Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Dua Pria Duduk di Pojok Kafe yang Merindukan Dirinya
18 Agustus 2023 9:30 WIB
Tulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Suatu malam di sebuah kafe kecil samping kampus Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung daerah Neglasari, duduk saling berhadapan dua pria berusia 30-an tahun.
ADVERTISEMENT
Ketika itu, lalu lalang kendaraan memenuhi jalanan sepanjang wilayah Cibeunying Kaler karena bertepatan dengan jam pulang kerja. Kafe tempat mereka duduk tepat berada di pinggir jalan sehingga mereka bisa memandang ratusan atau bahkan ribuan kendaraan yang memadati jalan raya.
Mereka tampak asyik mengobrol sambil menikmati kopi dingin ala anak remaja. Mereka adalah dua pria yang sudah saling mengenal 17 tahun yang lalu di sebuah kampus negeri terbesar di Indonesia Timur. Mimik muka mereka sudah tidak seperti saat masih kuliah yang selalu ceria.
Ketika masih kuliah, mereka merasa bahwa beban hidup tidak ada yang berat. Bahkan, bukan menjadi persoalan besar ketika kiriman orang tua belum datang.
Mereka masih bisa nongkrong di sekretariat himpunan jurusan sambil berharap ada kawan lain yang datang membawa gorengan sebagai pengganjal perut. Atau, pilihan terakhir menuju warung mace di bawah pohon mangga untuk menambah catatan utang yang belum dilunasi bulan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Raut wajah mereka dipenuhi dengan guratan masalah hidup yang nampaknya serius. Mereka menyadari bahwa hidup sedang berjalan seperti apa yang dulu mereka anggap hanya teori belaka.
Konsep yang dulu sering mereka diskusikan, ternyata menemukan realitasnya saat ini ketika mereka melangkah jauh ke tanah rantau dan hidup dalam kerumunan massa. Berangkat pagi mengejar finger print dan pulang dengan harapan anak-anak belum tidur pulas.
Mulailah mereka bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing yang sedang dijalani. Tentang perasaan yang mereka alami dalam dunia pekerjaan. Bagaimana mereka sudah tidak sadar dengan apa yang mereka kerjakan karena merupakan rutinitas harian dan kewajiban yang harus diselesaikan jika ingin mendapatkan kompensasi berupa gaji di akhir bulan.
Sekadar merelaksasi otak yang sudah penat, mereka memilih untuk mengingat-ingat masa kuliah yang menyenangkan. Masa ketika mereka punya banyak cara untuk mengerjakan sesuatu tanpa kalkulasi materi.
ADVERTISEMENT
Mereka berdaulat atas kerja-kerja yang mereka ingin lakukan termasuk membuat berbagai kegiatan. Benar-benar tidak ada keuntungan finansial tetapi jiwa mereka bebas mengartikulasikan nilai-nilai kemanusiaan yang mereka pilih.
Sialnya, mereka kemudian membandingkan momen-momen saat itu dengan apa yang mereka sedang jalani sekarang. Mereka tidak harus menghemat dalam hal makanan, atau mereka bisa dengan mudah membeli sepatu mahal di awal bulan tanpa harus berhitung. Sepatu yang hanya menjadi angan-angan ketika dulu mereka masih kuliah.
Apakah mereka menikmati?
Ternyata kemudahan finansial yang mereka dapatkan saat ini dengan kondisi pekerjaan yang dijalani ternyata tidak mendatangkan kebahagiaan sebagaimana yang mereka rasakan dulu. Mereka masih hidup tetapi tidak sadar. Mereka seperti terasing dari hidup mereka sendiri dan tidak merasakan apa yang sedang dijalani.
ADVERTISEMENT
Kondisi Keterasingan
Akhirnya mereka sepakat bahwa ternyata konsep tentang alienasi yang mereka sempat pelajari ternyata bukan teori langitan. Teori yang dulu mereka anggap hanya teoritik semata dan tidak punya realitas sama sekali, ternyata mereka alami sendiri saat ini. Hidup seperti terasing dari diri sendiri dan tercerabut dari nilai-nilai kemanusiaan.
