Konten dari Pengguna

Bagaimana Secara Aman Membuka Ulang Sektor Publik dan Mengakhiri PSBB

Mely Santoso
Savvy science reader.
29 Juni 2020 9:45 WIB
clock
Diperbarui 4 Oktober 2020 23:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mely Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by CDC on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Photo by CDC on Unsplash

Situasi hari ini - preambule

ADVERTISEMENT
Indonesia sedang di tengah masa pelonggaran PSBB dan sebagian daerah telah menerapkan new normal. Istilah terakhir merujuk pada sebuah skenario pembukaan kembali sektor-sektor publik, tetapi dengan berbagai protokol kesehatan pandemi yang masih berlaku. Kita mungkin akan kembali bekerja seperti sebelum COVID-19 melanda, tetapi atribut dan berbagai macam aturan bekerja atau dalam interaksi sosial akan sangat berbeda.
ADVERTISEMENT
Secara umum, kita masih harus mengenakan masker, rajin mencuci tangan, selalu waspada akan bahaya tertular virus SARS-CoV-2, dan mungkin setiap kantor memiliki kebijakan masing-masing untuk para pegawainya. Keadaan normal yang baru.
Dilema yang sekarang mungkin banyak dirasakan adalah apakah harus bahagia karena sebagian orang telah kembali bekerja dan beraktivitas, atau harus bersedih karena persiapan new normal di Indonesia sendiri masih menjadi bahan perdebatan para ahli.
Sejak pengumuman kasus positif pertama pada Maret lalu, jumlah kasus terkonfirmasi terbaru berada pada angka 54.010 orang (27/06/2020). Jumah kasus aktif sekitar 55 persen dari total kasus terkonfirmasi. Rasio kasus kematian berada pada kisaran 5 persen. Secara keseluruhan, pertambahan kasus baru berkisar antara angka 800 hingga 1.000 per hari selama dua pekan terakhir. Penambahan kasus positif terbanyak berada pada hari Sabtu (27/06/2020) dengan 1.385 kasus dan pada Kamis (18/06/2020) dengan 1.331 kasus.
ADVERTISEMENT
Penambahan kasus dalam rentang 800 hingga 1.000 ini juga menandakan bahwa dalam dua pekan terakhir, grafik menunjukkan pertambahan kasus paling banyak dari rentang kasus pertama pada awal Maret lalu hingga Minggu (28/06/2020).
Pertumbuhan kasus COVID-19 per hari berada pada rentang angka 800 hingga 1000 orang. Sumber : tangkap layar dari covid19.go.id (28/06/2020)
Idealnya, sebelum mempertimbangkan hal lain sebagai syarat new normal atau melonggarkan PSBB, para pengambil kebijakan harus mengkaji secara baik bagaimana konsep penerapannya. Salah satu yang paling penting adalah dengan memastikan (atau setidaknya mempertimbangkan) apakah new normal atau pelonggaran PSBB, dengan berbagai skenarionya, tidak akan menambah jumlah kasus atau angka kematian baru. Ini yang paling penting.
Idealnya demikian. Namun, tentu saja kita tidak hidup di dunia yang sempurna. Pertimbangan stabilitas ekonomi menjadi salah satu yang paling banyak dipertimbangkan jika kita harus hidup lebih lama di dalam rumah.
ADVERTISEMENT
Selebihnya, kita belum bisa memastikan apakah terdapat hubungan antara penerapan new normal atau pelonggaran PSBB dengan banyaknya pertumbuhan kasus dua pekan terakhir (setidaknya secara ilmiah). Beberapa mengatakan bahwa naiknya jumlah kasus per hari selama sepekan terakhir merupakan dampak dari banyaknya tes yang dilakukan. Namun, kita juga belum bisa memastikan apakah spesimen yang dites oleh petugas kesehatan terbebas “error”. Hal ini dikarenakan tidak dipublikasikannya data jumlah orang yang dites secara harian maupun kumulatif (10/06/2020). Pengambilan spesimen bisa jadi lebih dari satu kali pada setiap orang.
Dengan demikian, apakah Indonesia benar siap untuk menjalani kehidupan normal yang baru di tengah pandemi?
Kesiapan sebuah negara yang terkena imbas pandemi untuk membuka kembali sektor publik, secara sederhana dapat dilihat dari kemampuannya dalam mengendalikan virus. Ya! Mengendalikan virus. Namun, untuk mengendalikan sebuah virus yang menyebabkan pandemi, dibutuhkan berbagai macam indikator yang harus dikaji. Sebagian dari indikator tersebut akan kita ulas di sini lalu Anda bisa mencerminkan seberapa siap Indonesia menerapkan new normal.
ADVERTISEMENT

