Cover LIPSUS WELCOME 2020

Buat Apa Resolusi Tahun Baru?

30 Desember 2019 11:09 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Resolusi 2020. Foto: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Resolusi 2020. Foto: Maulana Saputra/kumparan
"Gue sering kusut di kantor. Pokoknya tahun 2020 gue akan dandan dan pake pakai-pakaian yang normal dan laik," cetus Amanaturrosyidah penuh tekad.
Perempuan yang akrab disapa Ochi ini berharap bisa menampilkan diri dengan cara berbeda dari sebelumnya di tahun 2020. Ia merasa terlalu tampil seadanya sepanjang tahun 2019.
Itu sebabnya, Ochi ingin orang-orang di sekitarnya mendapat kesan dirinya yang baru di tahun mendatang. Harapan itu yang dipatoknya sebagai resolusi tahun depan.
"Jadi 2020 itu tema besarnya gue rebranding," katanya.
Bagi Ochi, membuat resolusi bukan persoalan main-main. Saban menjelang akhir tahun, ia akan menyisihkan waktu di malam hari khusus untuk merenung.
Pertama-tama, Ochi akan mengevaluasi capaian tahun yang berlalu. Kemudian, ia mematok target untuk tahun mendatang.
Tak jarang ia sampai mengintip resolusi yang dituliskan orang lain di media sosial. Pokoknya, ia bisa mencari inspirasi dari mana saja untuk menentukan resolusi.
Ochi juga tipikal orang yang merinci resolusi dengan rigid. Awalnya, ia akan menentukan tema besar. Biasanya ada lebih dari satu tema resolusi yang dipancangkan.
"Gue mikir terus. Kadang revisi lagi (resolusinya)," kata dia.
Lalu, tema besar itu akan terjemahkan menjadi target-target bulanan. Ia sudah terbiasa membuat resolusi dengan detail. Baginya, membuat resolusi seperti merancang arah hidup.
"Karena harus ada goal-nya biar enggak bosen hidup. Biar ada tujuan aja gitu," katanya.
Ochi Amanaturrosyidah. Foto: Ochi
Kebiasaan membuat resolusi Ochi lakukan sejak lulus sekolah menengah atas. Ia akan menuliskan resolusinya dan menempelkannya di tembok kamar indekos.
"Kalau di tembok saat gue mau tidur, kayak mikir akan aku capai tujuan itu," katanya, Kamis (26/12).
Bila perlu, resolusinya akan dicetak pada kertas dengan desain tertentu. Tujuannya, kata Ochi, supaya dia lebih bersemangat menggapai resolusi.
"Jadi ketika resolusi gue jadi, jadinya estetis. Kalau dia estetis gue jadi semangat memenuhi resolusi gue," tuturnya.
Sampai-sampai, Ochi terobsesi dengan resolusinya. Dia akan marah pada diri sendiri bila sasaran yang sudah ditentukan meleset dari jadwal.
"Pasti gua kejar. karena dia enggak boleh gagal. karena begitu yang gua kejar gagal, gua stres," ujarnya.
Resolusi 2020. Foto: Maulana Saputra/kumparan
Lain lagi cerita Brian Hikari (23). Ia bukan orang yang terbiasa membuat resolusi setiap tahun.
Tapi evaluasi kondisi kesehatannya di tahun 2019 memaksanya menargetkan sesuatu di tahun depan. Baginya, tahun 2020 adalah waktu untuk memperbaiki pola hidup.
Resolusi itu dilatari pengalamannya bolak-balik rumah sakit sepanjang 2019.
"Gue sakit mulu bahkan sekali dioperasi saat usus buntu. Dan itu semua terjadi karena pola makan gue yang nggak teratur dan enggak sehat," katanya di Depok, Jumat (27/12).
Resolusi tahun baru. Foto: Shutter Stock
Sejarah Panjang
Tradisi membuat resolusi membentang panjang dalam sejarah umat manusia. Kebiasaan itu pun tidak baru dimulai ketika masyarakat mulai beranjak modern.
Setidaknya, tradisi resolusi bisa dilacak sejak manusia mengenal konsep pergantian tahun. Sarah Puitt, dalam bukunya The History of New Year’s Resolutions, menjelaskan tahun baru pertama kali tercetus pada masa Babilonia Kuno atau sekitar 4.000 tahun yang lalu.