Jika dulu saat mahasiswa, mereka bisa memilih apa yang akan mereka kerjakan, memilih istirahat saat penat, tidur ketika sudah mengantuk, diskusi sampai subuh ketika ada hal yang mereka anggap belum tuntas di kepala. Bersenang-senang dengan kawan-kawan sambil mendaki gunung Ramma. Tetapi saat ini tidak. Sesekali melirik cewek dari jurusan lain tetapi tidak jua berani mendekati. Mereka sama sekali tidak bisa memilih pilihan-pilihan manusiawi tersebut.
ADVERTISEMENT
Mereka tidak bisa istirahat meskipun capek ketika masih ada tugas tambahan dari pimpinan. Mereka tidak boleh tidur meskipun sudah mengantuk ketika ada bahan presentasi bos yang belum kelar.
Mereka tidak kuasa diskusi sampai subuh ketika menyadari bahwa pagi-pagi, harus berangkat kantor untuk berkejaran dengan waktu agar tidak terlambat jika tidak mau gaji dipotong di akhir bulan. Mereka tidak punya waktu luang untuk sekadar mendaki gunung. Semua sirna disapu gelombang absurditas kehidupan.
Mereka, dua pria itu. Hidup dalam realitas yang dulu mereka diskusikan. Mereka sama sekali tidak membayangkan bahwa apa yang dulu hanya berupa teori yang berakhir di forum diskusi, ternyata menjadi realitas hidup bagi mereka, ironi sekaligus menyedihkan.
Kondisi ketika kita terpisah dari pekerjaan yang kita lakukan, terasing dari aktivitas kehidupan yang dijalani, termasuk jika tidak mampu menemukan jatidiri. Kondisi ketika seseorang merasa hidupnya hampa, tidak berarti dan gagal dalam mewujudkan dirinya sebagai manusia. Atau dengan bahasa yang lebih sederhana lagi bahwa ketika seseorang tidak menikmati pekerjaannya secara sadar.
ADVERTISEMENT
Dulu mereka punya begitu banyak kawan yang mudah ditemui, tetapi sekarang sudah hidup dalam kesunyian masing-masing. Dulu mereka sering menggunakan perkataan Patrick bahwa “teman adalah kekuatan,” tetapi semua seakan sudah berubah. Mereka memilih mengasingkan diri dan tenggelam dalam aktivitas yang tak berujung.
Kondisi terasing atau alienasi sangat populer bagi mahasiswa sosial politik karena merupakan diskursus yang hampir pasti didiskusikan di kampus. Konsep yang dipopulerkan oleh Marx yang digunakan untuk mendeteksi keadaan buruh dalam sistem ekonomi kapitalisme.
Sebenarnya penjelasannya cukup rumit. Tetapi jika digunakan secara sederhana, maka kondisi yang dialami oleh kedua pria yang sedang menikmati kopi dingin, bisa dikategorikan kondisi teralienasi.
Sementara, Haidar Bagir menjelaskan dalam bahasa yang lain bahwa beliau menyebut sebagai krisis eksistensial di mana manusia mengalami kehampaan spiritual, krisis makna, dan legitimasi hidup serta kehilangan visi dan mengalami keterasingan terhadap diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Mungkin perbedaan antara Marx dengan Haidar Bagir terletak pada porsi spiritual. Marx tidak memasukkan spiritual dalam melihat kondisi alienasi yang dialami oleh manusia, sementara Haidar Bagir menganggap bahwa manusia berada dalam kondisi teralienasi ketika mereka merasa hampa atas kehidupan spiritualnya.
Stay Sane in A Crazy World
Akhirnya, sebelum mereka berpisah dan kembali ke kondisi keterasingan masing-masing yang harus tetap mereka jalani sebagai bentuk tanggung jawab terhadap anak istri, mereka sepakat untuk sedikit meluangkan waktu membuat sesuatu yang dulu pernah mereka kerjakan bersama-sama.
