Konten dari Pengguna

Korupsi dan Kuasa Netizen

Mohammad Isa Gautama
Dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang. "Politik tanpa Dialog" dan "Modernisme tanpa Pengaman" adalah dua buku kumpulan kolom/esainya, terbit penghujung 2020.
8 September 2024 8:40 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohammad Isa Gautama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Korupsi telah lama menjadi salah satu masalah terbesar di Indonesia. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk menanggulanginya, baik melalui hukum maupun reformasi birokrasi. Namun, laku koruptif terus bertahan dalam berbagai bentuk, dari praktik suap hingga penyalahgunaan anggaran publik.
ADVERTISEMENT
Di era digital ini, kekuatan muncul dari masyarakat, yaitu netizen atau yang sering diistilahkan sebagai warganet. Mereka menggunakan media sosial untuk mengawasi, mengungkap, dan memviralkan kasus-kasus korupsi, menggeser fokus pemberitaan dan memaksa pemerintah serta aparat hukum bertindak lebih cepat membongkarnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa media sosial tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga alat penting dalam gerakan sosial dan politik.

Korupsi di Era Digital

Korupsi di Indonesia tidak hanya terjadi di kalangan elite dan tidak hanya bersifat sentralistik , namun juga merambah ke berbagai sektor dan lintas geografis. Jika sebelumnya kasus korupsi cenderung tertutup dan sulit terungkap, kini dengan kemajuan teknologi, ruang yang dapat diakses semakin lebar bagi elemen masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengawasan publik. Dalam konteks ini, sudah menjadi rahasia umum bagaimana media sosial membuka ruang luas bagi netizen untuk mengekspos tindakan-tindakan yang mencurigakan, memperluas akses ke informasi yang sebelumnya tersembunyi.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh yang menonjol adalah kasus Rafael Alun Trisambodo, pejabat pajak yang ketahuan memiliki kekayaan luar biasa yang tidak wajar. Gaya hidup hedonis yang ditampilkan keluarganya, termasuk flexing kekayaan anaknya, Mario Dandy, menjadi viral di media sosial dan memicu kemarahan publik sepanjang paruh pertama 2023 lalu.
Peran netizen dalam menyebarkan informasi ketika itu lantas tidak hanya menyadarkan publik akan potensi penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga memaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera bertindak. Kasus ini menjadi bukti nyata bagaimana kuasa netizen mampu mengkatalisasi proses hukum dan memperbesar tekanan terhadap pelaku korupsi.

Media Sosial sebagai Watch Dog

Athina Karatzogianni (2006) dalam salah satu bukunya The Politics of Cyberconflict, menekankan bahwa media sosial memiliki kekuatan yang unik sebagai instrumen untuk menyebarkan ide, kampanye, protes, hingga hasutan. Dengan kemampuannya yang tak terbatas untuk menyebar informasi dalam hitungan detik, media sosial memungkinkan netizen untuk membentuk arus besar dalam pergerakan sosial, termasuk dalam isu-isu pemberantasan korupsi. Kasus-kasus seperti Rafael Alun atau gaya hidup mewah keluarga Mario Dandy menunjukkan bagaimana netizen tidak hanya berperan sebagai pengamat pasif, tetapi juga sebagai watch dog, aktor yang aktif mengawasi perilaku pejabat publik beserta kroni dan keluarganya,
ADVERTISEMENT
Ditilik dari perspektif komunikasi, teori agenda setting relevan dalam memahami fenomena ini. Teori ini menyatakan bahwa media memiliki kemampuan untuk mengatur agenda publik dengan menentukan isu-isu apa yang layak dibahas. Dalam konteks korupsi, netizen melalui media sosial memainkan peran sebagai pembentuk agenda baru.
Kasus yang sebelumnya mungkin hanya tersebar di lingkup terbatas mengemuka menjadi sorotan nasional, memaksa media arus utama dan pemerintah untuk meresponsnya. Proses ini mengkonstruksi tekanan politik yang luar biasa terhadap pelaku korupsi dan institusi yang terkait, sehingga mengkatalisasi penanganan kasus-kasus tersebut.

Spiral Keheningan dan Keberanian Netizen

Selain agenda setting, teori spiral keheningan (spiral of silence) juga membantu menjelaskan bagaimana netizen mampu mengatasi tekanan sosial untuk berbicara lantang tentang korupsi. Menurut teori ini, individu cenderung diam ketika mereka merasa pandangan mereka minoritas atau tidak didukung oleh mayoritas. Namun, melalui sumber daya yang ada pada platform media sosial, netizen diproyeksikan menemukan komunitas yang berpikiran sama dan membangun keberanian untuk berbicara menentang korupsi.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, kasus flexing gaya hidup mewah di kalangan pejabat dan keluarganya membuka mata publik realitas ketidakadilan yang bagaikan fenomena gunung es. Netizen yang sebelumnya lebih memilih diam dan bahkan apatis, kini lebih berani untuk berbicara melalui platform-platform media sosial.
Munculnya suara-suara lantang ini mengubah dinamika sosial, di mana mereka yang sebelumnya berada dalam posisi minoritas kini memperoleh dukungan publik yang lebih besar. Sebagai hasilnya, suara-suara tersebut menjadi kekuatan signifikan dalam menggugat perilaku korup para pejabat beserta antek-anteknya.
Dalam konteks korupsi, keberanian netizen untuk membongkar kasus-kasus yang melibatkan pejabat negara memberikan tekanan besar terhadap institusi hukum. Ketika berita tentang flexing dan kekayaan pejabat viral di media sosial, KPK dan aparat hukum lainnya tidak bisa mengabaikannya. Tekanan dari masyarakat yang diwakili oleh netizen mendorong investigasi yang lebih mendalam dan mempercepat proses hukum.
ADVERTISEMENT