Mengapa kita membutuhkan new normal yang tidak asal-asalan

Pertanyaan mengapa kita membutuhkan new normal memiliki sangat banyak jawaban. Salah satu jawabannya adalah karena faktor ekonomi tidak memungkinkan semua orang, atau sebagiannya untuk terus hidup dan bekerja dari rumah. Tidak semua orang berprofesi sebagai pekerja kantoran yang pekerjaannya bisa dilakukan di rumah. Masih banyak orang yang menggantungkan kehidupan mereka sebagai pekerja lapangan yang harus bertemu orang.
Entah pekerjaan Anda dapat dilakukan dari rumah atau tidak, kita semua sangat sepakat bahwa pandemi ini mengakibatkan banyak hal tersendat. Baik dalam tatanan sosial atau ekonomi.
Syaifudin, seorang dosen sosiologi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, menuliskan dalam kolom Tempo bahwa new normal merupakan, “adaptasi hidup darurat pandemi sebagai upaya meredam laju tingkat kerentanan sosial di masyarakat yang tidak menentu”. Menurutnya, kerentanan sosial yang ada di masyarakat akibat pandemi ini menyebabkan ketahanan masyarakat (community resilience) mengalami guncangan (shocked).
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut Syaifudin menjelaskan bahwa apa yang ia sebut sebagai ketahanan masyarakat adalah hal terkait dengan kemampuan bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan dan menjalankan fungsinya menggunakan sumber daya yang tersedia. Jika ketahanan masyarakat (yang sebelum pandemi kita sebut juga sebagai kondisi normal, atau jika tidak keberatan sebut saja ‘status quo’) ini terganggu, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, yaitu kerentanan sosial.
Hal tersebut akan berdampak pada bagaimana semestinya masyarakat berfungsi. “Dampak kerentanan sosial dapat membuat masyarakat melakukan tiga tindakan yang saling terkait, yaitu tindakan apatis, tindakan irasional, dan tindakan kriminal” tulis Syaifudin.
Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa dalam ranah sosial, new normal dibutuhkan untuk menjaga tatanan masyarakat berfungsi sebagaimana mestinya (atau sebagaimana sebelum pandemi tatanan tersebut berfungsi); Guru tetap mengajar, sekolah tetap buka, pasar tetap aktif, dan yang lebih penting, ladang pencaharian tidak tertutup. Karena istilah ini (new normal) merujuk pada sebuah situasi di saat atau tengah krisis, berbagai macam pertimbangan harus terus dikaji.
ADVERTISEMENT
Penerapan new normal tanpa persiapan matang hanya dapat menyebabkan masalah pada kemudian hari. Untuk menekankan, pembukaan ulang sektor publik atau penerapan new normal harus dipikirkan ulang jika dampaknya hanya akan meningkatkan jumlah kasus dan kematian. Kita (umat manusia) telah mengalami hal itu pada pandemi flu Spanyol 1918 yang disebabkan oleh virus H1N1 dan idealnya kita harus belajar dari sana terkait pembukaan ulang sektor publik.

