Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Restorative Justice Kurangi Tingkat Kejahatan Berujung Turunkan Hunian Lapas
22 September 2022 17:01 WIB
·
waktu baca 6 menitDiperbarui 14 Oktober 2022 0:36 WIB
Tulisan dari Media Center Kementerian Hukum dan HAM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jakarta-Direkorat Jenderal Pemasyarakatan bersama Reclassering Nederland menggelar diskusi penerapan sistem hukum keadilan restoratif (restorative justice ) di Indonesia , pada Rabu 21 September 2022 berlangsung di Hotel Luwansa.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Ditjen Pemasyarakatan, Heni Yuwono, mengungkapkan bahwa Belanda adalah negara yang berhasil menerapkan sistem hukum keadilan restoratif di negaranya. Tak ayal, langkah hukum seperti itu perlu diadopsi di Indonesia melalui Balai Pemasyarakatan (Bapas).
“Kita harapkan bagaimana pembimbing kemasyarakatan (petugas Bapas) melakukan tugas dan fungsi pembimbingan dan melakukan suatu suatu penelitian. Agar anak yang melakukan tindakan kriminal tidak masuk ke Lembaga Pemasyarakatan. Di lingkungan dewasa kita juga sudah mulai merintis tentang keadilan restoratif untuk dewasa,” jelasnya.
“Artinya pidana atau tindakan-tindakan kriminal yang tidak dilakukan oleh orang dewasa. Tetapi, tidak membuat korban atau ada batasan tertentu jumlah kerugiannya. Misal pencurian atau berantam dengan korban bisa diselesaikan dengan restorative justice. Tidak perlu masuk ke dalam penjara,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Heni menjelaskan, bahwa penyelenggaraan sistem hukum keadilan restoratif di Belanda. Mereka bekerja sama dengan pihak swasta. Sedangkan di Indonesia terkait penerapan keadilan restoratif dapat juga bekerja sama dengan pihak stakeholder swasta.
“Kita di Indonesia ada namanya Bapas (Balai Pemasyarakatan). Nah dalam kerja kita melakukan kerja sama dengan kelompok masyarakat (Pokmas). Masyarakat yang peduli Pemasyarakatan. Itu kan dari swasta. Nah, kita adopsi cara seperti itu,” jelasnya.
Lalu bagaimana Bapas menerapkan keadilan restortatif bekerja dengan APH atau Aparat Penegak Hukum? Menurut Heni, hal itu sudah berjalan dalam Sistem Peradilan Anak. Artinya pihak Bapas bisa melakukan diskresi aktif proses pendampingan kliennya itu. Yaitu anak yang terlibat dalam hukum.
Sedangkan untuk dewasanya, Heni menyadari, belum berjalan. Namun, metode di kejaksaan sudah menjalankan metode keadilan restoratif bagi dewasa. Menurutnya, untuk jenis pidana ringan.
Heni juga menuturkan, bahwa sistem hukum keadilan restoratif solusi mengurangi tingkat kejahatan di Indonesia. Selain, akan berdampak mengurangi jumlah hunian di Lapas maupun Rutan.
ADVERTISEMENT
Sebab, bila merujuk data Ditjen Pemasyarakatan terdata sebanyak 267.420 jumlah hunian di Lapas pada 2021. Meski begitu, sebanyak 134.115 orang penghuninya oleh kasus narkotika. Hampir terdata 50,9% warga binaan pemasyarakatan adalah kasus narkotika.
“Tren data Hunian di Lapas atau Rutan memiliki kecenderungan meningkat, yang separuhnya disumbangkan oleh tindak pidana narkotika,” ungkap Sekretaris Ditjen Pemasyarakatan, Heni Yuwono.
“Selain itu Dalam kurun waktu 2018 hingga 2022, Ditjen Pemasyarakatan telah menambah daya tampung sebanyak 13.716. Namun tren peningkatan penghuni per tahun adalah 17.666,” tambahnya lagi.
Sementara itu, Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas, Dewo Broto Joko, tak menampik ada over kapasitas di Lapas maupun Rutan se-Indonesia.
Ia menyebutkan, bahwa penghuni lapas di Indonesia pada September 2019 mencapai 271 ribuan orang. Sedangkan kapasitas mencapai 132 ribuan orang.
ADVERTISEMENT
"Ini menjadi kendala," jelasnya.
Dewo Broto meneruskan, bahwa hadirnya penerapan restorative justice bukan sekadar ingin mengurangi over kapasitas. Tapi hadirnya sistem keadilan restoratif untuk bagaimana mengurangi kejahatan di Indonesia.
“Bahkan, hadirnya restorative justice dapat menghemat biaya mencapai Rp. 1 triliun,” tuturnya.
Ia juga tidak menampik bahwa penghuni mayoritas di Lapas se-Indonesia adalah kasus narkoba. Sedangkan untuk membangun tempat rehabilitasi terkendala masalah biaya.
"Tempat rehabilitasi terbatas untuk mencukupi," jelasnya.
Stigma Warga Binaan Pemasyarakatan
Selain itu, masih masif stigma-stigma masyarakat memandang warga binaan pemasyarakatan atau narapidana, saat mereka kembali dalam kehidupan masyarakat. Padahal, para narapidana tersebut sudah menjalankan massa pidananya di Lapas.
Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Jampidum Kejaksaan Agung, Agnes Triani, tidak menampik hal tersebut.
ADVERTISEMENT
“Masih ada stigma negatif masyarakat melihat warga binaan ketika kembali ke lingkungan masyarakat,” ujarnya dalam diskusi.
Agnes juga menyetujui tidak semua pelanggar pidana masuk penjara. Dalam paparannya, hukum pidana di Indonesia dewasa ini berada dalam kondisi yang tidak sesuai dengan prinsip ultimum remidium.
Penyelesaian perkara pidana dalam prakteknya kadangkala berjalan melenceng dari tujuan hukum maupun rasa keadilan yang berkembang di masyarakat.
“Pada hakekatnya hukum dibuat bertujuan untuk memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi manusia yang tercermin dalam nilai-nilai Pancasila,” ujar Agnes Triani.
Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Jampidum Kejaksaan Agung, tersebut, menyadari keadilan restoratif masih berjalan kepada anak dibandingkan dewasa saat terlibat masalah hukum.
Massa pemenjaraan anak-anak memerlukan peran PK alias pembimbing kemasyarakatan. Yakni, petugas Bapas menjalankan fungsinya mengawasi anak-anak terlibat dalam tindak pidana.
ADVERTISEMENT
”Perlunya peran PK sebab jaksa dan polisi mengetahui siapa pelakunya. Tetapi, tidak mengetahui latar belakang kondisi pelaku,” ucap Agnes Triani menjelaskan.
Agnes menyadari ketentuan dalam hukum Indonesia mengenal istilah restorative justice, yang masih berjalan untuk masalah hukum anak. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain. Yakni, yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Selain itu, tertuang pada Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
“Beberapa manfaat model penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif. Di antaranya adalah kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, respon dan keharmonisan masyarakat, kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum,” ucap Agnes menjelaskan.
ADVERTISEMENT
Ia memaparkan, pertimbangan ketika menentukan pilihan penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif.
Yaitu, pertama subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana, kedua latar belakang terjadinya atau dilakukannya tindak pidana, ketiga tingkat ketercelaan, keempat kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana, kelima cost and benefit penanganan perkara, keenam pemulihan kembali pada keadaan semula, ketujuh adanya perdamaian antara korban dan tersangka
Hukum Nasional Memerlukan Keadilan Restoratif
Maka, pembangunan hukum nasional memang memerlukan kesesuaian keadilan restoratif. Menurut Agnes, sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2020-2024.
Arah kebijakan dan strategi bagian penegakan hukum nasional ditujukan pada perbaikan sistem hukum pidana dan perdata, yang strateginya secara spesifik berkaitan dengan penerapan keadilan restoratif.
ADVERTISEMENT
Selain itu, isu strategis lainnya yang menjadi fokus pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2024-2045 dan RPJMN 2025-2029.
“Di antaranya adalah alternatif pemidanaan,” ungkap Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Jampidum Kejaksaan Agung, Agnes Triani.
Senada dengan Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Pujo Harinto.
Ia menyebutkan, bahwa keadilan restoratif berjalan seiring adanya reformasi negara hukum.
“Bahwa politik hukum adanya keadilan restoratif. Hal itu dimulai tertuang dalam RPJMN konsen negara adanya reformasi negara hukum,” ujarnya dalam diskusi.
Pujo Harinto juga mengungkapkan, bahwa petugas pembimbing kemasyarakatan di Bapas sudah menjalankan fungsi mendampingi anak dan dewasa bermasalah dengan hukum.
“Pembimbing kemasyarakatan sudah turut hadir dari awal bukan dari tengah apalagi diakhir,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Adapun terdapat sebanyak 90 kantor Bapas di Indonesia. Sedangkan jumlah klien pemasyarakatan sebagaimana merujuk Sistem Basis Data Pemasyarakatan per 3 September 2022. Data menyebutkan terdata sebanyak total 89.285 klien pemasyarakatan.
“Klien dewasa sebanyak 87.062 orang dan klien remaja sebanyak orang 2.223,” ungkap Pujo Harinto memerinci.
(Yos)