Hidup Minimalis di Kos Kapsul

6 September 2019 12:04 WIB
clock
Diperbarui 21 Januari 2021 11:12 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penghuni kos kapsul. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Penghuni kos kapsul. Foto: Getty Images

Kos kapsul berukuran 2 x 1 meter di Johar Baru disegel petugas karena dianggap tak layak dan tak berizin. Hidup di hunian seukuran "kotak peti mati" seperti di Johar Baru ini memang tak biasa bagi sebagian masyarakat Indonesia. Namun ternyata bukan hanya di Johar Baru, di sejumlah daerah di Jakarta juga menjamur kos kapsul lainnya.

Bagaimana fenomena kos kapsul itu bermula dan seperti apa perkembangannya di Indonesia? Simak kisahnya.

Akhir Agustus lalu, sebuah artikel tentang kos kapsul di media siber mengusik ketenangan Bayu Meghantara. Wali Kota Jakarta Pusat itu penasaran soal bentuk kos kapsul berukuran 2 x 1 meter yang dijadikan pilihan tempat tinggal oleh sebagian warganya di Johar Baru.
Bayu lalu menugaskan wakilnya, Irwandi, untuk meninjau kos kapsul yang berada di Jalan Rawa Selatan V, Johar Baru, Jakarta Pusat, Senin (2/9). Bersama dengan tim, Irwandi bertandang ke kos kapsul itu dan berbincang dengan para penghuninya.
Dari hasil peninjauan Irwandi, Bayu mendapatkan informasi bahwa kos di Johar Baru itu tak layak huni karena ukurannya kecil dan pengap. Di rumah bercat putih dan terdiri dari 3 lantai itu, pemilik membangun kos kapsul berukuran 2 x 1 sebanyak 60 unit. Kos bisa disewa bulanan mulai harga Rp 300 ribu-Rp 500 ribu, atau pun harian Rp 40 ribu. Untuk sewa Rp 300 ribu ukuran tinggi kamarnya 90 cm, sedangkan Rp 400 ribu tingginya 100 cm. Bila tinggal berdua maka sewa menjadi Rp 550 ribu.
“Itu kan mereka tertutup, AC-nya ada, tapi kan kemudian tidak masuk ke dalam sinar matahari. Kita harapkan orang mau beristirahat itu yang refresh, yang baik. Tapi kenyataannya itu tidak pas,” kata Bayu saat berbincang dengan kumparan di kantornya, Jakarta, Rabu (5/9).
Seorang petugas Satpol PP memeriksa kos-kosan kapsul di Jalan Rawa Selatan V, Johar Baru, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Selain itu kos juga tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan surat izin sebagai rumah kos. Sehingga sehari setelah peninjauan, pemerintah kota memutuskan untuk melakukan penyegelan dan meminta pemilik untuk mengosongkan kosannya.
"Harus selesaikan saja perizinannya dulu. Kalau sudah beres ya kaidahnya kan harus banyak. Terpenuhi administratifnya, terpenuhi kaidah-kaidahnya," Bayu mengatakan.
Kaidah yang dimaksud Bayu adalah soal kebersihan dan sirkulasi udara yang lebih baik. Sebab, dalam kos tersebut tak ada ventilasi udara yang layak sehingga dikhawatirkan berdampak buruk pada penghuninya. Persyaratan hunian untuk layak huni adalah apabila memenuhi syarat keselamatan, kecukupan minimum luas bangunan dan layak untuk kesehatan para penghuninya.
Penyegelan dilakukan pada Selasa, (4/9) siang, oleh Suku Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan Jakarta Pusat.
Kos-kosan kapsul yang disegel di Jalan Rawa Selatan V, Johar Baru, Jakarta. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Imbas dari penyegelan itu, kini para penghuni satu per persatu mulai meninggalkan kos. Ada yang memilih untuk mencari kos lain, ada pula yang menumpang di tempat saudara. Seperti halnya Abdul Rahmat (24), seorang perantau asal Padang, Sumatra Barat yang sehari-hari bekerja sebagai security di mal. Rahmat mengaku berat meninggalkan kos tersebut. Namun karena sudah aturan, dia terpaksa pindah.
“Di sini murah Rp 400 ribu per bulan dan fasilitasnya juga lumayan bagus. Ada di sediakan wifi, AC, dan parkiran juga ada, tempat salat, dan lain-lain juga ada,” kata Rahmat kepada kumparan disela-sela persiapan kepindahannya.
Serupa dengan Rahmat, beberapa penghuni kos lainnya juga mengaku faktor ekonomi menjadi alasan mereka memilih kos kapsul. Dengan biaya Rp 300.000 sampai Rp 500.000 merek bisa tinggal di hunian sempit itu selama sebulan.
Bukan hanya di Johar Baru, kos berbentuk kapsul yang irit tempat itu juga ada di sejumlah wilayah di Jakarta. Dari sebuah situs online penyedia kos, kumparan menemukan salah satu kos berbentuk kapsul di sekitaran kampus UNJ, Rawamangun, Jakarta Timur.
Pemilik kos, Shantonio Siagian yang merupakan lulusan Teknik Sipil Universitas Indonesia itu mengaku terinspirasi membangun kos model kapsul sejak 2014 lalu. Kala itu dia tengah berselancar di dunia maya untuk mencari inspirasi bisnis kos yang telah lama ditekuninya. Dari penelusuran itu Shantonio menemukan hunian model kapsul yang sedang menjadi tren di Jepang.
“Nah di internet itu namanya yang paling pasaran itu kapsul hotel, dari situ saya adopsi,” ucap Shantonio.
Shantonio kemudian merealisasikan temuannya itu pada 2016. Tiga ruang kamar berukuran 3,5 x 3,5 meter disulap menjadi bilik berisi kapsul-kapsul. Total ada 26 kapsul yang masing-masingnya berukuran 2 x 1 meter. Di samping itu, sisa kamar lainnya masih dipertahankan bentuknya seperti semula.
Shantonio Siagian, pemilik kosan Kabin Kapsul di Rawamangun, Jakarta Timur. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Dari awal, pria 47 tahun itu tidak mematok harga yang mahal. Satu kapsul dibanderol dengan tarif Rp 700.000 per bulannya dan Rp 60.000 per harinya. Dia mengatakan tujuannya tidak muluk-muluk, yaitu bisa menawarkan sebuah lifestyle baru yang mampu meningkatkan produktivitas masyarakat metropolitan. Desain kos juga dipikirkan dengan seksama, berbeda dengan di Johar Baru, kos milik Shantonio ini lebih bersih dan rapi.
“Tujuannya adalah, mencoba menawarkan lifestyle baru,” katanya.
Desain kos yang belum cukup lazim di Indonesia itu ternyata cukup diminati. Kamar kapsul di tempat Shantonio dihuni oleh beragam orang dari berbagai latar belakang. Ada mahasiswa, ada pekerja, pencari kerja, dan bahkan dosen.
Salah satunya Jack Sumampouw yang sehari-harinya mengajar ekonomi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Rawamangun.
Jack sudah tinggal di kosan kapsul selama 1,5 tahun terakhir ini. Saat itu Jack yang merantau dari Manado belum memiliki pekerjaan. Dia harus mencari tempat tinggal di Jakarta yang murah tetapi ber-AC. Sejak dulu Jack memang tidak bisa tidur kalau tidak ada AC. Selain itu fasilitas wifi juga jadi pertimbangan karena pekerjaan Jack yang membutuhkan akses internet 24 jam. Oleh sebab itu, kos kapsul di Rawamangun ini menjadi pilihannya.
Soal sempitnya ruangan tak jadi masalah buat Jack. Justru desain ruangan kapsul menurut Jack malah menguntungkan.
"Karena sudah masuk kotak ya sudah bisa istirahat ya. Rasanya sudah tinggal tidur saja, selesai aja, jadi beban pekerjaan hari itu selesai hari itu," kata Jack.
Kos kapsul di Jakarta. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Fenomena kos kapsul di Jakarta ini menurut Dosen Arsitektur Universitas Indonesia (UI), Enira Arvanda tak lepas dari pengaruh konsep hunian minimalis di luar negeri. Bila dilihat perjalanannya, konsep hunian minimalis itu sudah dimulai pada tahun 1960-an.
"Jadinya itu mulai awalnya mungkin di Eropa ya. Terus orang mulai menganalogikan manusia itu dengan mesin. Jadi manusia itu tempat tinggalnya harus seperti mesin pabrik, efisien segala macam," kata Enira saat dihubungi kumparan, Kamis (5/9).
Perkembangan teknologi membuat masyarakat terobsesi akan efisiensi. Oleh sebab itu, segala sesuatu sebisa mungkin dibuat modular dan fleksibel.
"Misal Joe Colombo di Italia dia bikin total living unit, jadi sama dapur juga. Yang bener kecil gitu," Enira menyebutkan.
Pada perkembangan berikutnya, tepatnya tahun 1972 mulai berkembang apartemen berbentuk kapsul di Jepang. Bangunan tersebut kemudian dikenal dengan nama Nakagin Capsule Tower. Meski berbentuk kotak kecil, apartemen tersebut didesain sebagai living unit. Artinya, setiap penghuninya dapat beraktivitas lain selain tidur.
Menurut Enira, masyarakat negeri Sakura pada dasarnya memang tergila-gila dengan efisiensi dan minimalisme. Dengan demikian, wajar bila pada perkembangannya hunian kapsul menjamur di Jepang.
Ilustrasi aktivitas di kos-kosan kapsul. Foto: Getty Images
Kemudian, pada awal 2000-an hunian kapsul ini banyak yang berfungsi sebagai tempat transit. Utamanya di Tokyo yang menjadi denyut nadi Jepang. Di sana banyak datang orang dari berbagai wilayah untuk ragam urusan berbeda. Karena membutuhkan tempat tinggal sementara, maka hunian kapsul ini kemudian menjadi salah satu pilihan.
Di Indonesia tren hunian kapsul ini baru ramai belakang ini. Namun menurut Enira ada penerjemahan yang berbeda terkait fungsi dari hunian kapsul tersebut.
"Kalau di Indonesia kayaknya ini kan ngelihat peluang sama tren kan ya. Oh ini lagi ngetren di Jepang lagi banyak hotel. Tapi diterjemahinnya di Jakarta jadi tempat kos," Enira menguraikan.
Hidup di Hunian Mini Foto: Nunki Pangaribuan/kumparan
Penerjemahan yang berbeda itu justru menjadi masalah. Enira sepakat dengan anggapan Pemkot Jakarta Pusat yang menyebut kos kapsul di Johar Baru tidaklah manusiawi. Sebab, ditimbang dari syarat utama sebuah rumah tinggal, penghuninya harus sejahtera baik fisik maupun rohani. Sementara itu, Enira menilai dengan desain bangunan kapsul berukuran sempit, bila ditinggali dalam jangka waktu lama maka syarat tersebut akan sulit terpenuhi. Aspek keamanan, privasi, kebersihan, kesehatan, menjadi hal yang berpeluang menimbulkan masalah.
"Meskipun sebenarnya tempat tidurnya lumayan, pakai spring bed, tapi enggak ada udara, jendela, kalau buat aku ya, aku kan arsitek, itu dalam jangka waktu panjang akan ngaruh ke manusianya. Kesehatan, hubungan satu sama lain di dalam kost," kata Enira.
"Belum lagi misalnya, saking banyaknya orang, kita enggak tahu perilaku orang. Mungkin ada yang diam-diam ngerokok terus tahu-tahu kebakaran. Bahaya kebakaran cenderung tinggi di ruangan overcrowding," tambah Enira.
Suasana kos-kosan kapsul di Jalan Rawa Selatan V, Johar Baru, Jakarta. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Atas pertimbangan itu, Enira mendorong pemerintah, khususnya di Jakarta untuk lebih ketat dalam mengawasi perizinan kos berbentuk kapsul ini. Agar sesuai dengan standar yang berlaku dan aman bagi penghuninya.
Hal tersebut juga diamini oleh dosen psikologi sosial UI, Ratna Djuwita. Pemerintah dalam hal ini perlu mengkaji bagaimana dampak hunian kapsul terhadap masyarakat di luar negeri. Karena menurut Ratna, hunian berbentuk sempit ini berpeluang membuat penghuninya stres.
Selain itu, jika dibandingkan bangunan kapsul di Indonesia dan luar negeri, semisal Hong Kong, ada perbedaan yang mencolok. Pertama, dari segi estetika bangunan di luar negeri sangatlah rapi.
"Untuk charger dan sebagainya, itu semua sudah build in. Jadi enggak ada kemungkinan atau kecil kemungkinan ada konslet terus kena ke atas seprai seperti itu," sebut Ratna.
Sedangkan di Indonesia, kondisi kos kapsul yang sekarang menurut Ratna masih belum aman untuk penghuninya. Ratna mencontohkan stopkontak yang dipasang charger di samping tempat tidur cukuplah berbahaya. Karena, percikan api bisa saja muncul dari situ dan membakar seprai.
Meski rentan bahaya, kos kapsul yang tidak memenuhi standar itu tetap banyak diminati warga. Menurut Ratna hal itu selain berkaitan dengan faktor ekonomi juga terkait dengan kebutuhan sebagian besar masyarakat untuk mendapatkan penghargaan. Ratna mencontohkan, mulanya masyarakat akan memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makan, tidur, dan sebagainya. Setelah terpenuhi, barulah mereka mencari self esteem atau harga diri. Salah satunya adalah dengan tinggal di tempat yang sedang menjadi tren.
"Dihargai itu salah satu bentuknya adalah memilih, memilih kamar yang lebih ngetren dibanding yang sebenarnya saya bisa punya space yang lebih luas, tapi ini di daerah yang orang ngeliatnya kok enggak ngetren. Untuk orang-orang muda itu, itu sangat penting untuk citra diri gitu," Ratna menjelaskan kepada kumparan, Kamis (5/9).
Memang, dari beberapa penghuni kos kapsul alasan mereka tinggal di sana tak melulu karena alasan ekonomi. Faktor kenyamanan dan efisiensi juga turut mendorong sehingga kemudian turut melahirkan sebuah lifestyle baru yang disebut minimalis.
Meski dalam praktiknya sendiri, Ratna menyebut minimalis ala Indonesia dan ala luar negeri semisal Jepang tidaklah sama. “Sebetulnya enggak pure minimalis. Ada interaksi antara gaya Indonesia dan gaya minimalis yang dari luar. Akhirnya yang disebut minimalis di Indonesia itu ya merupakan sudah adaptasi," ujar Ratna.
Apalagi, lanjut Ratna, ditambah dengan kondisi perekonomian Indonesia yang terus berkembang hingga berdampak pada meningkatnya perilaku konsumerisme, dan jauh dari unsur minimalis.
"Tempat tinggal yang betul-betul minimalis biasanya enggak cocok. Enggak bisa lama. Yang betul-betul pure minimalis enggak cocok untuk kita," tutup Ratna.