Menjadi Perempuan di Antara Pilihan dan Tekanan

Mega Putri Mahadewi
Mahasiswa Ilmu Informasi dan Perpustakaan, Universitas Airlangga.
Konten dari Pengguna
4 Juni 2023 20:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mega Putri Mahadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan. Foto: Thinkstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan. Foto: Thinkstock
ADVERTISEMENT
"Ya mau gimana lagi, aku sebagai perempuan nggak punya pilihan."
ADVERTISEMENT
"Aku, kamu, dan kita punya pilihan!"
Sebelum zaman emansipasi terjadi, kaum perempuan selalu dipandang sebelah mata oleh kaum laki-laki. Dulunya, kebebasan dalam memilih baik itu dalam hal pendidikan, pekerjaan, maupun pernikahan semua adalah hak milik laki-laki.
Hal ini menjadi kesenjangan antara pilihan yang dimiliki perempuan dan laki-laki. Sampai pada akhirnya terjadi masa emansipasi wanita yang dilakukan Ibu Kartini. Adanya perkembangan zaman berkembang pula pikiran orang-orang.
Anggapan semua orang tentang laki-laki dan perempuan sudah berubah. Sekarang, perempuan dapat memilih pilihan atas hidupnya, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki mulai sejajar, dan tak ada lagi pandangan sebelah mata.
Namun, apakah benar seperti itu? Apakah memang semua perempuan menganggap dirinya punya pilihan dan dapat melakukan pilihannya secara bebas? Apakah realita yang terjadi benar-benar sudah memerdekakan perempuan?
Ilustrasi perempuan punya self-esteem yang rendah. Foto: PURIPAT PENPUN/Shutterstock
Sayangnya, masih sering kita lihat kasus-kasus mengenai perempuan yang sangat sulit untuk mempertahankan pilihannya. Salah satunya yang baru-baru ini adalah Gita Savitri, Influencer instagram yang kini menetap di Jerman.
ADVERTISEMENT
Ucapannya mengenai dirinya yang memilih childfree di kehidupannya pernikahannya mengundang banyak kritik netizen. Bahkan kritik yang diterima bukan hanya dari laki-laki tapi juga dari kaum perempuan. Meskipun begitu, Gita Savitri tetap teguh pada pilihannya.
Pun kasus lainnya masih ada, pendidikan yang tidak merata di beberapa daerah membuat perempuan-perempuan tidak bisa mengenyam pendidikan tinggi sehingga hal ini menyebabkan beberapa orang tua dengan “pikiran kolotnya” meminta sang anak untuk menikah dini agar mereka bisa langsung “diurus” oleh suaminya.
Ditambah dengan kenyataan kebutuhan ekonomi semakin tinggi dan memiliki anak, membuat perempuan yang diharapkan “diurus” malah jadi yang “mengurus”. Perempuan-perempuan yang tak punya pilihan itu jadi berumah tangga dan bekerja secara bersamaan.
Ilustrasi wanita lelah bekerja. Foto: Amnaj Khetsamtip/Shutterstock
Fakta susahnya mendapat pekerjaan pun membuat TKW menjadi pilihan yang sangat sering dipilih karena merupakan pekerjaan yang bisa dilakukan dengan pendidikan rendah namun bergaji cukup tinggi.
ADVERTISEMENT
Dari kedua kasus tersebut, kita bisa sadar bahwa perempuan belum sepenuhnya bisa berpegang pada pilihannya. Bahwa perempuan belum sepenuhnya merdeka. Ditambah lagi dengan patriarki yang bahkan sudah dianggap menjadi budaya yang akan sangat sulit sekali dihilangkan.
Memang benar, saat ini perempuan diberikan kebebasan dalam memilih jalan hidupnya. Mau menikah atau tidak menikah, punya anak atau tidak punya anak, sekolah tinggi atau tidak, dan pilihan-pilihan lainnya sudah banyak diberikan kepada perempuan.
Akan tetapi dengan realita yang ada, memilihnya perempuan pada suatu pilihan itu bersamaan pula mereka dihadapi tantangan baru. Tantangan bahwa perempuan harus menjalankan pilihannya tanpa meninggalkan kodrat mereka sebagai perempuan serta mendengarkan kritik tajam dari orang-orang pikiran kolot yang masih memilih buta akan emansipasi wanita.
ADVERTISEMENT
Memilih untuk memiliki peran yang melebihi peran laki-laki atau memilih untuk tidak menjalankan hal yang biasanya perempuan lakukan bukanlah suatu kesalahan. Namun, melakukan suatu tanggung jawab dan tugas-tugas yang seharusnya dilakukan seorang laki-laki pun bukanlah suatu hal yang menjadi pokok utama pembahasan emansipasi wanita ini.
Kartini, Kardinah, dan Roekmini, (diperkirakan) di Semarang, Jawa Tengah pada 1902. Foto: Shelfmark KITLV 15467/Charls & Co
Emansipasi wanita bukan dibuat Kartini untuk menghilangkan dan meremehkan peran laki-laki serta meninggalkan kodrat sebagai perempuan, tetapi untuk bisa memberikan kesetaraan atas peran perempuan dalam kehidupan: bahwa perempuan juga bisa memilih jalan hidup mana yang mau mereka lakukan dan jalani tanpa harus merasa dibatasi.
Kenyataan dan tekanan sosial yang ada membuat beberapa perempuan menjadi tidak sadar bahwa dirinya betul-betul memiliki pilihan. Masih banyak perempuan yang menganggap dirinya hanya harus mengikuti alur sebagaimana stereotip yang ada.
ADVERTISEMENT
Mereka terlalu takut mendobrak karena akan menghadapi tekanan sosial yang tidak ada habisnya. Emansipasi wanita yang diperjuangkan oleh Kartini dan perempuan-perempuan lainnya harus disebarkan lebih jelas dan lebih banyak lagi, agar semua perempuan sadar bahwa mereka punya pilihan dan agar semua orang sadar bahwa perempuan memang berhak punya pilihan.
Manusia yang berdaya adalah salah satunya dengan memutuskan pilihan yang dipilih secara sadar dan tanpa paksaan. Kita semua punya pilihan. Laki-laki maupun perempuan, semuanya sama-sama memiliki kesempatan untuk memilih jalan hidupnya masing-masing karena kita berharga dengan berbagai cara.