Kekuatan dan Risiko Aktivisme Digital

Kekuatan dan potensi netizen dalam mengungkap kasus-kasus korupsi melalui media sosial semakin tak terbantahkan. Dengan jaringan yang luas, netizen mampu menciptakan gerakan massa dalam hitungan jam, bahkan menit. Informasi tentang dugaan korupsi dapat menyebar secara viral, melibatkan jutaan orang dalam diskusi tentang isu tersebut. Namun, “berita baik” bukan tanpa risiko.
Salah satu risiko terbesar adalah penyebaran informasi yang tidak akurat atau hoaks. Dalam beberapa kasus, netizen dapat terjebak dalam narasi yang keliru, menyebarkan tuduhan tanpa bukti yang kuat. Hoaks semacam ini dapat merusak reputasi seseorang atau lembaga, tanpa adanya dasar yang valid.
Sebagai contoh, pada beberapa kasus netizen menuduh seseorang terlibat dalam korupsi hanya berdasarkan penampilan mewah mereka, tanpa mengetahui latar belakang atau sumber kekayaan tersebut. Berdasarkan ini, semestinya netizen perlu lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi, memastikan validitas dan kredibilitas sumber sebelum memviralkan isu dan memverifikasinya secara objektif.
ADVERTISEMENT
Selain itu, media sosial juga rawan digunakan oleh pihak tertentu untuk mengarahkan opini publik demi kepentingan politik. Misalnya, dalam beberapa kasus, politisi mungkin memanfaatkan sentimen netizen untuk menyerang lawan politik mereka, dengan menyebarkan narasi korupsi yang belum tentu benar. Fenomena ini menunjukkan bahwa kuasa netizen, meskipun memiliki potensi positif dalam memerangi korupsi, juga dapat dimanfaatkan secara manipulatif.

Kolaborasi Netizen dan Pemerintah

Untuk memaksimalkan dampak positif kuasa netizen dalam pemberantasan korupsi, diperlukan kolaborasi yang kuat antara masyarakat dan pemerintah. Pemerintah perlu membuka ruang akses informasi yang lebih luas dan transparan kepada masyarakat, sehingga netizen dapat berperan lebih efektif sebagai pengawas. Selain itu, literasi digital perlu ditingkatkan, agar kemampuan kritis netizen mengalami peningkatan dalam menyaring informasi yang beredar di media sosial.
ADVERTISEMENT
Kolaborasi juga dapat dilakukan melalui platform-platform pelaporan korupsi yang dikelola oleh pemerintah. Misalnya, aplikasi seperti Lapor! dapat dioptimalkan dengan melibatkan partisipasi aktif netizen dalam melaporkan dugaan tindak pidana korupsi di daerah mereka. Belum lagi melalui kanal KPK di media daring yang juga tersedia sepanjang waktu bagi pelaporan tindak korupsi lengkap dengan lampiran bukti. Intinya, melalui dukungan teknologi, netizen mestinya secara pro-aktif dalam sistem pengawasan publik, mendorong penegakan hukum yang lebih transparan dan cepat.
Pemerintah juga harus melihat netizen sebagai mitra dalam upaya pemberantasan korupsi, bukan sebagai ancaman. Kolaborasi dan sinergi yang solid dan efektif antara pemerintah dan masyarakat dapat menciptakan iklim yang lebih kondusif untuk memerangi korupsi, dengan memanfaatkan potensi besar media sosial sebagai instrumen pengawasan.
ADVERTISEMENT
Ringkasnya, korupsi tetap menjadi ancaman serius bagi kemajuan Indonesia. Eksistensi netizen yang berdaya melalui media sosial membawa angin segar dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan jaringan tak terbatas dalam menyebarkan informasi, membentuk opini publik, dan menekan institusi untuk bertindak, netizen kini memiliki kuasa yang besar dalam mengungkap kasus-kasus korupsi.
Meskipun demikian, kekuatan ini harus digunakan dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab. Netizen perlu memastikan bahwa informasi yang disebarkan akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, untuk menghindari dampak negatif seperti hoaks atau manipulasi politik.
Dengan kolaborasi yang kuat antara masyarakat dan pemerintah, kuasa netizen dapat menjadi alat yang efektif dalam memerangi korupsi dan menciptakan Indonesia yang lebih bersih dan transparan. [*]