Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Jalan Sunyi Muhammadiyah Merawat Bangsa
18 Juli 2023 14:15 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sejak awal tahun sampai pertengahan tahun 2023, isu politik menghiasi hampir semua portal media. Ketika mengakses media online, seringkali kita akan menjumpai headline berita tentang persiapan menuju tahun politik 2024.
ADVERTISEMENT
Koalisi, hasil survei, intrik politik dan segala dinamika politik menjelang pesta politik elektoral. Sesuatu yang lumrah karena persiapan menjelang pemilu selalu menarik perhatian dari seluruh elemen bangsa termasuk juga masyarakat akar rumput.
Masifnya pemberitaan terkait pesta politik melahirkan kekhawatiran mengenai kemungkinan terjadinya kembali polarisasi di tengah masyarakat yang akan mencabik jalinan relasi sosial yang sudah mulai kering kembali setelah tercabik-cabik pada pemilu periode yang lalu.
Pengalaman dua momen pemilu sebelumnya menyisakan trauma mendalam yang membuat masyarakat saling merendahkan martabatnya sebagai manusia karena tidak mampu mengelola perbedaan yang muncul.
Pada dasarnya, perbedaan merupakan keniscayaan dalam hidup apalagi dalam demokrasi bahkan perbedaan seharusnya dapat dikanalisasi oleh semua pihak untuk diarahkan menjadi sebuah diskusi panjang sehingga melahirkan titik temu yang bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
ADVERTISEMENT
Namun ternyata perbedaan yang timbul di tengah demokrasi di negeri ini malah menjadi petaka karena menghancurkan kohesi sosial yang sudah ajeg. Pada kenyataannya, perbedaan dijadikan sumber konflik yang berkepanjangan karena mengejar kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Bayangan akan dampak dari pemilu menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak untuk memperkuat literasi politik agar melek politik. Literasi politik akan memberikan pemahaman bahwa politik pada dasarnya membawa sebuah bangsa ke arah yang lebih baik.
Prof Haedar Nashir dalam bukunya “Agama, Demokrasi, dan Kekerasan Politik” mengidentifikasi patologi politik menjelang pemilu yang disebut sebagai radikalisasi politik yang mengarah pada tindakan merusak nilai-nilai demokrasi.
Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa pada perkembangan demokrasi di Indonesia, terjadi kecenderungan radikalisasi politik yang ditandai dengan pertentangan antar pendukung parpol yang mengakibatkan bentrok fisik, persaingan yang melampaui batas toleransi dan rusaknya kohesi sosial, gejala kekerasan bahasa politik dalam brosur, buletin, ceramah dan komunikasi politik lainnya. Esensi radikalisasi politik melahirkan perilaku yang sarat pertentangan.
ADVERTISEMENT
Identifikasi masalah ini sangat kontekstual dengan fenomena politik yang selalu dihadapi oleh bangsa Indonesia menjelang pemilu diadakan. Semua energi dikerahkan oleh para kelompok untuk meraih tampuk kekuasaan tanpa mempedulikan dampak dari tindakan mereka yang melahirkan patologi politik.
Nampaknya ada beberapa elite politik di negeri ini yang menerapkan paham Machiavelli bahwa “kekuasaan harus direbut dengan berbagai cara bahkan dengan cara paling kotor sekalipun, selanjutnya kekuasaan harus dijaga dan dipertahankan dengan cara-cara medis. Artinya semua oposisi merupakan virus yang harus dimusnahkan.”
Pendidikan Sebagai Perisai
Secara umum, pendidikan dapat dimaknai sebagai sebuah proses mengubah sikap dan perilaku seseorang sebagai usaha mendewasakan manusia, atau dalam arti yang lebih sederhana, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia seutuhnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan adalah menuntun semua kodrat anak-anak sebagai manusia dan bagian dari masyarakat agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Salah satu sejarah yang sangat populer tentang pentingnya pendidikan dalam membangun sebuah bangsa yang kuat yaitu sejarah ambruknya Jepang pasca ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat dalam peristiwa perang dunia II.
Setelah menyadari negaranya hancur lebur, Kaisar Hirohito tidak bertanya berapa pasukannya yang tersisa atau berapa jenderal yang masih hidup, tetapi hal pertama yang ditanyakan yaitu “berapa jumlah guru yang tersisa?” Setelah dikumpulkan, ternyata masih tersisa sekitar 45 ribu guru. Kaisar Hirohito meyakinkan kepada bangsanya bahwa masa depan Jepang ditentukan oleh guru.
ADVERTISEMENT
Kebijakan Kaisar Hirohito untuk memperhatikan guru berdampak signifikan terhadap bangkitnya Jepang hanya dalam kurun waktu 20 tahun. Bahkan Jepang melampaui ekspektasi dari apa yang disaksikan sekarang. Siapa yang bisa membayangkan Jepang yang luluh-lantak lantas bisa bangkit jauh lebih maju dari negara lain yang tidak terdampak perang dunia II.
Negara tetangga kita, Malaysia juga melakukan hal serupa meskipun dengan kondisi yang berbeda. Pada tahun 1968, Malaysia yang sedang dalam proses nation building, berinisiatif mengimpor tenaga pengajar dari Indonesia. Sekitar 60 guru dan 7 dosen dari Indonesia yang dikirim ke Malaysia.
Kebijakan Malaysia tersebut membuahkan hasil dengan kualitas pendidikan yang sangat baik. Jika dulu Indonesia mengirim tenaga pengajar maka sekarang kita mengirim tenaga kerja. Transformasi yang harus dijadikan pelajaran bagi bangsa ini bahwa pendidikan merupakan pilar penting dalam membangun sebuah bangsa yang kuat.
