Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pagi itu, Edo baru saja pulang kerja. Lelaki 29 tahun itu berniat untuk segera tidur di kamarnya yang berukuran 2 x 1 meter. “Hanya untuk tidur,” begitulah Edo mendeskripsikan kebutuhannya akan kamar kosan. Maka ruangan dengan pintu setinggi 50 sentimeter dan memuat satu kasur, satu bantal, dan beberapa pakaian yang ditumpuk di ujung saja terasa sudah cukup baginya.
Tapi niatan Edo untuk melepas lelah batal ketika ia mendengar derap langkah ramai terdengar menapaki tangga besi di dekat kamarnya. Gaduh suara sol sepatu yang keras berdecit dan beradu dengan puluhan anak tangga membuatnya bertanya-tanya. Ada apa? Langkah itu terdengar terburu dan kaku.
“Jam 9 itu tiba-tiba kok ada ribut gitu. Eh ternyata wartawan sama perangkat (aparat Satpol PP) datang ke kosan,” ucap Edo saat bercerita kepada kumparan, di Johar Baru, Jakarta Pusat, pada Rabu lalu (4/9).
Ia kaget atas inspeksi mendadak yang dilakukan oleh Wakil Wali Kota Jakarta Pusat Irwandi, Lurah Kampung Rawa Suherman, beserta Satpol PP setempat ke kosannya pada Senin, 2 September. Mereka menyusuri lorong-lorong selebar satu meter yang memisahkan deret puluhan kotak tidur para penghuni yang ada di sisi kanan dan kiri
“Saya tanya itu, ‘Ada apa ini?’. Katanya mengenai izin, tempat tinggal yang nggak layak, nggak manusiawi,” kata Edo mengulang jawaban petugas.
Sidak itu digelar hanya selang berapa hari setelah viral berita foto tentang kosan berukuran 2 x 1 meter yang disebut sleeping box atau kos kapsul . Walikota Jakarta Pusat Bayu Meghantara pun menanyakan kondisi kosan itu kepada wakilnya.
“Beliau (Irwandi) lapor ke saya. ‘Pak, itu kayaknya enggak layak lho, Pak. Dengan ruangan seperti itu, dan jumlah kamar seperti itu, saya aja masuk pendek betul, Pak. Harus nunduk dan sebagainya’,” tutur Bayu ketika ditemui kumparan di kantornya.
Mendengar laporan tersebut, Bayu meminta untuk menyegel sementara kos kapsul yang berada di Jl. Rawa Selatan V, Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta Pusat. “Harus selesaikan saja perizinannya dulu… Kalau sudah terpenuhi administratifnya, terpenuhi kaidah-kaidahnya (standar kelayakan),” kata Bayu.
Bagi para penghuni kos sleeping box tersebut, persoalan layak dan tidak layak patut diperdebatkan. Edo, misalnya, berpendapat kosan itu membuatnya betah apalagi dengan harga Rp 300 ribu per bulan.
“Fasilitas sih, enaknya ada AC. Biar AC untuk ukuran 2PK untuk satu lantai itu, masih kerasa dingin. Ada fasilitas WiFi. WiFi-nya juga enak, nggak lelet,” kata Edo.
Ia menemukan kos kapsul itu setelah meng-googling kata kunci “kos murah Jakarta”. Pilihan pertama yang muncul di layar itulah yang kemudian ia coba datangi.
“Untuk budget segitu, ya lumayan lah pengiritan juga. Intinya kan yang penting bisa tidur, pulang kerja, nggak ngapa-ngapain, tidur, berangkat lagi,” imbuh pria yang berprofesi sebagai marketing officer salah satu perusahaan swasta itu.
Hal serupa disampaikan oleh Abdul Rahmat (24), penghuni lain kos kapsul. “Di sini murah Rp 400 ribu per bulan (untuk ukuran 2 x 1,25 meter) dan fasilitasnya juga lumayan bagus. Ada disediakan WiFi, AC, dan parkiran juga ada. Juga tempat salat dan lain-lain.”
Rahmat pindah ke kos kapsul setelah mendapatkan kerja di salah satu mall di Jakarta. Kakaknya yang telah lebih dulu merantau di ibu kota mengenalkannya kepada kos kapsul. Alasannya, apalagi kalau bukan karena harga murah.
“Kalau buat segi kenyamanan, ya kita juga memanfaatkan kosan sesuai dengan keinginan kita. Saya cuma butuh waktu di sana (kos) untuk istirahat, selain Sabtu-Minggu. Kita ada bergaul sama temen-temen kos. Tapi itu gak di kamar, ada ruangan khusus tempat nongkrong, di sana kita bisa sharing,” paparnya yang baru menghuni kos kapsul selama sebulan.
Harga murah tapi sudah bisa mendapatkan fasilitas WiFi dan pendingin ruangan, menjadi salah satu daya tarik kos kapsul . Sementara fasilitas lain yang disediakan adalah tiga buah kamar mandi per lantai, ruang bersama dengan fasilitas televisi di lantai bawah, tempat salat, dan parkiran. Itu semua, bagi mereka, telah cukup menjawab kebutuhan hunian murah bagi perantau di ibu kota.
Selain cukup tempat untuk tidur, rasa kekeluargaan di antara para penghuni jadi salah satu alasan bikin mereka betah. “Saya sih baru sebulan lebih, ya cuma sisi kekeluargaan itu luar biasa menurut saya. Di sini gak ada seperti kos-kosan lain, kalau beda kamar kos ya udah kita gak kenal gitu,” kata Rahmat.
Pernyataan senada diucapkan Panca (18) dan Fani (17), penghuni kos kapsul di lantai 3 yang tinggal bersama di kamar berukuran 2 x 1,25 x 1 meter. Mereka merasa sudah kepalang nyaman tinggal di sana.
Keduanya bercerita bahwa sebelumnya mereka berdua telah sering berpindah kosan, mulai dari kos eksekutif hingga apartemen. “Jadi kami sebelumya udah pernah di sini, terus nyoba-nyoba tempat lain. Tapi akhirnya kita balik lagi ke sini. Soalnya emang di sini orang-orangnya pada enak buat bergaul. Gak sekedar cuma say hello, lalu bye aja gitu. Kekeluargaannya ada,” ungkap Fani.
Terlebih kebanyakan dari mereka adalah para pekerja yang berasal dari luar Jakarta. Sama-sama mengadu nasib di kejamnya ibu kota membuat mereka bisa lebih leluasa saling bercerita. Hal itu membuat Edo merasa punya teman bahkan saudara senasib sepenangggungan setiap kali berkumpul di kosan.
“Kita sama-sama aja. Di situ temen-temennya nggak saling apalah gitu. Meskipun tempatnya kecil, saya ya ngerasain punya teman. Di sini seperti keluarga sendiri, ketawa bareng, kita ngobrol pun udah kayak orang deket, gimana sih blak-blakan ngobrol juga.”
Dengan harga kosan yang murah itu, Edo juga bisa menyisihkan uang lebih banyak untuk ditabung. “Kalau dihitung-hitung dibanding dulu, dari 30 persen jadi 40 persen (penghasilan) nabung. Capek hidup boros di Jakarta.”
Demi kenyamanan tempat tinggal yang berukuran mini, baik Edo dan Rahmat mengatur sedemikian rupa barang-barang mereka. Tak ada barang elektronik yang mereka bawa, pakaian pun secukupnya saja mereka simpan dalam kamar. Selebihnya hanya alat makan dan berkas-berkas penting seperti ijazah dan kartu keluarga.
Banyak orang menyebutnya dengan gaya hidup minimalis, di mana segala sesuatu cukup sesuai fungsinya. Tak berlebihan. Tapi kehidupan minimal yang mereka jalani, bukanlah semata gaya hidup melainkan kebutuhan atau bahkan tuntutan yang harus dijalani di tengah kerasnya Jakarta.
Maka ketika pilihan hidup yang mereka jalani terusik, rasa kesal pun menghampiri. “Ada salah satu media yang sempat masuk, dibilang gak bisa nafas di sini. Kalau memang gak bisa nafas, gak ada lagi yang ngekos di sini,” ucap Rahmat kesal.
“Saya sih mewakili teman-teman itu merasa sensitif dengan membolak-balikan fakta yang ada, dibilang gak manusiawi lah, pengap lah, gak bisa nafas lah. Sok boleh dicoba gimana kehidupan di sini. Bagi kita saat ini nyaman-nyaman aja, gak ada yang meninggal, gak ada yang sakit.”
Edo pun berkata serupa. “Di sini manusiawi kok kosannya. Masih manusiawi. Banyak kok yang tinggal di pinggir jalan, di kolong jembatan, yang enggak manusiawi, yang harus diperhatiin.”
Setelah penyegelan tersebut, kos sleeping box itu harus dikosongkan. Maka sejak Rabu malam (4/9) para penghuni berbondong-bondong terpaksa meninggalkan kosan dan mencari hunian baru.
"Ya mau gimana lagi, semalem tuh harus segera pindah. Coba jam 10 malem mau nyari kosan dimana. Ya sedapatnya aja, nyari titik aman dululah," ujar Edo. Mau tidak mau, Edo harus merogoh kocek dalam-dalam dan mengambil uang tabungannya untuk membayar sewa kosan yang mencapai Rp 2,5 juta di daerah Cempaka Putih.
Sedangkan Abdul Rahmat untuk sementara waktu pindah ke kos kakaknya yang berlokasi di area Tebet. "Karena semalam itu mendesak sekali, akhirnya untuk sementara ke tempat kosan Abang dulu di Tebet. Sewanya Rp 800 ribu, tapi karena berdua jadi Rp 1 juta," ucapnya.
Penjaga kosan sleeping box yang akrab disebut Shinchan, mengatakan bahwa ia dan pemilik kos tengah berusaha mengurus segala perizinan yang diperlukan. Meski sebagian besar penghuni sudah pindah mencari hunian sementara, masih ada beberapa orang yang tinggal di kos kapsul .
“Ngusir orang tuh berat. Kalau orangnya mampu, ketika aku bilang ini mau ditutup, mereka yang punya duit ya enak bisa langsung pindah. Tapi kalau orang enggak punya uang, lah kita mau bilang gimana, dia makan juga sama susahnya masa aku harus bilang kamu pergi ya, sedangkan dia sudah bayar,” ucap Shinchan.
Menghadapi kondisi seperti ini, Edo berharap segala persoalan itu bisa cepat diselesaikan. “Anak-anak ini di sini ingin meniti karier di Jakarta. Tapi kan enggak langsung sukses… Di sini mereka nyaman, nggak usah ngeluarin uang sampai berjuta-juta. Di sini yang jadi korbannya itu kita semua, penghuni.”