LIPSUS Mengobati Patah Hati, Ilustrasi mengurung

Psikiater: Penyakit Fisik dan Psikis Akibat Patah Hati Tak Terpisahkan

25 Oktober 2019 13:56 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi mengurung. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mengurung. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
Menyembuhkan luka di hati karena putus hubungan dengan kekasih bukan perkara mudah bagi Alina. Meski keduanya putus dengan cara yang baik sembilan bulan lalu, tapi luka di hati Alina hingga kini masih terasa.
Banyak rentetan peristiwa yang membuat kondisi mental dan fisik perempuan berusia 25 tahun itu memburuk pascaputus dari sang pacar. Misalnya saja saat Alina sedang berkendara dengan mobilnya di sekitar kawasan Antasari, Jakarta Selatan. Dia mendadak merasa mual. Tanpa pikir panjang, dia memberhentikan mobilnya di pinggir jalan dan langsung memuntahkan isi perutnya.
Hari itu Alina memang baru menstruasi hari pertama. Tapi, akunya, "Biasanya gue kalau hari pertama menstruasi selalu sakit. Tapi nggak pernah separah ini sampai muntah berkali-kali."
Patah hati yang dilalui setiap orang unik dan berbeda-beda. Ada yang bisa move on dalam waktu seminggu, ada yang tiga bulan, bahkan butuh waktu hingga bertahun-tahun. Bukan cuma perasaan, ada juga yang berdampak hingga ke fisik.
Menurut psikiater dr. Lahargo Kembaren, SpKJ, orang yang hatinya patah akan mengalami stres sehingga produksi hormon kortisolnya meningkat.
Lulusan Spesialis Kedokteran Jiwa Universitas Indonesia itu mengatakan, apabila hormon kortisol atau dikenal juga sebagai hormon stres itu meningkat, maka akan berpengaruh pada fisik maupun emosional seseorang. Peningkatan hormon kortisol dalam waktu lama bisa mengganggu beberapa fungsi fisiologis tubuh, seperti meningkatkan gula darah, tekanan pembuluh darah, mempengaruhi kognitif hingga saluran sistem pencernaan.
Sehingga, lanjut dr Argo, wajar jika ada dampak pada fisik seseorang yang mengalami patah hati. Dalam kasus Alina, dampaknya pada saluran pencernaan.
“Pencernaan berarti yang terpengaruh. Dan itu bukan hanya dipengaruhi oleh itu (stres), tapi juga oleh kerentanan dari organ tubuhnya,” jelas dr. Argo saat berbincang dengan kumparan di ruang kerjanya di RS Marzoeki Mahdi, Bogor, Rabu (23/10).
Dokter Argo juga menjelaskan penyebab patah hati dilihat dari sisi medis. Faktor apa saja yang mempengaruhinya, dan adakah obat mujarab untuk mengobati hati yang telah terluka? Berikut penjelasan lengkap dr. Argo lewat sesi tanya-jawab dengan kumparan:
dr. Lahargo Kembaren, SpKJ Foto: Prabarini Kartika/kumparan
Kenapa manusia bisa patah hati?
Jadi, kalau patah hati adalah suatu peristiwa yang tidak diharapkan. Dia punya harapan mungkin untuk melanjutkan hubungan tersebut dan berharap keadaan baik-baik saja, tapi yang terjadi adalah hal yang tidak diharapkan, putus atau ada relasi yang menjadi tidak baik. Itu adalah peristiwa yang tidak diharapkan.
Secara psikologis itu kita akan memberikan respons terhadap hal itu. Ada fase-fasenya orang akan menunjukan respons psikologis. Pertama adalah apa yang kita sebut shock. Jadi, kaget dengan peristiwa yang terjadi tersebut.
Kedua adalah fase denial, menolak, bohongan ini, nggak seperti ini seharusnya.
Ketiga, dia akan masuk kepada fase anger, marah. Bisa marah pada pasangan tersebut, bisa marah pada situasi keadaan, bisa marah kepada orang ketiga, bisa marah kepada diri sendiri, atau bisa marah sampai kepada Tuhan.
Baru dia akan masuk ke fase psikologis berikutnya, namanya fase bargaining, tawar menawar. Di situ dia mulai mengingat masa lalu, “Seandainya dulu aku seperti ini, duh seandainya hal begitu tidak aku lakukan”. Seolah-olah dia bisa mengubah masa lalu, padahal kan tidak mungkin lagi. Tapi itu fase psikologis yang terjadi.
Yang paling berat adalah ketika dia masuk kemudian ke fase namanya fase depresi. Pada fase ini, di situ suasana alam perasaan sudah menjadi dalam sekali. Ada rasa sedih, tidak bersemangat, kehilangan fokus, konsentrasi memori, kemudian seperti tidak punya harapan atau masa depan, gangguan pada pola tidur dan pola makan, dan yang paling parah bisa terjadi pikiran-pikiran tentang kematian.
(Pikiran tentang kematian) Itu bisa berupa ide, “Kayaknya mati lebih enak ya, kayaknya aku ingin pergi dari ini semua, ingin hilang”. Atau sudah ada tindakan yang spesifik, ada yang paling sering, cutting, self harm, melukai diri sendiri karena seolah-olah dia bisa memindahkan rasa sakit hatinya itu kepada fisiknya. Atau ada yang sudah memang berpikir kematian yang lebih serius, loncat dari jembatan, menabrakkan diri di kereta, gantung diri, minum pil obat dengan jumlah banyak.
Sebenarnya fase yang paling baik, yang paling sehat, dan dewasa adalah fase yang terakhir, yakni fase acceptance. Dia bisa menerima kehidupannya, bisa menerima bahwa hidup itu ada warna-warninya, tidak selalu kemenangan, kesuksesan, kebahagiaan, kegembiraan, tapi juga ada kesedihan, kegagalan, kekecewaan. Itu bagian dari hidup yang semua orang juga mengalaminya.
Ada beberapa orang yang bisa melewati fase ini dengan baik kalau dia punya kedewasaan secara psikologis. Tapi untuk mereka yang kapasitas mentalnya tidak cukup baik, dia bisa terfiksasi di salah satu fase tersebut.
Misalnya, dia denial terus, bargaining terus, depresi yang terlalu dalam, anger yang terus menerus muncul. Itu yang bisa kita lihat dari respons psikologis yang terjadi pada orang yang mengalami peristiwa tidak diharapkan dan tidak menyenangkan. Salah satunya itu patah hati.
Ilustrasi putus cinta. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
Pada saat patah hati reaksi kimia apa yang terjadi pada tubuh?
Pada saat kita patah hati, ketika itu hal yang tidak nyaman, maka tubuh itu di bagian otaknya akan mengeluarkan zat kortisol. Kortisol adalah hormon stres. Hormon ini akan mempengaruhi berbagai organ tubuh.
Pertama yang sering dipengaruhi adalah tekanan darah jadi meningkat. Kalau tekanan darah meningkat, dia otomatis ke seluruh organ tubuh jadi nggak enak, pegal, sakit kepala, dan nggak nyaman.
Kemudian mempengaruhi denyut jantung berdebar lebih kencang, nafas jadi lebih pendek, sensasi pencernaan yang nggak enak, mual mau muntah, sering buang air kecil, kulit jadi merah-merah, gatal, ketombean di kepala. Itu semua terjadi karena ada hormon stres yang dikeluarkan yang kita sebut namanya kortisol.
Semakin tinggi stresnya atau kapasitas mental yang kurang baik maka efek atau kondisi fisik yang terjadi itu bisa makin besar. Nah, kalau diperiksa secara laboratorium, rontgen, tidak ada problem apa-apa di organ tubuhnya. Sehingga, biasa kita sebut psikosomatis.
Psikosomatis itu gangguan yang terlihat di fisik, tapi problem utamanya di psikis. Nah, tadi karena ada hormon stres yang tidak tertangani dengan baik. Sehingga, dia perlu bantuan. Biasanya dia datang ke penyakit dalam tapi kok belum membaik. Ternyata problemnya bukan di situ. Biasanya dokter penyakit dalam akan merujuk ke psikiater.