Pada periode itu pula manusia sudah mengenal resolusi. Tapi jangan bayangkan resolusi pada masa itu mirip dengan apa yang kita kenal sekarang.
Menurut Puitt, orang-orang di masa lampau membuat resolusi atau perjanjian terhadap dewa. Seiring pergeseran zaman, resolusi orang di masa kini cenderung berkutat pada dirinya sendiri.
Fokusnya, kata Puitt, semata-mata untuk perbaikan diri. Lantas mengapa orang cenderung membuat resolusi menjelang pergantian tahun? Jawabannya tak lepas dari asosiasi di benak orang terhadap tahun baru.
Psikolog Klinis Nadya Pramesrani mengatakan banyak orang cenderung menganalogikan pergantian tahun dengan lembaran baru dalam memulai sesuatu.
"Nah, memulai sesuatu itu kan enaknya dari awal makanya banyak orang menjadikan tahun baru sebagai momentum awal," ujarnya.
Setiap orang pasti punya cara dan persepsi yang berbeda-beda dalam menentukan resolusi tahunannya. Faktor usia juga akan menentukan bagaimana seseorang mematok resolusi.
Menurut Nadya, resolusi memang berkait erat dengan fase kehidupan yang dilalui seseorang. Ia mencontohkan, orang yang berumur 20-30 tahun cenderung ingin memiliki pasangan dan menikah.
Sebab, pada periode itu seseorang akan masuk periode perkembangan sosial. Pada usia 35-50 tahun, resolusi biasanya akan dibuat seseorang dalam konteks kemapanan dan waktu yang lebih banyak dengan keluarga.
"Jadi resolusi itu tujuan, tujuan itu membuat orang lebih baik, dan orang perlu menjadi lebih baik," ujarnya. "Nah gimana tujuan baru yang ingin dicapai itu biasanya beruba sesuatu yang lebih dari apa yang suka kita capai."
Tapi membuat resolusi tak lantas menjadi jaminan keinginan kita akan tercapai di tahun mendatang. Neuropsikologi dan ahli kecerdasan Emosional dari Icahn School of Medicine New York, Theo Tsaousides, mengatakan banyak orang malah lupa dengan resolusinya sendiri hanya beberapa hari setelah memasuki tahun baru.
Tanda gagalnya resolusi kebanyakan orang, kata dia, bahkan sudah mulai tampak saat memasuki pertengahan tahun. Aktivitas atau kebutuhan lain menjadi faktor paling jamak yang mengganggu fokus seseorang kepada resolusinya.
Bila sudah demikian, lanjut Theo, orang akan membuat resolusi yang sama dari tahun-tahun sebelumnya. BUkan tak mungkin kejadian serupa kembali terulang di tahun berikutnya.
Tantangan terbesar mencapai resolusi adalah konsistensi. Tanpa hal Theo, resolusi yang dipatok tak akan menghasilkan apa-apa.
"Hanya seperti benak mimpi yang mengubur diri mereka sendiri," ujarnya.
Resolusi 2020. Foto: Shutterstock
Nadya menilai, ketidaktahuan bagaimana mencapai sebuah target menjadi salah satu faktor kegagalan dini resolusi. Terlebih, ada kalanya seseorang tak tahu bagaimana mengukur keberhasial resolusinya.
Kebanyakan orang juga tidak membuat resolusi dengan matang sehingga eksekusinya sulit dilakukan. Nadya memberikan tips agar kegagalan semacam itu bisa dihindari.
Rumusnya sederhana: SMART (Spesific, Measurable, Achievable, Relevant, dan Time). Spesific artinya seseorang harus memiliki target yang jelas dan tidak bersifat umum.
Lalu, measurable yang bisa dimaknai suatu resolusi dapat diukur tingkat ketercapaiannya dengan melihat kemampuan diri kita sendiri. Achievable yakni resolusi yang dibuat harus disertai rencana matang agar tidak keluar dari jalur yang sudah ditentukan.
Relevant adalah meninjau langkah yang kita lakukan untuk mencapai resolusi apakah sudah cukup atau terlalu memberatkan. Dan yang terkahir, time yang artinya setiap resolusi harus memiliki tenggat waktu agar bisa selesai sesuai rencana.
"Untuk bisa mencapai tujuan atau mencapai goals dalam konteks resolusi, formulasi goals itu perlu dibuat dengan SMART," kata Nadya memberi saran.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten