Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
UU Narkotika Direvisi untuk Optimalkan Penanganan dan Penyalahgunaan Narkotika
31 Maret 2022 19:52 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Media Center Kementerian Hukum dan HAM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Yos dan Indra
Foto: Angga
ADVERTISEMENT
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) , Yasonna Laoly, menyampaikan narkotika merupakan zat atau obat yang dapat bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan. Juga pengembangan ilmu pengetahuan.
Namun, bila narkotika tidak sesuai dengan standar pengobatan. Maka narkotika dapat menimbulkan ketergantungan.
“Yang sangat merugikan bagi tubuh manusia,” tuturnya menjelaskan saat Rapat Kerja bersama Komisi III DPR RI, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis 31 Maret 2022.
Dalam rapat kerja tersebut, Yasonna Laoly menambahkan juga, bahwa penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika telah mengancam keberlangsungan hidup bangsa Indonesia.
“Terutama mengancam generasi muda,” ujarnya saat membacakan surat penjelasan Presiden atas RUU tentang perubahan kedua atas UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, di hadapan Komisi III DPR RI.
ADVERTISEMENT
Guru Besar Ilmu Kriminologi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) itu mengungkapkan, saat ini semakin meningkat jumlah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.
Maka, dengan mempertimbangkan kualitas dan kuantitas aparat penegak hukum, serta kapasitas lembaga pemasyarakatan. Pemerintah mengutamakan penguatan pencegahan dalam menangani penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.
“Upaya pencegahan dilakukan secara integral dan dinamis antara aparat penegak hukum dengan masyarakat,” ungkap Menkum HAM , Yasonna Laoly.
Selain upaya penguatan pencegahan, kata Yasonna , upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika juga diperkuat.
Yakni, supaya tujuan bernegara dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terlaksana dengan maksimal.
Lebih lanjut, upaya ini sangat diperlukan mengingat tren perkembangan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika masih tinggi.
ADVERTISEMENT
“Hal tersebut merupakan salah satu alasan untuk melakukan revisi terhadap UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,” ujar Yasonna Laoly.
Belum Jelas Konsepsi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika
Di sisi lain, terdapat perkembangan kebutuhan hukum masyarakat yang perlu menjadi perhatian, terkait dengan pengaturan mengenai pecandu narkotika.
Adapun UU nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam pelaksanaannya belum memberikan konsepsi yang jelas tentang pecandu narkotika, penyalahguna narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika.
Perlakuan yang sama antara pecandu narkotika, penyalahguna narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika dengan bandar ataupun pengedar narkotika, menimbulkan ketidakadilan dalam penanganannya.
“Seharusnya, penanganan terhadap pecandu narkotika, penyalahguna narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika difokuskan pada upaya rehabilitasi melalui mekanisme asesmen yang komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan,” tutur Yasonna.
ADVERTISEMENT
Ketua Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan DPP PDI Perjuangan itu melanjutkan, asesmen dilakukan Tim Asesmen Terpadu yang berisikan unsur medis (dokter, psikolog, psikiater), dan unsur hukum (penyidik, penuntut umum, dan pembimbing kemasyarakatan).
Tim Asesmen Terpadu akan mengeluarkan rekomendasi pecandu narkotika, penyalahguna narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika akan direhabilitasi atau tidak.
“Dengan menggunakan pendekatan rehabilitasi dibandingkan pidana merupakan bentuk restorative justice. Yaitu salah satu upaya pendekatan penyelesaian perkara pidana yang lebih menekankan pemulihan kembali keadaan korban ke keadaan semula dengan melibatkan berbagai pihak,” ucap Yasonna.
Konsep restorative justice menekankan ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis, atau hukuman).
Namun perbuatan yang menyakitkan itu, disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggung-jawab. Yakni, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bilamana diperlukan.
ADVERTISEMENT
Menurut Yasonna, kebijakan untuk lebih mengedepankan upaya rehabilitasi ini sejalan dengan upaya untuk mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan.
Adapun beberapa ketentuan yang diatur dalam RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, antara lain, zat psikoaktif baru, penyempuraan terhadap ketentuan mengenai rehabilitasi, Tim Asesmen Terpadu, Penyidik BNN serta kewenangannya, syarat dan tata cara pengambilan dan pengujian sampel di laboratorium tertentu serta penetapan status barang sitaan, dan penyempurnaan ketentuan pidana.