Penjelasan Mengapa COVID-19 Sangat Berbahaya pada Lansia

Mely Santoso
Savvy science reader.
Konten dari Pengguna
26 September 2020 6:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mely Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi wanita lanjut usia. Photo by CDC on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wanita lanjut usia. Photo by CDC on Unsplash
ADVERTISEMENT
Bukan bermaksud mengawali artikel dengan sebuah kabar menakutkan, tetapi fakta adalah fakta. Pandemi Covid-19 masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir dan sayangnya, kita tidak tahu sudah sejauh mana keberhasilan umat manusia menghadapi SARS-CoV-2, virus corona baru dari keluarga betacoronavirus yang menyebabkan pandemi terburuk dekade ini.
ADVERTISEMENT
Ya, kita memang harus mengakui bahwa pengembangan vaksin Covid-19 berjalan dengan cepat. Namun, sejauh ini, dan memang itu hal wajar, belum ada vaksin yang benar-benar bisa diandalkan. Sampai hari ini juga, indikator keberhasilan kita (menurunkan angka infeksi dan kematian hingga 0) masih bergantung pada cara-cara yang belum banyak berubah: mematuhi protokol kesehatan.
Banyak negara yang telah berhasil menurunkan angka infeksi dan membuat kurvanya menjadi lebih landai daripada sebelumnya. Di beberapa negara lainnya termasuk Indonesia, kasus masih menunjukkan peningkatan setiap harinya. Jakarta bahkan harus rela untuk sekali lagi menerapkan PSBB. Hal ini mengingat pertambahan kasus di Ibukota yang cukup menanjak akhir-akhir ini.
Banyak hal tentang SARS-CoV-2 masih menjadi misteri seperti aspek biologis dari virus ini sendiri, efektifitas dan keamanan dari vaksin yang sedang dikembangkan, serta bagaimana virus ini akhirnya menginfeksi manusia. Sementara itu, beberapa hal lain tentang SARS-CoV-2 menjadi sebuah kontroversi: seberapa banyak sebenarnya jumlah kematian akibat Covid-19, data orang yang terinfeksi, teori-teori konspirasi tentang virus ini sendiri. Beberapa hal lagi masih menjadi perdebatan seperti kenapa orang lanjut usia memiliki risiko yang lebih parah terhadap Covid-19?
ADVERTISEMENT
Banyak artikel ilmiah yang telah mencoba menjelaskan mengapa Covid-19 menyerang orang lanjut usia lebih parah dibandingkan usia muda. Hal ini bukan berarti remaja dan usia dewasa awal aman dari infeksi Covid-19. Tidak! Tidak ada yang kebal dari Covid-19. Hanya saja, secara tidak proporsional, mereka yang berisiko mengalami gejala lebih parah adalah orang lanjut usia.
Bahkan, sejak sebelum Covid-19 menyebar ke lebih 100 negara di seluruh dunia, data awal dari China – di mana awal kasus infeksi SARS-CoV-2 ditemukan – telah menunjukkan bahwa orang usia lanjut adalah kelompok yang paling rentan terhadap dampak terburuk dari penyakit ini.
Sebagai pembukaan dari artikel ini mari sedikit melihat kondisi atau data terkini dan beberapa temuan tentang resiko Covid-19 pada lansia.
ADVERTISEMENT

Orang lanjut usia berada pada tingkat risiko tertinggi akibat Covid-19

Sampai hari Jumat (25/09/2020) tercatat 4.823 penambahan jumlah kasus baru terkonfirmasi yang menjadikannya, sementara, penambahan kasus tertinggi. Dengan demikian, Indonesia telah mencatatkan sebanyak 266.8452 kasus terkonfirmasi dengan 60.431 kasus aktif (22.6 persen dari kasus terkonfirmasi) dan 10.215 orang meninggal karena Covid-19.
Menelaah lebih dalam pada jumlah kematian akibat Covid-19 di Indonesia berdasarkan kelompok usia akan memperjelas pembahasan tingkat resiko. Dari data yang dipaparkan tim Kawal Covid-19, orang berusia 60 tahun atau lebih menunjukkan resiko tertinggi dengan 14.63 persen tingkat kematian. Sedangkan, usia 46-59 berada pada tingkat resiko tertinggi kedua yaitu pada angka 6.45 persen. Data ini direkap per 21 september 2020.
Estimasi tingkat dan jumlah kematian Covid-19 di Indonesia berdasarkan kelompok usia per 21 September 2020. Sumber: Twitter @KawalCOVID19
Berdasarkan laporan penelitian dari 3.372 jumlah kematian di Britania Raya dan 21.551 kematian di Italia, laman Information Is Beautiful pada awal pandemi menemukan hal yang tidak jauh berbeda. Berdasarkan visualisasi dari laman tersebut, usia 60 tahun ke atas lebih beresiko meninggal (dengan angka resiko 9 hingga 30 persen) dibanding mereka yang berusia lebih muda (dengan angka resiko 0.1 hingga 5.4 persen).
ADVERTISEMENT
Andrew Levin, ekonom di Dartmouth College di Hanover, New Hampshire, mengatakan bahwa, “Covid-19 tidak hanya berbahaya bagi orang tua, tetapi juga sangat berbahaya bagi orang yang berada pada usia pertengahan lima puluhan, enam puluhan, dan tujuh puluhan.” Ia memperkirakan, mengutip dari laman Nature, pada orang berusia 60 tahun tertular Covid-19 50 persen lebih mungkin berakibat fatal dibandingkan mengendarai mobil.
Visualisasi dari Information Is Beautiful
Sayangnya, dari semua data yang telah dipaparkan, para ilmuwan belum dapat memastikan apa sebab yang paling utama dari peristiwa ini. “Usia tidak bisa menjelaskan semuanya,” ujar Henrik Salje, seorang ahli epidemiologi penyakit menular di University of Cambridge, Inggris.
Sebagai pengingat, ada dua hal lain yang perlu diperhatikan tentang siapa yang memiliki resiko kematian lebih tinggi. Pertama, ada beberapa indikasi dari beberapa data dan penelitian yang menunjukkan bahwa laki-laki berisiko lebih tinggi mengalami gejala serius dibanding wanita. Angka ini, dari data laman Gugus Tugas Covid-19 Indonesia, memang tidak seberapa menunjukkan perbedaan. Untuk kasus meninggal, 58.4 persen adalah laki-laki sedangkan 41.6 persen adalah perempuan. Walaupun tidak terlalu jauh berbeda, tetap saja laki-laki memiliki resiko lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Laman Information Is Beautiful, di lain sisi, menemukan perbedaan yang cukup mencolok. Pasalnya, sebanyak 63 persen dari data kematian di Italia dan Britania Raya yang mereka visualkan, 63 persen resiko berada pada pria sedangkan sisanya, 37 persen, adalah wanita. Pada awal wabah di China, dari laporan Joint Mission WHO (PDF) ditemukan juga hal serupa: bahwa pria meninggal pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Namun, seperti juga usia, dibutuhkan penelitian dan data lebih banyak untuk memastikan tentang pengaruh jenis kelamin pada prognosis pasien.
Visualisasi dari Information Is Beautiful
Kedua, kita tahu bahwa orang yang memiliki kondisi medis penyerta (komorbiditas) menghadapi kemungkinan lebih tinggi untuk sakit atau meninggal akibat Covid-19. Orang yang memiliki satu atau lebih dari komorbiditas dapat meningkatkan risiko mengalami gejala yang parah dibandingkan hanya dengan faktor usia itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Untuk diingat bahwa secara keseluruhan, tingkat infeksi meningkat seiring bertambahnya usia (anak-anak memiliki tingkat infeksi rendah sedangkan manula tinggi). Namun, sulit untuk mengetahui apakah itu karena anak muda lebih sedikit terinfeksi oleh Covid-19 atau karena mereka cenderung asimtomatik dan tidak mencari pertolongan medis sehingga kasus mereka tak terekam.
Mempelajari kasus infeksi dan faktor resiko dari pasien lanjut usia dapat membantu para peneliti untuk mengembangkan obat dan juga untuk para otoritas menerapkan langkah pencegahan untuk penyebaran. Sangat penting untuk memahami faktor-faktor yang menempatkan orang dewasa pada resiko terbesar sehingga nantinya dapat mengembangkan strategi untuk melindungi masyarakat secara keseluruhan.

Penjelasan – yang mungkin super singkat – tentang bagaimana sistem imun manula bekerja

Pertanyaan besar dari fenomena yang telah kita jabarkan adalah bagaimana Covid-19 menjadi sangat beresiko pada orang lanjut usia?
ADVERTISEMENT
Beberapa peneliti dari berbagai negara telah mencoba melihat lebih dalam bagaimana risiko Covid-19 dengan usia ini berkorelasi. Pada bulan Juni dan Juli, ribuan orang di seluruh Inggris menerima tes antibodi. Dari 100.000an orang di usia remaja dan dewasa yang dipilih secara acak yang mengikuti tes tersebut, sekitar 6 persen memiliki antibodi terhadap SARS-CoV-2.
Hasil ini digunakan untuk menghitung IFR (Infection fatality ratio) keseluruhan untuk Inggris sebesar 0.9 persen. Hal tersebut berarti dalam setiap 1.000 kasus, terdapat 9 kematian. Dalam riset tersebut, angka IFR pada subjek berusia 15 dan 44 tahun mendekati angka nol. Sedangkan, untuk usia 65-74 berada pada 3.1 persen dan meningkat pada 11.6 persen untuk orang yang berusia lebih tua. Studi tersebut dipublikasikan (preprint) di medRxiv sebulan yang lalu (21/08/2020).
ADVERTISEMENT
Studi lain yang dimulai pada bulan April di Spanyol menguji antibodi pada lebih dari 61.000 penduduk yang dipilih secara acak juga menunjukkan hasil tren serupa. IFR keseluruhan untuk populasi sekitar 0.8 persen, tetapi mendekati nol untuk orang yang berusia di bawah 50. Angka tersebut meningkat menjadi 11.6 persen untuk pria berusia 80 tahun ke atas; 4.6 persen untuk wanita dalam kelompok usia tersebut.
Dengan demikian, hasil dari studi yang juga dipublikasikan di medRxiv 7 Agustus lalu sebagai preprint itu juga mengonfirmasi bahwa pria lebih mungkin meninggal akibat infeksi Covid-19 dibanding wanita – dan kesenjangan tersebut meningkat seiring bertambahnya usia.
Perbedaan respon sistem imun antara usia dan jenis kelamin bisa jadi dapat menjelaskan mengapa resiko Covid-19 berbeda. Seiring bertambahnya usia, sistem yang digunakan tubuh kita untuk melawan penyakit semakin menurun. Tubuh tidak hanya akan kesulitan melawan infeksi baru seperti Covid-19; tubuh juga lebih mungkin terkena penyakit kronis yang membuat sistem kekebalan melemah.
ADVERTISEMENT
Kemampuan untuk mengontrol viral load – berapa banyak jumlah virus yang terpapar pada tubuh seseorang – adalah salah satu prognostik terbaik untuk mengetahui apakah seseorang akan mengidap gejala Covid-19 ringan atau berat. Agar sistem kekebalan dapat secara efektif menekan lalu memusnahkan patogen, ia harus melakukan empat tugas utama yaitu mengenali (recognize), memberikan peringatan (alert), menghancurkan (destroy), dan membersihkan (clear) virus yang masuk ke dalam tubuh.
Ketika berurusan dengan Covid-19, para ilmuwan belum bisa memastikan dari empat tugas tersebut, mana yang paling berperan dalam sistem kekebalan pada orang tua. Pasalnya, diketahui bahwa masing-masing mekanisme atau tugas sistem imun tersebut tidak berfungsi dengan baik pada orang lanjut usia. “Tugas mana yang paling relevan dengan perkembangan Covid-19 pada orang tua masih belum jelas,” tulis Amber L. Mueller, Maeve S. McNamara, dan David A. Sinclair, dalam jurnal Aging di laman National Institute of Health.
ADVERTISEMENT
Para peneliti di Glenn Center for Biology of Aging Research, Blavatnik Institute, Harvard Medical School, Boston, tersebut juga menjelaskan bahwa selama proses penuaan, sistem kekebalan berubah dengan dua cara utama. Pertama, terjadinya penurunan fungsi kekebalan secara bertahap atau disebut sebagai immunosenescence – yang menghambat proses pengenalan, peringatan, dan pembersihan patogen.
Perubahan sistem kekebalan tubuh kedua selama proses penuaan adalah peningkatan secara kronis pada peradangan sistemik yang disebut sebagai inflammaging. Istilah terakhir itu muncul dari tugas alarm yang terlalu aktif (overreacting), tetapi tidak efektif.
Banyak bukti dari data terbaru yang menggambarkan perubahan molekuler pada pasien Covid-19 menunjukkan baik immunosenescence dan inflammaging sebagai penyebab utama tingginya tingkat kematian pasien lanjut usia. Dalam immunosenescence, secara spesifik, terdapat kelainan atau cacat baik pada sistem imun bawaan ataupun sistem imun adaptif.
ADVERTISEMENT
Immunosenescence bawaan ditandai dengan pengenalan patogen dan aktivasi makrofag yang tidak efektif serta penurunan sitotoksisitas sel natural killer (NK). Perubahan molekuler terkait usia ini, oleh ahli dan ilmuwan, dianggap sebagai akibat dari patogenik, genetik, dan gaya hidup yang mempengaruhi status epigenetik sel dan keragaman sel imun.
Gambar mikroskopis elektron transmisi isolat dari kasus COVID-19 AS pertama, sebelumnya dikenal sebagai 2019-nCoV. Partikel virus berbentuk bola, berwarna biru, mengandung penampang melintang melalui genom virus, terlihat sebagai titik hitam. Sumber: Unsplash @CDC

Bagaimana kemungkinan kondisi penurunan kualitas sistem imun lansia menjadikannya lebih bahaya ketika merespon SARS-SoC-2

Setelah memahami bahwa sistem kekebalan tubuh yang berguna untuk menangkal virus mulai menurun seiring bertambahnya usia, selanjutnya mari membahas bagaimana kondisi ini memperparah lansia yang terinfeksi SARS-CoV-2.
Pada orang lansia, jumlah sel darah putih yang bertugas menemukan dan memusnahkan infeksi mulai menurun. Sel ini juga menjadi kurang mampu mengidentifikasi dan melawan patogen baru. Di lain sisi, virus yang menyebabkan Covid-19 dapat merusak sel kekebalan yang sebenarnya bertugas untuk mengatasi virus itu sendiri. Jika sel-sel yang dibutuhkan untuk melawan virus ini hanya berjumlah sedikit dan lemah, suatu penyakit dapat menyebabkan lebih banyak kerusakan.
ADVERTISEMENT
Ketika respon pertahanan terhadap sebuah infeksi muncul, sistem kekebalan orang lanjut usia memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk beraksi secara berlebihan. Reaksi berlebihan yang berbahaya ini dikenal juga sebagai badai sitokin (cytokines storm). Istilah terakhir merujuk pada disfungsi organ yang mengancam jiwa disebabkan oleh respon inang yang maladaptif terhadap pemicu infeksi.
Sitokin sendiri sebenarnya merupakan protein yang berfungsi sebagai sinyal bagi tubuh untuk meningkatkan perlawanan pada infeksi. Namun, ketika sitokin bereaksi secara berlebihan, hal ini akan menyebabkan peradangan parah, demam tinggi, dan kegagalan organ. Hal ini menunjukkan bahwa bukan hanya respon lambat terhadap infeksi yang dapat membahayakan manula, tetapi juga reaksi berlebihan sistem kekebalan terhadap patogen.
Satu laporan (preprint) tentang karakteristik pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit di New York City, pada April lalu menemukan bahwa satu dari dua kasus Covid-19 yang fatal mengalami badai sitokin; 82 persen di antaranya berusia di atas 60 tahun. Para peneliti juga menemukan bahwa usia median pasien secara keseluruhan adalah 65 tahun dan untuk pasien meninggal berada pada usia 75 tahun.
ADVERTISEMENT
Pemicu awal dari badai sitokin ini belum sepenuhnya diketahui, tetapi kemungkinan hal itu melibatkan deteksi sistem kekebalan terhadap sejumlah besar antigen virus yang dilepaskan oleh sel yang sekarat. Hal lain yang masih menjadi pertanyaan besar bagi para ilmuwan adalah mengapa orang tua sangat rentan terhadap badai sitokin.

Penyakit yang lebih dulu ada atau menyertai (komorbiditas) meningkatkan resiko kematian karena Covid-19

ADVERTISEMENT
Semakin lama kita hidup, semakin besar sel kita bereplikasi dengan cara yang berbahaya, semakin banyak kerusakan yang terakumulasi, dan semakin besar kemungkinan organ tidak berfungsi secara normal. Hal-hal ini dapat menjadikan kita beresiko tinggi terhadap kondisi kesehatan kronis seperti kanker atau diabetes.
Seiring dengan sistem kekebalan yang sudah melemah, penyakit yang menyertai ini dapat mempersulit tubuh untuk menangkal infeksi. Seperti yang telah kita jabarkan dalam pembukaan artikel di atas, usia sendiri bukanlah satu-satunya yang memperparah resiko akibat Covid-19; lansia dengan satu atau lebih kondisi penyerta adalah yang beresiko paling parah dan bahkan dapat menyebabkan kematian.
ADVERTISEMENT
Dari laporan Dionita Rani Karyono dan Anggi Lukman Wicaksana yang dipublikasikan di Journal of Community Empowerment for Health, menemukan bahwa terdapat 65 penderita Covid-19 di Indonesia meninggal memiliki penyakit penyerta hipertensi. Lainnya, sebanyak 33 dan 13 pasien meninggal dengan penyakit penyerta diabetes melitus dan penyakit kardiovaskular selain hipertensi secara berturut-turut. Data yang mereka paparkan diambil pada 3 Juni 2020 lalu dari laman gugus tugas Covid-19.
Komorbiditas COVID-19 di Indonesia (n = 649). Sumber: Donita R. Karyono & Anggi L. Wicaksana, Journal of Community Empowerment for Health
Data dari Italia, saat awal pandemi ini memuncak, menemukan antara 105 pasien yang meninggal pada 4 Maret, dua pertiga memiliki tiga atau lebih penyakit penyerta yang sudah ada sebelumnya. Sama seperti di Indonesia, penyakit penyerta pertama yang paling tinggi adalah hipertensi, diikuti penyakit jantung iskemik, dan diabetes melitus. Penyakit kronis ini dapat menyebabkan kerusakan organ dan lebih rentan terhadap infeksi. Selain itu, perawatan untuk kondisi penyerta ini dapat menekan sistem kekebalan dan membuat tubuh rentan terhadap patogen.
ADVERTISEMENT
Masih belum diketahui dengan jelas mengapa Covid-19 sangat beresiko bagi penderita penyakit ini. Namun, secara umum, penyakit pernapasan bisa sangat berbahaya bagi penderita penyakit kardiovaskular.
Saat paru-paru tidak berfungsi dengan baik, jantung harus bekerja lebih keras. Para peneliti juga telah mengetahui bahwa diabetes dapat merusak sistem saraf dan mengganggu upaya tubuh untuk membersihkan infeksi dari paru-paru. Kondisi seperti gula darah tinggi yang terkait dengan diabetes juga dapat menekan sel kekebalan.
Ada masalah lain terkait dengan penuaan yang juga berperan di sini. Orang tua mungkin kurang efisien dalam batuk dan bersin, sehingga lebih sulit bagi mereka untuk membersihkan virus Covid-19 yang menginfeksi saluran udara. Akumulasi kerusakan paru-paru pada lansia akibat kebiasaan seperti merokok atau menghirup udara yang tercemar dapat semakin meningkatkan kerentanan. Saat Covid-19 menyerang, hal itu dapat menyebabkan masalah seperti pneumonia parah.
ADVERTISEMENT

Lansia mungkin menghadapi resiko terbesar, tetapi bukan berarti kelompok usia lainnya kebal akan Covid-19