ADVERTISEMENT
Jika Jepang saja yang bisa bangkit dengan cepat karena memperhatikan pendidikan setelah negaranya hancur lebur dampak dari perang dan Malaysia yang mampu membangun bangsanya yang dimulai dari bidang pendidikan, maka bagaimana mungkin bangsa kita yang mempunyai SDA dan SDM yang melimpah namun mengabaikan pendidikan.
Ironisnya, dalam banyak hal, bangsa ini mengalami kemunduran karena tidak menempatkan pendidikan sebagai bidang yang penting dalam tata kelola negara. Politik terlalu menyita energi yang terlalu banyak sementara sebagian politisi tidak benar-benar memiliki visi untuk memikirkan bagaimana bangsa ini maju.
Menghadapi pesta politik dengan berbagai kemungkinan terburuk yang ditimbulkan di tengah masyarakat, maka pendidikan merupakan salah satu pilar untuk melindungi bangsa ini dari retaknya kohesi sosial akibat perbedaan politik.
ADVERTISEMENT
Seluruh masyarakat harus didorong untuk meningkatkan literasi politik termasuk memahami politik itu sendiri. Semua pihak harus menyadari bahwa hakikat politik itu hanya instrumen sementara tujuan kita tetap sama yaitu membangun bangsa yang kuat. Pemahaman tersebut hanya dapat dipahami melalui proses pendidikan yang sistemik.
Jalan Sunyi Muhammadiyah
Di suatu siang saat prodi perdagangan internasional Universitas ‘Aisyiyah Bandung (Unisa Bandung) melakukan rapat koordinasi dengan Biro Marketing dan kerja sama Universitas, dalam rangka memetakan penerimaan mahasiswa baru, kepala Biro menyelipkan pengalaman unik ketika berkunjung ke daerah Majalengka untuk menjajaki kerja sama.
Ketika bertemu dengan salah satu klien yang merupakan kader Muhammadiyah, klien tersebut bercerita bahwa putrinya berangkat ke Jakarta untuk kuliah di jurusan Keperawatan. Insting kepala Biro sebagai bagian promosi kampus langsung menimpali bahwa kenapa harus jauh ke Jakarta sementara di Unisa Bandung ada jurusan Keperawatan. Sepersekian detik kemudian, bapak tersebut bertanya lebih jauh tentang Unisa itu kampus apa.
ADVERTISEMENT
Saat dijelaskan bahwa Unisa Bandung itu adalah Universitas “Aisyiyah Bandung, bapak tersebut terkejut dan mengekspresikan ketidaktahuannya bahwa selama ini dia belum tahu ada Universitas ‘Aisyiyah khususnya yang di Bandung sementara dia notabene adalah salah satu petinggi Muhammadiyah di daerah Majalengka.
Ada dua hal yang bisa ditarik kesimpulan dari hal tersebut di atas, pertama bahwa kurangnya sosialisasi dari pihak Unisa Bandung untuk mempromosikan kampusnya sehingga bahkan yang merupakan petinggi Muhammadiyah di daerah lain tidak mengetahui bahwa sudah ada kampus ‘Aisyiyah Bandung.
Kedua, mungkin ini sedikit menggembirakan karena bisa saja begitu banyaknya kampus di bawah Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA) sehingga masyarakat umum bahkan kader Muhammadiyah sendiri tidak menyadari jika nama kampus Muhammadiyah disingkat.
ADVERTISEMENT
Muhammadiyah memang mengambil peran di bidang yang jauh dari hiruk pikuk kekuasaan. Muhammadiyah tenggelam dalam kenikmatan mendidik bangsa yang dimanifestasikan dengan mendirikan sekolah dan universitas. Kultur Muhammadiyah bukan untuk mencari penghidupan yang mewah, seperti pesan KH Ahmad Dahlan “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.”
Dalam konteks ini, Prof Haedar memperjelas bahwa maksud pesan di atas bahwa kader dilarang memanfaatkan Muhammadiyah untuk kepentingan pribadi apalagi sebagai kendaraan politik praktis yang mengorbankan nilai-nilai Kemuhammadiyahan.
Jejak langkah yang ditempuh Muhammadiyah yang jauh dari ingar-bingar dunia politik dan menyusuri jalan sunyi di dunia pendidikan dibuktikan dengan pendirian lembaga pendidikan. Data terbaru bulan Juni 2023, terdapat sekitar 172 perguruan tinggi dalam naungan PTMA yang terdiri dari 83 universitas, 28 institut, 54 sekolah tinggi, 6 politeknik, dan 1 akademi.
ADVERTISEMENT
Jumlah yang cukup fantastis. Ditambah lagi dengan ekspansi membangun universitas di luar negeri, dimulai dari kampus Muhammadiyah di Malaysia yang didirikan pada tahun 2021.
Ketika sebagian organisasi menghabiskan energinya terlibat dalam politik praktis dengan cara berafiliasi dengan partai politik, Muhammadiyah mengambil langkah berbeda. Bidang pendidikan dan kesehatan menjadi fokus utama bagi Muhammadiyah untuk membersamai dan mengawal bangsa ini mencapai cita-cita yang sudah ditetapkan.
Seringkali Muhammadiyah menenun bangsa ini setelah dirusak oleh sebagian orang yang haus kekuasaan. Sebagaimana pidato alm Buya Syafii Maarif pada sidang Tanwir Muhammadiyah di Bali pada tahun 2005: