Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pesan Terakhir Papa Mertua
22 April 2020 19:56 WIB
Tulisan dari Mertua Oh Mertua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kehadiran mertua sering kali menyulut drama, tapi nggak jarang juga bisa jadi berkah. Apalagi bagi menantu yang belum pernah merasakan kasih sayang ayah. Hadirnya papa mertua mungkin sudah lama ditunggu-tunggu. Itulah yang dirasakan Asa, ibu satu anak yang kini tengah berkabung. Simak ceritanya.
ADVERTISEMENT
—
Ayah meninggal sejak aku berusia 2 tahun. Meski sempat digendong dan ditimangnya, aku benar-benar lupa seperti apa wajahnya, seperti apa suaranya, sehangat apa pelukannya. Yang aku ingat, cuma ada ibu yang selalu mendampingiku.
Tapi sejak menikah, aku jadi tahu rasanya punya ayah. Itu semua berkat papa mertuaku yang baik dan perhatian. Meski dia punya keterbatasan, yakni kena stroke pada tenggorokan, papa tetap berusaha menunjukkan kasih sayangnya ke aku seperti ke anak sendiri.
Misalnya, saat suami dan ibu mertua memuji masakanku, papa selalu bilang, “aduh Papa jadi pengen cicip,”
Sayangnya, Papa nggak bisa menelan makanan dari mulutnya. Dia makan dan minum obat lewat selang nasogastrik (NGT) yang dipasang melalui hidung.
Kasihan papa. Ingin makan enak nggak bisa. Ingin coba masakan menantu, nggak bisa. Seperti berusaha menghargaiku, papa selalu bilang bahwa bau masakanku harum, aromanya menggoda, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Pernah aku memaksanya untuk mencicipi kari ayam buatanku. Aku nggak tega melihatnya cuma memandangi meja makan dari jauh.
“Pa, coba cicip yuk. Kalau dikunyah lalu dilepeh lagi kan nggak apa. Yang penting tahu rasanya,”
“Nggak usah ah, Nak. Masa kamu susah-susah masak, nanti dilepeh sama Papa. Malu lah Papa,” jawabnya.
Setelah aku merajuk, barulah papa mertua mau. Setelah cicip masakanku, dia terdiam lama. Aku khawatir ternyata masakanku nggak sesuai dengan seleranya. Tapi begitu aku perhatikan lebih dekat, mata papa ternyata berkaca-kaca.
“Andai Papa punya menantu kamu waktu masih sehat ya, Nak,” katanya.
Singkat tapi dalam. Setelah membersihkan bekas makanan papa, aku masuk ke kamar. Diam-diam aku menangis karena membayangkan papa masih sehat dan bisa mengunyah makanan dengan lahap. Andai bisa seperti itu.
Selain sering memuji masakanku, papa juga perhatian pada karirku. Sejak aku punya bayi , aku memutuskan resign. Padahal suami dan papa mertuaku tahu, aku sangat cinta dengan pekerjaanku sebagai programmer.
ADVERTISEMENT
Karena nggak mau anakku dirawat pengasuh, aku berhenti kerja. Aku memang agak idealis soal pengasuhan anak. Saat itu papa bertanya apakah aku benar-benar yakin dengan keputusanku.
“InsyaAllah yakin kok Pa,” jawabku.
“Jadi ibu nggak berarti kamu harus mengorbankan cita-cita pribadi, Nak. Kamu tetap bisa jadi ibu yang baik walaupun kerja di luar rumah dan sewa pengasuh. Kalau kamu mau balik kerja, Papa dukung kamu 100 persen,” tuturnya.
Mendengarnya perkataan papa mertua aku jadi terharu. Dia bisa saja cuek atau justru senang karena aku lebih memilih fokus merawat cucunya daripada pekerjaan. Tapi papa justru memikirkan aku sebagai seorang individu yang punya mimpi, di luar statusku sebagai istri dan ibu.
Aku nggak menyangka kalau itu akan jadi pesan terakhir papa untukku. Sebab seminggu setelahnya, papa meninggal. Meski hanya 2 tahun, aku senang bisa merasakan kasih sayang seorang ayah. (sam)
ADVERTISEMENT
—
Jadi gimana, nih? Apakah Anda juga pernah mengalami pengalaman serupa dengan Asa? Boleh dong, diceritakan di kolom komentar. Takut namanya kebaca sama mertua ? Kirim email aja! Ke: [email protected]