Apa yang dapat kita pelajari dari Philadelphia dan St. Louis

Pada kasus virus H1N1 yang menyebabkan pandemi influenza 1918, dua kota di negara bagian U.S menerapkan kebijakan berbeda. Philadelphia, yang sekarang merupakan kota dengan penduduk terbanyak di Pennsylvania, mengumumkan kasus pertama infeksi H1N1 pada 17 September 1918. Bukannya menutup sektor publik seperti sekolah dan tempat ramai lainnya, pemerintah malah meremehkan peringatan wabah ini dan tetap menggelar parade yang dihadiri lebih dari 200.000 orang pada 28 September 1918 – sepuluh hari setelah kasus pertama.
ADVERTISEMENT
Intervensi non-medis semacam pembatasan sosial baru diterapkan oleh pemerintah Philadelphia pada 3 Oktober. Hal ini menjadikan rasio kematian mingguan akibat pneumonia dan influenza berada pada angka yang tinggi, yaitu 257/100.000 orang. Sedangkan tingkat kematian kumulatif selama periode 8 September – 28 Desember 1918, berada pada angka 719/100.000.
Di lain sisi, kasus pertama H1N1 di St. Louis ditemukan pada tanggal 5 Oktober. Perbedaannya, otoritas setempat segera memperkenalkan dan mengimplementasikan intervensi non-medis seperti pembatasan sosial pada warga St. Louis. Tidak butuh waktu lama, dua hari kemudian atau pada tanggal 7 Oktober warga St. Louis telah benar-benar berada dalam pengawasan karantina atau pembatasan sosial.
Penerapan intervensi non-medis dini di St. Louis ini pun memiliki dampak yang berbeda. Dibandingkan Philadelphia, rasio kematian mingguan di St. Louis berada pada angka yang lebih kecil, yaitu 31/100.000 dan angka rasio kematian kumulatif selama rentang 8 September sampai 28 Desember berada pada 347/100.000. Namun demikian, jika kita melihat lebih dalam pada kasus kurva St. Louis, ada satu bagian yang bersinggungan dengan pembahasan kita tentang pembukaan kembali sektor publik. Perhatikan gambar di bawah.
ADVERTISEMENT
Perbandingan grafik kasus pandemi 1918 di Philadelphia dan St. Louis. Sumber : PNAS
Seperti yang telah kita ketahui, terdapat perbandingan yang kontras antara kurva Philadelphia dan St. Louis. Perhatikan lingkaran hitam dan anak panah pada kurva St. Louis.
Karena menurunnya angka kasus positif terdampak, pemerintah St. Louis memutuskan untuk melonggarkan pembatasan sosial pada pertengahan November. Pada akhir bulan itu juga, kasus orang yang terdampak H1N1 bertambah dan memuncak pada bulan Desember (lihat gambar). Menurut ahli, pertambahan kasus tersebut muncul atau sejalan dengan dilonggarkannya intervensi non-medis di pertengahan November.
Lonjakan kasus di St. Louis pada akhir November dan memuncak pada Desember disebut juga dengan pandemi gelombang kedua. Singkatnya, istilah tersebut menggambarkan peningkatan kasus positif setelah pembukaan kembali atau pelonggaran aktivitas masyarakat yang selama masa pandemi diperketat dengan intervensi non-medis.
ADVERTISEMENT
Sama seperti SARS-CoV-2 yang rentan menginfeksi seluruh manusia, pandemi gelombang kedua ini juga rentan pada seluruh negara jika tidak berhati-hati dalam merumuskan pembukaan ulang (reopening). Kasus St. Louis telah memperlihatkan bahwa walau intervensi non-medis terbukti bekerja dalam menekan penyebaran kasus, pembukaan ulang yang “terburu-buru” berpotensi memperparah penambahan jumlah kasus.
Hal ini pun berlaku di Indonesia. Jika memang new normal berarti pembukaan ulang sektor publik dengan berbagai macam protokol kesehatan pandemi, baik pemerintah juga masyarakat harusnya memperhatikan apakah kita benar-benar siap untuk menjalaninya. Khususnya otoritas.
Syarat utama sebuah negara menerapkan pembukaan ulang (reopening) sektor publiknya, seperti yang telah kita bahas, adalah dengan mengendalikan virus yang menjadi penyebab pandemi. Untuk mengendalikan virus ini sendiri, setidaknya negara harus memastikan beberapa hal meliputi pengendalian penyebaran, meningkatkan fasilitas pelayanan kesehatan, atau lebih jauh, telah memiliki vaksin. Tiga hal tersebut adalah kunci. Mari kita bahas satu persatu.
ADVERTISEMENT

Mengendalikan virus – Menurunkan kurva penyebaran atau menaikkan garis fasilitas kesehatan?

Jika mengacu pada kurva epidemiologi (epi curves), saat angka infeksi virus berada di sebuah titik, kurva tersebut memiliki kemungkinan; Turun karena sudah mencapai puncaknya, atau akan terus naik hingga mencapai angka yang sulit diprediksi baru selanjutnya menurun. Pertanyaan yang kita hadapi sekarang adalah, apakah kurva kasus positif di Indonesia akan turun dalam beberapa minggu ke depan atau kah akan terus naik sampai, sampai pada angka yang tidak pernah kita bayangkan?
Dari kurva epidemik juga, kita dapat melakukan beberapa cara untuk mengendalikan virus, yaitu dengan menurunkan tingkat infeksi dan penyebaran atau dengan menaikkan garis fasilitas kesehatan. Dua cara ini juga menjadi syarat penting untuk dipertimbangkan karena, tentu saja, tanpa memiliki dua hal ini, sebuah negara belum bisa dikatakan siap untuk membuka kembali sektor publiknya.
ADVERTISEMENT
Istilah menurunkan kurva penyebaran virus biasanya dikaitkan dengan cara seperti intervensi non-medis (pembatasan sosial, karantina, atau isolasi). Intervensi non-medis ini, seperti yang telah kita singgung di atas pada kasus Philadelphia dan St. Louis, memang bukanlah cara untuk melenyapkan virus dari muka bumi. Namun, cara ini setidaknya mampu untuk menekan laju pertumbuhan atau mengecilkan angka R-naught (angka reproduksi virus dari orang yang terinfeksi ke orang lain yang sehat) seperti yang telah banyak kita ketahui.
Lalu, sudahkan Indonesia memiliki kemampuan yang dapat dikatakan mapan untuk menurunkan kurva infeksi atau penyebaran? Jawabannya dapat kita lihat dari pertumbuhan kasus perhari selama dua pekan ke belakang. Lonjakan kasus positif yang menyentuh angka 1.000an per hari ini menandakan bahwa Indonesia masih belum mampu menurunkan kurva infeksi. Hal ini memiliki dua kemungkinan, antara banyaknya tes yang dilakukan atau lonjakan kasus sebenarnya disebabkan oleh belum mampunya kita mengendalikan sebaran.
ADVERTISEMENT
Walaupun memang kita belum mengetahui apakah lonjakan kasus selama dua pekan terakhir merupakan dampak dari pelonggaran PSBB atau karena banyaknya tes yang dilakukan, setidaknya kita patut curiga bahwa beberapa hari terakhir, banyak petugas medis yang juga tumbang terpapar virus. Apakah hal tersebut karena masif tes yang dilakukan? atau karena kelonggaran PSBB? Kita belum tahu banyak.
Seberapa baik hasil dari penerapan pembatasan kontak fisik dan sosial merupakan indikator pertama untuk membuka sektor publik. Seperti kasus St. Louis yang pada pandemi 1918 mampu menangani penyebaran virus dengan baik, idealnya sebuah negara dikatakan siap membuka sektor publik adalah setelah memastikan bahwa angka penyebaran virus dapat ditekan dan orang yang masih positif sudah dipastikan masuk ke dalam wilayah karantina. Mudahnya, kita bergantian mengisolasi; yang sebelumnya manusia harus terisolasi karena aktivitas virus, sekarang virus harus terisolasi agar manusia bisa beraktivitas.
ADVERTISEMENT
Sebagai kesimpulan, untuk kembali membuka sektor publik dan melonggarkan PSBB, kita harus dapat memastikan bahwa R0 berada pada angka lebih kecil dari 1 (R0 < 1).
Idealnya, langkah menurunkan angka reproduksi dasar (R0) harus dibarengi dengan masif tes dan juga penelusuran orang yang berpotensi mengidap virus. Hal ini penting selain karena kebutuhan untuk memastikan siapa saja yang mungkin mengidap virus. Selain itu, publikasi data tes perhari juga sangat penting agar data tersebut dapat diketahui publik.
Selain intervensi non-medis, cara lainnya adalah dengan menambah jumlah fasilitas kesehatan. Ya! Menambah jumlah fasilitas kesehatan untuk menaikkan garis yang ada dalam kurva epi. Hal ini nampaknya, dan ternyata, lebih rumit dari apa yang terlihat. Menambah fasilitas kesehatan berarti sebuah negara harus menyiapkan lebih banyak kasur atau ranjang di RS, tempat tidur ICU (darurat), menambah dokter atau petugas kesehatan, perawat, dan juga yang terpenting, menambahkan banyak sekali modal.