Beberapa faktor yang menjadikan lansia berada pada resiko terbesar sebenarnya tidaklah unik terjadi pada mereka. Entah Anda berusia 75 tahun atau 35 tahun, beberapa faktor lain seperti penyakit kronis, misalnya, dapat memperburuk hasil dari infeksi SARS-CoV-2.
Beberapa orang di rentang usia yang tergolong muda juga meninggal akibat Covid-19. Dan meskipun anak-anak tampaknya cenderung tidak mengalami gejala parah akibat Covid-19 dibandingkan manula, resiko tingkat kematiannya bukan berarti menjadi nol.
Di Indonesia, sampai pada bulan Juli lalu angka kematian kelompok usia balita masuk kedalam kategori yang cukup tinggi. Pasalnya, tingkat kematian pada kelompok ini sempat menyentuh 2.40 persen pada periode tersebut. Dan per 21 September lalu, tim Kawal Covid19 melaporkan terdapat 74 total kematian pada anak usia 0-5 tahun.
Estimasi tingkat dan jumlah kematian Covid-19 di Indonesia berdasarkan kelompok usia per 3 Juli 2020. SUmber: Twitter @KawalCOVID19
Sekilas, angka tersebut terlihat kecil, tetapi di periode yang sama, Elina Ciptadi, co-founder Kawal Covid19 mengatakan pada Kompas.com (13/7/2020) bahwa, “dibandingkan dengan negara lain, seperti China, Singapura, Korea Selatan, dan Italia, tingkat kematian di Indonesia sangat tinggi.”
ADVERTISEMENT
Sebuah perdebatan tentang resiko Covid-19 pada anak-anak salah satunya terjadi dalam jurnal Pediatrics. Pasalnya, sebuah penelitian terhadap lebih dari 2.100 anak yang dipublikasikan 16 Maret lalu (PDF) menemukan bahwa di China, anak-anak tetap rentan terhadap Covid-19 meskipun mayoritas mengalami gejala ringan dan sebagian lain tidak mengalami gejala sama sekali.
Dari penelitian itu digaris bawahi bahwa hanya sepertiga dari anak-anak dalam sampel yang dites dan dipastikan memiliki virus Covid-19. Selebihnya adalah dugaan kasus Covid-19, yang berarti ada kemungkinan patogen lain menyebabkan gejala yang diamati.
Ilmuwan lain, Steven L. Zeichner dari Departments of Pediatrics & Microbiology, Immunology, and Cancer Biology, University of Virginia, Charlottesville, VA, bersama koleganya memberikan komentar tentang temuan di atas. Mereka mencatat bahwa hasil terburuk pada anak-anak seringkali terjadi pada bayi.
ADVERTISEMENT
Dalam artikel komentar tersebut, Zeichner menyebutkan bahwa terdapat sekitar 30 persen anak dengan Covid-19 yang dikategorikan sebagai “parah” dan lebih dari separuh kasus Covid-19 dikategorikan sebagai “kritis” terjadi pada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun. Meskipun jumlah seluruhnya tergolong kecil – 7 bayi menderita penyakit kritis dan 33 menderita penyakit parah – hal itu menunjukkan bahwa anak kecil menghadapi kemungkinan yang lebih tinggi terhadap dampak yang lebih berbahaya.
Ilustrasi balita. Sumber Suke Tran di Unsplash
Resiko tingkat kematian yang tinggi pada bayi ini mungkin, mengutip Vox, karena mereka masih membangun sistem kekebalan tubuhnya. Ketika bayi lahir, ia mempertahankan beberapa bagian resistensi infeksi dalam bentuk antibodi dari ibunya. Perlindungan itu berkurang selama beberapa bulan pertama kehidupan saat bayi membangun sistem kekebalannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Namun, masalah lainnya yang masih menjadi pertanyaan, untuk virus baru seperti SARS-CoV-2 ini, kemungkinan tidak ada kekebalan yang ditularkan dari ibu kepada anak. Hal ini dikarenakan virus ini tergolong baru dan kemungkinan besar si ibu belum memiliki rekam atau riwayat terinfeksi virus baru ini. Tidak adanya vaksin yang dapat menstimulasi dan mengajari sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus juga menjadi masalah lain.
Walaupun mungkin anak-anak terinfeksi Covid-19 “hanya” menunjukkan gejala ringan atau asimtomatik, mereka tetap mampu menularkan virus kepada orang yang lebih tua atau pengasuh mereka. Hal ini tentunya akan melanggengkan jalur infeksi Covid-19 dan menambah jumlah kasus untuk direkap setiap harinya.
Dengan demikian, hal yang perlu ditekankan sebagai penutup di sini adalah bahwa sebuah fakta yang telah kita ketahui semenjak pandemi ini; walaupun resiko kematian bisa jadi lebih besar pada kelompok usia tertentu, tidak ada orang yang benar-benar imun dari Covid-19. Vaksin memang telah dikembangkan, tapi sampai sekarang belum ada yang benar-benar dapat kita andalkan untuk membantu pembentukan imunitas kawanan atau herd immunity.
ADVERTISEMENT
Peluang terbaik kita untuk mengalahkan pandemi ini masih bergantung seberapa baik kita menerapkan cara-cara kuno seperti mencuci tangan, mengenakan masker, dan juga menjaga jarak.