Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Tiap Beli Perabot, Mertua Selalu Sewot
31 Maret 2020 21:22 WIB
Tulisan dari Mertua Oh Mertua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sering dikritik adalah salah satu alasan kenapa menantu sering tidak akur dengan mertua . Rasanya tidak ada yang benar di mata mertua. Itulah yang dirasakan Lulus, ibu dua anak asal Bekasi. Berikut kisahnya.
ADVERTISEMENT
—
Sejak awal menikah, aku merasa ibu mertua memperlakukan aku seperti saingannya. Kami berdua bagaikan ikut kompetisi sengit dan dia sangat ambisius untuk jadi pemenang.
Kadang aku berpikir, mungkin aku lagi apes saja karena memilih menikah dengan anak laki-laki satu-satunya. Anak kesayangan yang paling diandalkan. Begitu anak itu menikah, ibunya tak rela melepas. Akhirnya menantu jadi sasaran.
Ibu mertuaku sering sekali meremehkan kemampuan dan pilihanku. Dia selalu ingin menunjukkan bahwa dia lebih andal dalam hal apapun. Termasuk memasak, mengurus anak, bersih-bersih rumah, hingga memilih perabotan.
Ya, perabotan pun jadi bahan kritikan. Setiap ibu mertua melihat ada barang baru di rumah kami, pasti dia sewot dan nyinyir. Sebab dia tahu pasti yang memilih aku.
“Meja TV ini berapa duit Lus? Kok kayaknya nggak awet ya. Pasti bahannya pakai kayu partikel.”
ADVERTISEMENT
Itu salah satu contohnya. Masih banyak komentar miring lain yang ibu mertua lontarkan. Sedihnya, rumah kami dan rumahnya hanya berjarak 4 km. Jadi entah itu pagi, siang, atau malam, dia bisa nongol sewaktu-waktu.
Pernah suatu kali dia mengkritik warna gorden pilihanku. Entah apa tujuannya, ibu mertua selalu melakukannya di depan suamiku.
“Ini gorden baru ya? Duh kok warnanya gonjreng banget. Bikin sakit mata,” ujarnya dengan melipat tangan di dada.
“Sengaja Bu, biar setan nggak bisa masuk gara-gara sakit mata hehe,” jawabku sekenanya.
Kadang aku sengaja menjawab setengah bercanda, setengah menyindir. Terserah bagaimana dia mengartikannya. Tapi lewat jawaban itu, aku menyiratkan bahwa aku tidak takut dengan kritikannya. Aku juga tidak mau kalah.
ADVERTISEMENT
Biasanya kalau sudah begitu, ibu mertua akan kehabisan kata. Dia akan diam lalu mengalihkan topik. Bonusnya, dia jadi pulang lebih cepat daripada biasanya.
Tapi keesokannya, ibu mertua akan datang dan membawa kritikan baru. Yang menurutku, sudah dia siapkan sejak semalam.
“Kok lantai rumah kalian nggak licin? Kapan terakhir ngepel?”
“Jendela kok ditutup seharian? Masih siang kok gelap-gelapan. Emang ini rumah vampir?”
“Rumahmu jangan kebanyakan perabot. Bukannya bagus malah jadi suram,”
Dan masih banyak lainnya.
Untungnya semua komentar miring ibu mertua tentang perabot dan bagaimana aku mengurus rumah tidak mengubah pandangan suami tentang aku. Bahkan kami jadikan bahan bercandaan ketika ibu mertua sudah pulang.
Alih-alih mempengaruhi suami untuk memihakku, aku malah memintanya untuk lebih perhatian ke ibunya.
Aku ingin ibu mertua sadar sampai kapan pun aku tak bisa menggantikan posisinya. Dia tetap wanita pertama yang mengurus suamiku dari orok hingga bisa seperti sekarang. Jasa dan pengorbanannya tak akan terhapus hanya karena anak laki-lakinya sudah menikah.
ADVERTISEMENT
Aku ingin ibu mertua tak lagi merasa insecure dengan kehadiranku. Aku bukan saingan, tapi pelengkap. Aku bukan mengambil anaknya, tapi mendampinginya. (sam)
—
Jadi gimana, nih? Apakah Anda juga pernah mengalami pengalaman serupa dengan Lulus? Boleh dong, diceritakan di kolom komentar. Takut namanya kebaca sama mertua ? Kirim email aja! Ke: [email protected]