Kemampuan sebuah negara dalam melandaikan kurva dan menaikkan garis fasilitas kesehatan dapat dijadikan indikator untuk kebijakan pembukaan ulang. Visualisasi : RCraig09 Wikimedia CC BY-SA
Sebuah rangkuman yang dibuat oleh BBC Indonesia mencoba membandingkan bagaimana keadaan fasilitas kesehatan Indonesia hari ini dapat menjadi bukti bahwa Indonesia bahkan sangat tidak siap akan kehadiran pandemi.
ADVERTISEMENT
Menganalisa data yang bersumber dari WHO dan Bank Dunia pada 18 Maret lalu, BBC Indonesia mencatat bahwa angka fasilitas kasur di Rumah Sakit Indonesia berada pada angka 1.2 per 1.000 penduduk. Hal ini jauh berbeda dengan Korea Selatan yang memiliki angka fasilitas kasur 11.5 per 1.000 penduduk.
Selain itu, jumlah dokter di Indonesia per 1.000 penduduk berada pada angka 0.4. “0.4!”. Angka tersebut bahkan jika kita sulap menjadi manusia, belum bisa menghasilkan 1 manusia. Jika kita mengalikan 0.4 dengan 4 maka dapat kita pahami bahwa dalam 4.000 populasi, hanya ada 1.6 dokter. Hal ini tentu berbeda dengan Korea Selatan yang memiliki 2.4 dokter per 1.000 penduduk atau dari negara tetangga, Singapura, yang memiliki dokter 2.3 per 1.000 penduduk dengan populasi yang jauh lebih sedikit dari Indonesia.
ADVERTISEMENT
Jumlah tempat tidur ICU (darurat) di Rumah Sakit pun tidak kalah memprihatinkan. Dibandingkan dengan Singapura yang memiliki tempat tidur ICU 11.4 per 100.000 penduduk, Indonesia hanya memiliki 2.7 tempat tidur ICU per 100.000 penduduk. Dengan kondisi fasilitas kesehatan yang sedemikian, Indonesia sekarang (26/06/2020) telah menempati urutan pertama dengan menyandang status kasus terkonfirmasi paling banyak di negara-negara ASEAN.
Selain pemaparan dari BBC Indonesia, Katadata Insight Center (KIC) juga mencoba membuat peringkat yang membandingkan tingkat kerentanan kasus dengan kondisi fasilitas kesehatan di Indonesia. Dengan menerapkan beberapa indikator untuk indeks kerentanan kasus dan kondisi fasilitas kesehatan, KIC menemukan bahwa skor tertinggi pada dua variabel tersebut (indeks kerentanan dan fasilitas kesehatan) sampai pada tanggal 25/05/2020 masih dimiliki oleh provinsi DKI Jakarta dengan rincian: indeks kerentanan pada angka 47 dan skor fasilitas kesehatan pada angka 87.
ADVERTISEMENT
Kondisi fasilitas kesehatan milik provinsi DKI Jakarta tersebut sangat berbeda dengan provinsi Jawa Timur. Indeks kerentanan di Jawa Timur memang berada di angka yang lebih rendah dibanding DKI Jakarta, yaitu pada 25.7, tetapi hal tersebut juga disertai dengan skor kondisi fasilitas kesehatan yang lebih rendah yang berada pada angka 22.1. Sedangkan, seperti yang telah kita ketahui, Jawa Timur merupakan provinsi dengan kasus terbanyak kedua setelah DKI Jakarta.
Kondisi fasilitas kesehatan dan jumlah kasus di Jawa Timur sampai pada Sabtu (27/06/2020) berbanding terbalik. Jumlah total kasus positif di provinsi Jawa Timur telah melebihi provinsi DKI Jakarta, yaitu berada pada angka 10.901. Selain itu, jumlah kasus aktif di Jawa Timur sampai Sabtu (27/06/2020) adalah sekitar 61 persen dari jumlah total kasus sedang di provinsi DKI Jakarta berada pada 42.9 persen.
ADVERTISEMENT
Walaupun bukan mustahil untuk menaikkan garis (menaikkan kondisi fasilitas kesehatan), tetap saja melakukan intervensi penambahan jumlah fasilitas kesehatan ini bukanlah langkah yang ideal. Selain membutuhkan anggaran yang lebih banyak, penambahan fasilitas kesehatan juga membutuhkan waktu yang lama; terutama tenaga dokter. Lebih mudahnya, menaikkan garis fasilitas kesehatan pada kurva epidemiologi sepertinya lebih berat dilakukan karena tentu saja, kondisi pandemi menyebabkan krisis ekonomi. Dan jalan keluar dari krisis inilah yang sedang kita cari.

Vaksin dan obat-obatan akan sangat membantu, tetapi sudahkah kita memilikinya?

Dua langkah di atas tidak benar-benar perlu dilakukan jika kita telah memiliki vaksin. Tersedianya vaksin yang aman dan efektif tentu dapat mencegah manusia tertular virus. Dengan memiliki vaksin, kita dapat menekan jumlah intervensi tanpa karantina sebagaimana juga kita tidak perlu menambah fasilitas kesehatan. Sangat sederhana.
ADVERTISEMENT
Kabar baiknya, sampai saat ini (27/06/2020) telah terdapat 141 kandidat vaksin yang diajukan oleh berbagai macam instansi. Beberapa masih berada dalam tahap penemuan dan beberapa lainnya telah berada pada tahap uji coba pra-klinis. Kabar buruknya, idealnya dibutuhkan waktu bertahun-tahun bagi sebuah vaksin dari tahap pengembangan hingga tahap pengedaran. Hal tersebut terkait pengembangan vaksin yang harus terjamin aman.
Sebuah analisa bahkan mengatakan bahwa vaksin COVID-19 secara ideal baru akan tersedia pada 2036. Proses pembuatan vaksin setidaknya harus melewati beberapa tahap, yaitu penelitian akademik, tahap pra klinis, tiga fase uji klinis, pembangunan pabrik, manufaktur, persetujuan, lalu distribusi. Setiap fase ini membutuhkan proses yang memakan waktu bertahun-tahun. Aspek aman (safety) sebuah vaksin tidak bisa dibuktikan dengan hanya satu dua hari uji. Dibutuhkan waktu panjang untuk melihat efeknya.
ADVERTISEMENT
Unsur keamanan menjadi penting karena jika sebuah vaksin memiliki dampak negatif yang muncul beberapa bulan setelah injeksi, maka akan menurunkan kepercayaan orang-orang pada vaksin. Hal ini akan melanggengkan agenda kelompok anti-vaksin yang oleh WHO dimasukkan dalam daftar sepuluh ancaman besar kesehatan global pada 2019.
Bukan untuk menakut-nakuti, tetapi kita harus memahami bahwa mungkin saja vaksin COVID-19 tidak akan tersedia dalam waktu dekat. Hal ini juga telah terbukti dari pengembangan vaksin HIV yang juga mengalami kemajuan yang tidak terlalu signifikan. Beberapa vaksin HIV telah masuk ke tahap klinis tetapi malah membuat virus HIV semakin berbahaya setelah diinjeksi. Hal serupa tentu tidak kita inginkan untuk vaksin COVID-19.
Namun demikian, kasus HIV ini juga memberi pelajaran bahwa umat manusia tidak harus bergantung pada vaksin untuk mengendalikan virus. Terdapat langkah alternatif yang bisa digunakan. HIV adalah buktinya. Peneliti dalam bidang terkait telah mengembangkan obat antivirus yang menurunkan angka kematian dan meningkatkan kesehatan bagi orang dengan AIDS. Obat terapi antiretroviral (antiretroviral therapy, ART) dapat menurunkan tingkat berbahayanya virus yang menyebabkan HIV ke level yang dapat ditangani oleh para ilmuwan. Perhatikan gambar di bawah ini.
ADVERTISEMENT
Dengan menerapkan penanganan dan perawatan, skala keberbahayaan HIV turun sangat jauh (dari yang sebelumnya sangat menular dan sangat mematikan turun menjadi tidak menular dan tidak mematikan). Jika tenaga medis dapat menemukan obat terapi untuk COVID-19, skala keberbahayaan virus ini mungkin juga akan turun.
Dalam kasus COVID-19, para ilmuwan dari berbagai macam instansi juga telah mengembangkan obat terapeutik. Sebanyak 416 obat telah masuk daftar dan beberapa telah masuk uji klinis tahap 4. Penggunaan obat yang tepat untuk intervensi COVID-19 ini diharapkan mampu memberikan reaksi yang sama seperti HIV – dengan mengendalikan virus.