Jadi, kedua pria malang tersebut akan mengerjakan sebuah riset yang mungkin bagi orang lain terlihat konyol karena harus meluangkan banyak energi termasuk menyisakan sedikit finansial, alih-alih mendatangkan keuntungan materi.
ADVERTISEMENT
Tidak, itu bukan sebuah hal konyol tetapi usaha untuk kembali menemukan diri mereka yang sudah begitu lama hilang. Mereka akan meluangkan waktu bergaul dengan salah satu komunitas UMKM yang sedang berjuang bangkit kembali setelah diterjang badai Covid-19. Tentu mereka tidak akan membantu secara materi tetapi pada porsi yang lain yaitu dalam bentuk riset kecil-kecilan.
Hasilnya apa, nanti saja, yang penting prosesnya dijalani. Seperti itulah dua pria itu menjalani hidupnya dulu waktu mahasiswa. Tidak terbebani dengan hasil tetapi fokus pada proses yang dilalui.
Keputusan ini sebagai salah satu usaha untuk mewujudkan eksistensi sebagai seorang manusia yang masih memilih pilihan sadar tanpa didikte oleh variabel-variabel kehidupan yang materialistik.
Riset yang akan mereka lakukan ini kemungkinan menghabiskan dana, tetapi keduanya percaya bahwa hasilnya akan memberikan kepuasan batin sebagai sebuah wujud dari pilihan sebagai manusia berdaulat. Mereka juga sudah menyadari bahwa kemungkinan kecil akan ada kompensasi dalam bentuk keuntungan materi.
ADVERTISEMENT
Signifikansi Ilmu Sosial
Teori sosial kerap kali dianggap sekadar teoritik belaka yang tidak akan pernah menemukan realitasnya. Padahal para ilmuwan di bidang ilmu sosial menghabiskan energi dan waktu yang tidak sedikit untuk meneliti kondisi sosial masyarakat yang akan berdampak secara sosial maupun individu.
Adapun secara sosial yaitu bagaimana membentuk kohesi sosial demi kehidupan masyarakat yang lebih baik. Sementara secara individu yaitu bagaimana manusia tetap sadar dan berdaulat terhadap diri dan hidupnya.
Apa yang kita saksikan sekarang seperti perkembangan teknologi termasuk pesatnya akselerasi yang terjadi pada artificial intelligence (AI), semakin membuat ilmu sosial tidak mendapat tempat dalam ruang kehidupan generasi muda. Bidang digital menjadi hal yang sangat digandrungi oleh generasi muda.
ADVERTISEMENT
Ilmu sosial bahkan dianggap sebagai ilmu basi dan tidak aplikatif serta tidak memiliki peluang karier yang cerah. Ilmu sosial dianggap hanya sekadar ilmu basa basi yang semua orang bisa membuat teori yang berkaitan dengan masyarakat.
Minimnya ilmu pengetahuan di bidang sosial dan bidang ilmu saintek yang terlalu diglorifikasi, membuat mereka gagap ketika menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Generasi muda sulit mengidentifikasi kondisi yang mereka hadapi ketika sudah bekerja di dunia korporasi. Satu-satunya pertimbangan mereka adalah bagaimana meningkatkan karier untuk menumpuk tabungan di rekening bank.
Generasi muda yang abai akan pentingnya ilmu sosial, akan gagap dalam berinteraksi dengan sesamanya dan tidak mampu membangun kohesi sosial yang baik. Mereka tidak punya instrumen untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan orang lain karena yang ada di pikiran mereka adalah bagaimana mengembangkan teknologi.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup tulisan, sekali lagi saya ingin mengutip kalimat Haidar Bagir bahwa,
Jadi, akan terlihat aneh ketika generasi muda menghindari ilmu yang bersifat teoritik karena mereka merupakan bagian di dalamnya.