Konten dari Pengguna

Sudut Yang Sunyi

Minhajuddin
Karyawan Unisa Bandung - Peneliti pada Kajian Strategis Hubungan Internasional (KSHI).
7 Juli 2025 13:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Sudut Yang Sunyi
Aku adalah manusia modern yang semakin jauh dari diriku. Berjalan terus menuju fatamorgana. Kata Erich Fromm, manusia modern berada dalam alienasi, dari pekerjaannya, lingkungannya, bahkan dirinya
Minhajuddin
Tulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sudut Sunyi. Photo: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sudut Sunyi. Photo: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Segelas kopi aren yang tersaji di depan meja, bukan kopinya tetapi sekadar sebagai formalitas untuk bisa duduk berlama-lama di kafe ini.
ADVERTISEMENT
"Kopi gulan arennya 1, mba"
Baik, ada lagi tambahannya?
Itu aja, mba.
Bukan karena tidak doyan menu di kafe ini tetapi perut sudah kenyang ketika tadi sudah menikmati seporsi makanan di warteg ujung jalan.
Jurus ampuh untuk bisa berjam-jam duduk di kafe sambil menikmati suasana hangat adalah makan di warteg sebelum ke kafe. Tentu dengan kalkulasi bahwa perbedaan harga yang bisa sekian kali lipat dari makanan di warteg dengan di kafe.
Tidak ada yang salah, toh tujuan ke kafe untuk ngopi bukan untuk makan malam. Selain menikmati segelas kopi, tentu memeluk sudut kafe yang sunyi sambil mengumpat segala kegagalan yang dialami.
Hari-hari terakhir di Juni kemarin yang basah, kesunyian sering menderaku dengan siksaan yang begitu kejam. Aku seakan telah kehabisan energi untuk sekadar berteriak kepada dunia bahwa ada banyak masalah yang harus kupecahkan.
ADVERTISEMENT
Aku menghabiskan energi dalam setiap kesia-siaan, entah sekadar untuk merenung atau membunuh waktu dengan tidur bahkan berjam-jam memandangi handphone dengan harapan-harapan palsu.
Aku adalah manusia modern yang semakin jauh dari diriku. Berjalan terus menuju fatamorgana. Aku membayangkan kata-kata Erich Fromm bahwa manusia modern berada dalam alienasi, dari pekerjaannya, lingkungannya, bahkan dirinya sendiri.
Aku mendaku satu dari sekian manusia yang teralienasi dari apa yang ada di sekitarku. Semua seakan menjadi asing dan berjalan mekanik. Entah sudah berapa kali aku memulai untuk menyadari segalanya tetapi gagal dalam setiap langkah pertama.
Dunia semakin ramai namun manusia semakin merasa kesepian, inilah paradoks hidup di zaman modern. Kita dipaksa untuk meladeni diri liyan yang bukan sejati. Mungkini ini pula yang disebut sebagai bunuh diri eksistensial. Kita masih hidup secara biologis tetapi pada dasarnya, jiwa-jiwa manusia sudah mati.
ADVERTISEMENT
Aku terus mengejar atribut-atribut yang meracuni egoku, tentang pekerjaan, harga diri, prestise, dan semua hal yang menurutku hanya menguburku dalam kesepian di dunia ini. Tidak ada yang benar-benar sejati selain memahami diri yang bersemanyam di sanubari.
Setelah ini, aku kehilangan arah kemana lagi langkah kaki harus kujejak. Aku berjalan jauh dari anak istri yang seharusnya berada di sampingku tetapi demi hal yang atribut, membuatku melakukan semua ini.
Sekian puluh tahun silam, lagu Pance Pondaag berjudul "Demi Kau Dan Si Buah Hati," hanya sekadar penghibur ketika pulang sekolah sambil menunggu makan siang yang dihidangkan oleh ibu, tetapi saat ini ketika sudah menjadi seorang ayah, lagu itu menemukan relevansinya, dan cukup berat, bahkan untuk membayangkan saja semakin membuatku merasa sangat bersalah.
ADVERTISEMENT
Hidup adalah pergulatan batin setiap individu dalam menemukan makna kehidupannya dan banyak dari manusia yang gagal karena tidak mampu mengalahkan diri sendiri. Aku bahkan hampir menyerah dan melepaskan semua tetapi alangkah mengerikannya menjadi manusia yang gagal, ayah yang gagal, bahkan suami yang gagal.
Garis lurus perjalanan waktu harus tetap dijalani meski tertatih karena martabat seorang manusia berada pada kemampuannya untuk bertanggung jawab atas apa yang sudah diputuskan. Semua akan menjadi sia-sia ketika manusia melepaskan tanggung jawabnya.
Pada titik ini, aku akan menentukan diriku, takdirku sendiri sebagaimana para Filsuf mengingatkan bahwa takdir itu berada di tangan kita dan harus ditentukan sendiri.
Jangan menyerah pada kehidupan.