Herd immunity terbit setelah banyak infeksi atau setelah adanya vaksin

ADVERTISEMENT
Hal yang banyak dikaitkan dengan new normal adalah herd immunity. Istilah tersebut mengacu pada kekebalan yang dimiliki sebagian dari populasi terhadap virus sehingga walaupun seseorang terdampak, ia tidak akan menularkan virus kepada orang lain. Jika sudah cukup banyak orang yang kebal akan virus, terbentuklah imunitas kawanan ini.
Namun demikian, herd immunity memiliki beberapa "syarat" agar dapat terwujud. Lebih jelasnya, untuk membuat seseorang kebal terhadap virus, kita memiliki beberapa cara. Dan beberapa syarat ini masing-masing memiliki resiko tersendiri.
ADVERTISEMENT
Syarat pertama adalah harus cukup banyak orang yang terinfeksi virus. “Loh?”. Maksudnya begini; Seseorang yang telah terinfeksi virus, tubuh mereka seharusnya juga membangun respon imun “baru” sehingga, kemungkinan, virus serupa tidak akan bisa menginfeksi lagi. Dengan kata lain, tubuh orang yang terinfeksi dan sembuh darinya, umumnya mengembangkan antibodi untuk melawan virus.
Jika cukup banyak orang yang terinfeksi lalu sembuh, tentunya juga akan tercipta kekebalan bagi masing-masing individu. Kekebalan masing-masing individu ini nantinya, jika sudah cukup banyak, mungkin akan menekan penyebaran virus. Dengan kata yang lebih singkat, orang-orang akan "aman" dari infeksi karena sebagian besar telah mengembangkan antibodi setelah terpapar lalu selamat.
Namun, strategi ini memiliki cacat; strategi ini mengharuskan semua orang (atau setidaknya sebagian) terdampak virus. Jika kita mengandalkan “infeksi virus pada semua orang” untuk membentuk kekebalan alami dan akhirnya menciptakan herd immunity, akan cukup banyak kelompok rentan yang menjadi korban. Jutaan atau ratusan juta orang mungkin akan meninggal karena terpapar virus. Dan ini bukanlah yang kita inginkan.
ADVERTISEMENT
Herd immunity dalam kasus pertama ini juga hanya berlaku jika virus tidak bisa menginfeksi seseorang untuk kedua kalinya. Sayangnya, sampai saat ini kita belum benar-benar tahu apakah orang yang telah terinfeksi COVID-19 lalu selamat tidak memiliki kemungkinan reinfeksi. Kita juga belum tahu berapa lama sistem imun yang melawan SARS-CoV-2 dapat bertahan dalam tubuh.
Kabar baiknya, syarat atau cara kedua untuk menciptakan herd immunity tidak mengharuskan orang terdampak atau terinfeksi virus terlebih dahulu. Cara kedua ini adalah dengan vaksin. Dengan memberikan sebanyak mungkin vaksin atau kekebalan buatan kepada semua orang yang belum terinfeksi – obat terapeutik dan penanganan yang baik pada orang yang terinfeksi – akan tercipta herd immunity.
ADVERTISEMENT
Kabar buruknya, pengembangan vaksin bisa memakan waktu lebih lama dari yang diambisikan oleh berbagai pengembangnya. Unsur keamanan dan efektivitas menjadi penting dari sebuah vaksin. Untuk apa mendapatkan vaksin dengan efikasi tinggi kalau tidak aman?
Dengan kondisi pandemi seperti ini, idealnya, kita harus memberikan waktu kepada para ilmuwan dan fasilitas penelitian untuk meneliti virus dan membuat vaksin dengan menerapkan pembatasan sosial. Dengan pembatasan sosial kita memperlambat laju penyebaran virus, dan setelah vaksin ada, kita benar-benar sudah kebal terhadapnya.
Pada dua skenario di atas, herd immunity sebenarnya bertujuan agar virus tidak lagi memiliki inang untuk berkembang biak. Hal itu tentu saja karena sudah banyak sekali orang yang kebal – entah karena vaksin atau pulih dari infeksi dan memiliki kekebalan. Selama kita belum bisa menjawab dengan pasti apakah orang yang terdampak COVID-19 tidak memiliki kemungkinan untuk terdampak kembali dan apakah sudah ada vaksin yang aman dan efektif, kita masih jauh dari herd immunity.
ADVERTISEMENT
Hari ini, sudah banyak sekali sektor publik yang dibuka kembali. Beberapa tempat perbelanjaan dan perkantoran yang beberapa bulan lalu ditutup pun sudah mulai beroperasi. Sementara, seperti yang telah kita ketahui, kasus baru masih terus muncul dan kurva pandemi di Indonesia belum menunjukkan kemungkinan turun atau melandai secara signifikan. Dengan penjelasan yang panjang lebar ini, sudahkah Anda menemukan jawaban dari “apakah kita benar sudah siap untuk melonggarkan PSBB dan memulai new normal?