Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Bercerita di Hadapan Anak-Anak Tunagrahita
2 Mei 2025 12:09 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Mohamad Jokomono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Rabu (30/4/2025) sekitar pukul 10:00 WIB. Saya pun mengantar anak bungsu tersayang, Fauzia Haura Rizki, akrab disapa Rara. Saat ini, dia duduk di kelas 11 Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang. Ketunaan C(erdas) alias tunagrahita. Ia mengalami hambatan pada kemampuan intelektualnya.
ADVERTISEMENT
Di SLB, ada berbagai jenis ketunaan. A(was) yang terkendala penglihatannya (tunanetra). B(ahasa) yang terkendala kemampuan berbicaranya (tunarungu). D(aksa) yang memiliki keterbatasan fisik.
Sebetulnya masih ada lagi satu jenis ketunaan, yaitu E(mosi). Sebutannya tunalaras. Gangguan emosi dan sosial. Saya tidak melihat kelas E ini di SLB Negeri Semarang.
Hari itu tiba giliran Rara dan kawan-kawannya. Satu kali dalam seminggu, mereka mendapat jatah jadwal masuk ke kelas Pendidikan Agama Islam. Sang guru pengampu, Pak Adi Maulana Siswanto, telah siap mengajar dan sekaligus mendidik di kelas tersebut.
Setelah Rara masuk kelas. Saya pun memutuskan menunggu di ruang perpustakaan yang berada di sebelahnya persis. Di dalam ruangan, begitu melihat koleksi yang terpampang di rak depan. Tiba-tiba muncul keinginan
ADVERTISEMENT
Kalau ada kesempatan, pengin rasanya saya memejamkan mata sambil jari-jari ini merabai pagina-pagina buku yang berisikan aksara-aksara Braille. Buku-buku yang hanya sampul depannya saja berbubuhkan ilustrasi menarik. Tapi, tentu saja itu tidak mudah. Butuh pembiasaan dalam rentang proses yang tidak sebentar.
Suatu kekaguman yang muncul. Seperti tatkala beberapa kali saya pernah melihat sesama pelajar tunarungu berbicara dalam bahasa isyarat. Jari-jari tangan mereka begitu lincah bergerak. Hampir tak berjeda. Bisa jadi ada kalimat-kalimat puitis yang tertuang pada dialog dalam diam itu. Tampaknya mereka asyik sekali.
Beberapa saat selepas duduk di salah satu kursi kayu yang dilengkapi dengan meja kayu pula berukuran panjang 1,50 meter dan lebar 1 meter. Itu cuma ukuran kira-kira saja. Persisnya mungkin bisa lebih atau sebaliknya.
Tapi yang jelas, panjangnya dibagi tiga sekatan (hanya bagian tengah yang tertutup dua sekat papan pemisah). Sementara itu, lebarnya terbagi dua yang di tengahnya ada sekatan pemisah.
ADVERTISEMENT
Untuk ukuran anak-anak SD yang bertubuh kecil bisa digunakan untuk enam anak secara berbarengan. Cukuplah. Meski mungkin kalau kursi-kursi itu terisi penuh, ada gerak yang mesti bertabrakan dengan keleluasaan.
Hidupkan Narasi
Belum sempat saya mencoba merabai pagina buku-buku berhuruf Braille itu. Pada waktu hampir bersamaan datanglah tidak kurang lima murid berseragam SMP. Melihat guru yang mengikutinya, Bu Gini Maruki, pastilah mereka dari kelas 7.
Mereka pun disambut hangat Kepala Perpustakaan SLB Negeri Semarang Bu Rachmalia Maya Sutikno. Lalu dengan keterampilan bercerita yang telah tertata dengan baik, dia pun berupaya menghidupkan narasi dari buku-buku bergambar di hadapan anak-anak tunagrahita itu.
Kemampuan Bu Rachmalia Maya Sutikno dalam menghidupkan narasi pun patut mendapat acungan jempol. Suaranya relatif keras. Ucapan tiap kata terdengar jelas. Pilihan kata sederhana. Ada retorika pengulangan untuk mempetegas pemahaman. Semua terungkap dengan maksimal.
ADVERTISEMENT
Kadang ada selingan kalimat-kalimat bahasa Jawa untuk lebih memperdekat jarak pemahaman anak-anak itu pada materi cerita. Ekspresi wajah yang relevan dengan apa yang disampaikan. Kian mengalirkan alur kisah menjadi rangkaian kejadian naratif yang enak diikuti.
Pendek kata, dia memang layak diakui kepiawaiannya bercerita. Tidak ada yang kurang satu pun dari cara dia menghidupkan narasi sehingga cara berceritanya menarik. Siapa pun yang mendengarnya pastilah enggan untuk melakukan kegiatan lain, kecuali menyimaknya.
Perlu Takaran Pas
Hanya memang untuk anak-anak tunagrahita. Yang lokasi disabilitasnya ada pada keterbatasan pada fungsi intelektualnya. Memang diperlukan takaran yang pas dalam penyampaian jumlah materi yang diceritakan.
Boleh jadi, ini bukan soal kuantitas an sich. Melainkan soal kepekaan membaca respons anak-anak tunagrahita itu ketika proses penceritaan tengah berlangsung. Bagaimana perilaku mereka tatkala mendengarkan materi cerita yang kesekian.
ADVERTISEMENT
Ini bukan pula persoalan gaya bercerita sang penutur kisah tidak lagi berada di dalam koridor kriteria menarik. Akan tetapi, cenderung lebih bersambut penyebab pada kelelahan otak anak-anak tunagrahita itu menerima terlalu banyak materi cerita.
Saya kira, sudah menjadi sinyal penanda yang perlu mendapat curahan perhatian. Manakala pada penyampaian materi cerita yang kesekian. Tentu bukan yang pertama atau yang masih relatif dekat dengan yang pertama.
Mereka menunjukkan tindakan lebih suka meninggalkan tempat. Melakukan kegiatan lain, seperti berdiri dan berjalan di dalam ruang perpustakaan. Mengambil buku di rak, hanya untuk sekadar ditenteng ke sana kemari. Atau, malah bermain sendiri dengan teman di dekatnya. Atau, paling kurang pandangannya menuju ke arah lain.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi ini persoalan takaran materi cerita yang disampaikan sudah tidak lagi pas. Akibatnya, fokus perhatian mereka pun terburai sudah. Efektivitas penyampaian menjadi hal yang patut untuk dipertanyakan manakala sinyal-sinyal itu muncul. Dan, Bu Rachmalia Maya Sutikno dengan sangat jeli memungkasinya.
■ Mohamad Jokomono, ayah dari seorang anak perempuan tunagrahita.