Setelah kita tangani dengan pengobatan, dengan psikoterapi, mengubah mindset biar bisa lebih menerima kehidupannya. Ternyata penyakit itu makin lama makin turun dan hilang karena problemnya di psikis.
Hormon kortisol itu bisa menyerang bagian otak yang berbeda-beda, ya?
Tergantung di bagian otak yang mana. Dia juga mempengaruhi ke organ-organ tubuh yang lain. Makanya, orang kalau stres, efek di fisiknya bisa gatal-gatal, merah-merah di kulit, bisa nyeri ulu hati, perut, napasnya sesak, jantungnya berdebar lebih kencang, kesemutan, bisa di mana-mana.
Tergantungnya itu tergantung apa?
Area di otaknya. Kan otak ini mengatur semua organ tubuh kita. Ada otak yang mengatur pendengaran, penglihatan, perasaan. Semua (diatur) di dalam otak. Jadi, area yang terpengaruhi oleh kortisol yang meningkat tadi, maka efeknya adalah di organ tubuh yang dipersarafi oleh otak itu.
Berarti nggak tidak bisa diprediksi, ya?
Nggak bisa diprediksi yang mana yang bakal terserang. Bisa yang mana saja.
Ilustrasi putus cinta. Foto: Shutter Stock
Kalau soal broken heart syndrome itu ada kaitannya nggak sih dengan patah hati?
Di ilmu psikiatri sih tidak ada istilah heartbreak syndrome, tapi gejala-gejala yang tadi itu sangat khas untuk gangguan yang kita sebut cemas, anxiety. Atau kalau misalnya kayak kita kena serangan jantung, kita kayak mau mati rasanya, itu kita sebut panic attack.
Itu memang bisa terjadi karena ada peristiwa traumatis yang dulu. Nah, sekarang tanpa ada sebab apa-apa, kok kerasa ya ada sesuatu. Itu kita kena tuh panic attack. Itu bagian dari gangguan cemas.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan jantung ketika kita patah hati sehingga secara harfiah dikatakan patah hati?
Hati itu kan sebenarnya bahasa medisnya liver tapi diasosiasikan jantung. Sebenarnya itu bukan menggambarkan organnya. Tapi lebih kalau menurut saya sih lebih ke psikologis. Hatinya patah tuh perasaannya, berarti yang terganggu. Ada gangguan di dalam perasaannya dia.
Kalau misalnya ke organ tubuh, jantungnya terganggu, iramanya terganggu, denyut jantungnya terganggu, aliran darahnya terganggu, nafasnya terganggu. Itu pengaruh-pengaruhnya bisa sampai ke sana karena patah hati tadi.
Saat kita patah hati apakah kondisi syaraf otak itu sama dengan ketika kita sakit fisik lainnya?
Berbeda. Karena di dalam otak itu ada sirkuit-sirkuit yang mengatur. Patah hati kan lebih kepada kondisi psiklogis. Tapi, psikologis pun dibilang bukan sesuatu yang mengawang-awang. Kalau sekarang kita ilmunya neuropsikiatri, jadi memang ada bagian otaknya yang terganggu.
Misalnya, pas kita patah hati itu kortisol yang berlebihan mempengaruhinya di area emosi. Maka, secara emosional kita lebih terasanya. Ada lagi kalau terganggunya di bagian otak depan, namanya prefrontal cortex, itu kemampuan kita berpikir yang terganggu, bagaimana kita memutuskan sesuatu hal, mencari solusi, kemudian keterampilan untuk bekerja multitasking, fokus konsentrasi, memori. Itu kan merupakan aktivitas sehari-hari.
Jadinya ternyata efeknya bisa sampai ke sana dan itu semua melibatkan fungsi otak.
Ada nggak penyakit fisik khusus terkait patah hati?
Penyakit fisik dan psikologis itu berhubungan. Paling sering orang patah hati itu depresi. Depresi ini punya berbagai gejala-gejala. Bisa gejala pencernaan, gejala pada pernafasan, pola tidurnya terganggu.
Kita sudah tidak memisahkan lagi ini penyakit fisik, ini penyakit psikis karena (penyakitnya) berhubungan. Orang punya penyakit fisik, bisa (kena) ke psikisnya. Orang punya penyakit psikis, fisiknya bisa kena juga.
