 2023 13:13 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Media Center Kementerian Hukum dan HAM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Andi E. Sutrisno
(Kepala Kesatuan Pengamanan LP Lamongan)
ADVERTISEMENT
Kritik tajam terhadap tata kelola pemerintahan khususnya Lapas baru-baru ini menunjukkan bahwa era open government seyogyanya telah dimulai. Karakteristiknya ditandai dengan viralnya hashtag tentang Lapas pada platform media sosial. Narasi ini dikemas secara singkat, tidak terlalu mendalami konsepsi, melainkan lebih banyak men-display kondisi aktual.
Open Government (OG)–merupakan doktrin tata kelola pemerintahan yang menyuguhkan ruang publik bagi masyarakat guna berpartisipasi & berkolaborasi dalam mengawal sistem pemerintahan. Di Indonesia, OG sebenarnya telah diadopsi pada Januari 2012 oleh Budiono (Wakil Presiden Indonesia 2009-2014), sejalan dengan amanat UU. Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Implikasinya yakni keterbukaan data dan informasi pemerintahan bagi masyarakat yang tentu sebagai bentuk ‘dampak’ dari wujud transparansi & akuntabilitas. Menyambung hal tersebut, informasi yang saat ini viral sebaiknya dapat dipandang sebagai forma kedua wujud tersebut. Dalam perspektif petugas Lapas, fenomena ini dapat ditransformasikan sebagai kritik membangun guna pembenahan kearah yang lebih baik, sebagaimana disampaikan oleh Dr. Reynhard Silitonga, Direktur Jenderal Pemasyarakatan pada sambutannya di Hari Bhakti Pemasyarakatan ke-59 .
ADVERTISEMENT
Pelibatan Mitra Kerja di Lapas–kendati UU. Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan telah diundangkan, namun dukungan sumber daya dalam menjalankan amanat ini masih belum tercapai sepenuhnya. Mitra kerja di Lapas sebenarnya telah diamanatkan sejak konferensi kependjaraan di Lembang, Bandung, pada tahun 1964. Dalam risalah dokumen tersebut pada bagian “prakata” secara gamblang memuat tujuan Pemasyarakatan dengan konteks sosial kemasyarakatan, melibatkan peran serta masyarakat terhadap berjalannya sistem Pemasyarakatan. 59 tahun berjalan, amanat tersebut memiliki kedudukan yang strategis dalam hal pembinaan terhadap narapidana dan masih dimuat dalam UU. 22/2022. Mitra kerja yang secara de jure diresmikan formal oleh masing-masing Lapas, saat ini memberikan kontribusi besar terhadap pembinaan narapidana baik secara kepribadian maupun kemandirian, salah satunya Jeera Foundation. Wujudnya yakni pembinaan soft skill dan hard skill. Soft skill membentuk mental narapidana menjadi lebih baik, seperti pembinaan keagamaan, intelektual, kesenian, berbangsa & bernegara, dan jasmani rohani. Hard skill mengukur dan menguantifikasi kemampuan narapidana, seperti melatih menjadi barista, pengrajin kulit, menciptakan kerajinan tangan, sebagaimana disampaikan Prof. Yasonna H. Laoly, Menteri Hukum dan HAM RI dalam wawancaranya dengan media pada 2 Mei 2023. Tentu program konstruktif tersebut mengakselerasi tugas Pemasyarakatan jauh lebih baik.
Kondisi Faktual Lapas–saat ini, saya berdinas di Lapas Kelas IIB Lamongan sebagai Kepala Pengamanan. Lapas Lamongan menjadi sampling dalam opini ini. Berdiskusi kondisi ideal sangatlah tidak mungkin, mengingat disparitasnya sangat tinggi antara das sein dengan das sollen. Bagaimana tidak, per hari ini (4/5/2023), jumlah narapidana yakni 629 orang dengan kapasitas hunian 205 narapidana, artinya tingkat okupansi mencapai hampir 300%. Dalam manajemen sumber daya petugas, secara garis besar petugas Lapas terbagi dalam dua seksi, yakni pengamanan dan pembinaan. Kondisi ideal tercipta jika head to head antara petugas dan warga binaan yakni rasio 2 : 1 (dua petugas mengamankan satu narapidana), namun secara faktual yakni 7 petugas (dalam satu regu pengamanan yang berdinas) mengamankan 629 narapidana, artinya 1 petugas mengamankan 89 narapidana. Hal ini serupa dengan petugas pembinaan yang tugasnya sebagaimana dimaksud pada paragraf ketiga. Petugas pembinaan sejumlah 6 petugas membina 629 narapidana, artinya 1 petugas membina 104 narapidana. Secara kualifikasi dan kuantifikasi, hasil kinerja diberikan toleransi ‘kewajaran’ apabila tidak tercapai secara optimal. Namun secara faktual, Lapas Lamongan dapat memenuhi target kinerja dengan baik pada triwulan kedua tahun ini.
Lain halnya dengan permasalahan tata laksana & kelembagaan organisasi yang masih perlu penyesuaian terhadap pembaharuan kebijakan Pemasyarakatan dalam UU. 22/2022. Idealnya kebijakan publik disusun melalui proses evaluasi kebijakan dari tahun 1995 sampai 2021 (UU. Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Pada masa transisi ini, tentu agenda setting sedang dalam proses penyusunan & pematangan, kinerja Lapas sangat berharap pada kekuatan kebijakan yang jelas target atau sasaran, jelas dasar hukum, dan antar kebijakan tidak terjadi tumpang tindih atau bertentangan, serta kelembagaan yang ideal dalam mendukung tugas dan fungsi Pemasyarakatan di era open government.
Interaksi intens yang saat ini terjadi, khususnya kritik tata kelola Lapas oleh masyarakat perlu dipandang sebagai bagian dari evaluasi kinerja dan kebijakan, serta direspon secara baik, matang, dan cepat, yang mana kritik ini adalah konsekuensi dari open government. Namun disisi lain, kondisi faktual organisasi juga perlu dipahami khususnya tingkat kematangan dan kapabilitas birokrasi. Sehingga tercipta bonding apik antara elemen society & government yang berujung pada kinerja birokrasi yang agile (Birokrasi yang mampu beradaptasi dalam segala situasi disrupsi saat ini dengan tetap dapat memberikan pelayanan yang mudah bagi masyarakat).
ADVERTISEMENT