Ilustrasi putus cinta. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
Adakah cara pasti untuk menyembuhkan patah hati?
Kalau misalnya patah hati itu, langkah pertamanya kita ketahui, bahwa ini yang kita sebut kondisi stres. Kita pahami. Kita awareness-nya kita munculkan dulu. 'Oke, saya kayaknya lagi kurang nyaman nih, nggak enak, saya lagi stres, karena peristiwa ini ini ini.'
Nah, di situ harus diajarkan manajemen stres. Manajemen stres itu ada 4A.
A yang pertama adalah avoid—hindari dulu. Kalau ternyata dengan stalking membuat kita jadi lebih nggak nyaman, ya hindarilah buka-buka media sosial. Diet media sosial itu akan membantu kita jadi nggak terlalu terbebani secara fisik dan psikologis.
A yang kedua alter—meringankan beban. Biasanya kita masih kepikiran tentang peristiwa yang dulu. Kita boleh meringankannya dengan cerita, curhat dengan teman dekat yang bisa dipercaya, atau datang ke profesional untuk bisa dapat bantuan.
A yang ketiga adalah adaptasi. “Oke, ini hal yang nggak enak nih tapi hidup gue harus masih berjalan nih. Gue masih bisa kerja, ya tetap kerja.” Tapi sambil denger musik mungkin, makan, hang out sama temen. Itu namanya beradaptasi.
A yang keempat, accept—menerima. “Oke lah mungkin saya gagal dalam relasi ini.” Jadi, kita bisa menerima peristiwa tersebut.
Setelah itu?
Kalau itu sudah kita jalankan, atur juga pola hidup sehat. Kalau orang lagi stres, lagi patah hati, dia akan cenderung pola makannya tidak sehat. Lebih banyak makan karbo dan manis-manis itu justru akan lebih memperberat kondisi stresnya, kondisi patah hatinya.
Jadi, harus diatur (makan dengan) penyedap. Perbanyak sayur, buah, ikan-ikanan, minum susu, keju, pisang. Itu akan meningkatkan namanya zat tryptophan. Tryptophan itu akan membantu pemulihan kondisi di otaknya. Hormon yang tadi terganggu tadi bisa lebih baik keadaannya.
Kemudian exercise. Olahraga 30 menit sehari. Tubuh kita akan mengeluarkan hormon endorfin. Endorfin itu akan menekan kortisol stres tadi. Kortisol hilang, maka sensasi-sensasi di tubuh yang nggak nyaman tadi pun akan berangsur angsur hilang. Boleh jalan, berenang, aerobik, senam yang sifatnya cardio.
Baru mengubah mindset. Mindset yang perlu diubah itu overthinking, irrational thinking. Jadi ada konsep berpikir yang salah, sehingga menyebabkan kondisi psikologis terganggu.
Mencari Obat Patah Hati Foto: Nadia Wijaya/kumparan
Kapan kita tahu harus merujuk ke tenaga profesional ketika sedang patah hati?
Jadi, datang ke psikiater atau profesional kesehatan jiwa yang lain adalah ketika kita terjadi perubahan pada pikiran, perasaan, dan perilaku kita, dan itu sudah menimbulkan penderitaan, serta mengganggu fungsi dan produktivitas sehari-hari.
Itu merupakan ciri-cirinya bahwa kita harus minta pertolongan, datang mencari bantuan untuk kondisi psikologis yang seperti itu. Karena, kalau stres yang berkepanjangan seperti tadi, itu dampak ke penyakit fisik juga ada.
Lebih baik ke psikolog terlebih dulu atau langsung ke psikiater?
Mau ke mana saja dulu boleh. Artinya, ketika datang ke profesional dia akan menangani sesuai kompetensinya. Kalau mau langsung ke psikiater boleh, dia akan menangani sesuai kompetensinya. Psikolog juga begitu.
Dua-dua nya expert di bidang kesehatan jiwa. Dan kalau perbedaannya adalah kalau psikolog dia ilmunya sosial lebih banyak psikoterapi. Kalau psikiater dia bisa memberikan pengobatan yang akan bisa membantu pemulihan.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten