Konten dari Pengguna

Implikasi Hedataru dan Najimu dalam Dinamika Hubungan di Anime A Silent Voice

Muchammad Pandu Ardiyannanta Ramadhanie
Airlangga University Faculty of Humanities Japanese Study 2022
15 Oktober 2024 11:23 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muchammad Pandu Ardiyannanta Ramadhanie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Muchammad Pandu Ardiyannanta Ramadhanie
Bahasa dan Sastra Jepang
Ilmu Budaya
Ilustrasi sepasang kekasih sedang duduk dibawah pohon sakura. Source: Freepik

Latar Belakang

ADVERTISEMENT
Film anime A Silent Voice (Koe no Katachi) yang disutradarai oleh Naoko Yamada dan dirilis pada tahun 2016 oleh Kyoto Animation. Film ini diadaptasi dari manga karya Yoshitoki Ōima. Karya ini bukan hanya dikenal karena narasinya yang sungguh , tetapi juga karena penyampaian konsep-konsep sosial yang mendalam seperti hedataru (memisahkan jarak) dan najimu (menjadi akrab). A Silent Voice mengisahkan tentang perjalanan Shoya Ishida dalam menebus kesalahannya kepada Shoko Nishimiya, teman sekelas yang ia bully saat berada di sekolah dasar. Melalui hubungan Shoya dan Shoko, film ini menggambarkan dengan cukup jelas bagaimana konsep hedataru dan najimu berkembang.

Awal Hubungan yang Terpisah

Pada awal film, hubungan antara Shoya dan Shoko sangat dipenuhi oleh jarak psikologis yang ada dikarenakan tindakan bullying Shoya. Shoya tidak mampu memahami kehidupan dunia Shoko yang tunarungu, dan reaksi Shoya adalah menjauhkan diri darinya secara psikologis dengan sikap kekerasan dan ejekan. Adegan-adegan ini mencerminkan hedataru, di mana Shoya membuat dinding jarak dengan menolak berempati kepada Shoko. Salah satu adegan penting yang menggambarkan hal ini terjadi di menit 12-15, saat Shoya secara terbuka mengejek cara Shoko berkomunikasi yang aneh dengan menggunakan buku catatan.
ADVERTISEMENT
Setelah Shoko pindah sekolah akibat bullying yang ia alami, Shoya sendiri menjadi korban dari hedataru. Ia diabaikan oleh teman-temannya dan dicap sebagai pelaku bullying, sehingga menciptakan isolasi sosial di sekitarnya. Ini tergambar jelas pada menit ke 25-30, di mana Shoya duduk sendirian di kelas dan tidak ada satu pun teman yang ingin berinteraksi dengannya. Karena Jarak inilah Shoya merasa tidak layak untuk dimaafkan dan menyebabkan ia terus memisahkan dirinya dari orang lain.

Proses Keakraban

Setelah bertahun-tahun, Shoya mencoba memperbaiki kesalahannya dengan menemui Shoko lagi saat remaja. Pada menit ke 30-35, Shoya dan Shoko bertemu kembali di sekolah, tetapi hubungan mereka belum langsung akrab dan sangat canggung. Shoko tampak ragu-ragu untuk menerima permintaan maaf Shoya, dan Shoya sendiri tampak gugup. Ini menunjukkan bahwa hedataru masih ada di antara mereka, tetapi ada usaha dari kedua belah pihak untuk mengurangi jarak tersebut.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya cerita, Shoya mulai berusaha menghapus jarak di antara mereka. Di menit 50-55, Shoya belajar bahasa isyarat untuk bisa berkomunikasi lebih baik dengan Shoko. Ini adalah simbol dari upayanya untuk mencapai najimu, menunjukkan kesungguhan dalam mendekati Shoko dengan memahami dunianya. Proses ini menunjukkan bahwa keakraban tidak bisa dibangun dengan cepat, tetapi memerlukan upaya yang tulus untuk menjembatani perbedaan.

Sebuah Perjalanan yang sangat Emosional

Adegan penting yang menandai perubahan dari hedataru menuju najimu terjadi pada menit 90-95, saat Shoko mencoba bunuh diri di apartemennya. Shoya berhasil menyelamatkannya, tetapi ia sendiri terluka parah saat melakukan hal itu. Dalam adegan ini, Shoya menunjukkan bahwa ia bersedia mengorbankan dirinya untuk melindungi Shoko, yang merupakan bukti nyata bahwa ia telah menghapus hedataru di antara mereka. Keberanian ini membuat Shoko menyadari bahwa Shoya benar-benar ingin membangun kembali hubungan mereka, dan mereka mulai membuka diri satu sama lain setelah kejadian tersebut.
ADVERTISEMENT
Setelah Shoya sembuh, ada adegan di menit 110-115 di mana Shoya dan Shoko berbicara lebih terbuka tentang perasaan mereka masing-masing di pinggir sungai, tempat kenangan mereka dahulu. Di sini, Shoko mengungkapkan rasa bersalahnya, dan Shoya juga mengakui rasa bersalahnya terhadap Shoko dan orang-orang di sekitarnya. Ini adalah momen di mana najimu benar-benar tercapai, karena keduanya mampu menghilangkan jarak emosional dan memahami satu sama lain secara mendalam.

Analisis Penggunaan Hedataru Najimu dengan Budaya Masyarakat Jepang

Konsep hedataru dan najimu tidak hanya terlihat dalam hubungan antara Shoya dan Shoko, tetapi juga mencerminkan bagaimana masyarakat Jepang secara umum memahami dinamika interaksi sosial. Hedataru, yang berarti menjaga jarak, sering kali menjadi bentuk penghormatan terhadap kehidupan pribadi orang lain. Dalam interaksi sehari-hari, menjaga jarak secara fisik dan emosional dianggap penting untuk mempertahankan harmoni sosial (wa). Misalnya, dalam budaya kerja Jepang, seseorang cenderung menjaga formalitas dalam interaksi dengan atasan atau kolega baru sebelum kedekatan itu bisa berkembang seiring waktu.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, najimu melambangkan proses keakraban yang bertahap. Masyarakat Jepang cenderung berhati-hati dalam membuka diri kepada orang lain, dan keakraban hanya akan muncul setelah proses interaksi yang berulang dan rasa saling percaya terbentuk. Proses ini membutuhkan waktu karena kepercayaan dan pemahaman tidak bisa terbentuk dengan cepat. Dalam budaya Jepang, hal ini terlihat dari kebiasaan menjalin hubungan pertemanan atau kerja secara perlahan, di mana pertemuan dan waktu yang diluangkan bersama dianggap penting untuk membangun kedekatan.
Film A Silent Voice menggambarkan hal ini dengan jelas melalui upaya Shoya untuk belajar bahasa isyarat sebagai bentuk penghormatan terhadap cara komunikasi Shoko. Usaha ini tidak hanya menunjukkan penyesalan Shoya, tetapi juga keinginannya untuk memahami dunia Shoko lebih baik. Ini adalah langkah yang serupa dengan proses najimu, di mana pendekatan terhadap orang lain dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan rasa hormat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, konsep hedataru juga mencerminkan sikap masyarakat Jepang yang sering kali menahan diri untuk tidak terlalu menunjukkan emosi secara langsung, terutama dalam lingkungan publik. Film ini mengajarkan bahwa menjaga jarak bukanlah sesuatu yang sepenuhnya negatif; dalam konteks yang tepat, itu bisa menjadi cara untuk menghormati perasaan orang lain. Namun, untuk mencapai kedekatan atau najimu, seseorang perlu memiliki keberanian untuk mulai menghilangkan jarak tersebut.
Dengan mengaitkan konsep-konsep ini dengan nilai-nilai budaya Jepang, penonton dapat memahami bahwa perjalanan dari hedataru menuju najimu adalah proses alami yang terjadi dalam masyarakat Jepang, baik dalam interaksi sehari-hari maupun dalam membangun hubungan yang lebih dalam, seperti yang diperlihatkan oleh Shoya dan Shoko dalam A Silent Voice.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Film A Silent Voice adalah contoh nyata dari perjalanan emosional dari hedataru menuju najimu. Dengan ditampilkannya adegan-adegan di mana jarak fisik dan psikologis antara karakter berubah dari ketegangan menjadi kedekatan, film ini memberikan wawasan tentang dinamika hubungan dalam konteks budaya Jepang. Melalui kisah penebusan dan penerimaan diri, film ini menggambarkan bahwa keakraban hanya dapat dicapai setelah jarak yang memisahkan dihormati dan kemudian dihilangkan dengan kepercayaan dan waktu.
Dalam konteks ini, A Silent Voice tidak hanya menceritakan sebuah kisah tentang memperbaiki kesalahan di masa lalu, tetapi juga menyajikan cerminan yang cukup mendalam tentang bagaimana hubungan manusia bisa berubah dari jarak menuju hubungan yang sangat dekat, serta pentingnya upaya berkelanjutan untuk membangun keakraban yang dinilai tulus. Film ini, dengan kepekaannya terhadap konsep hedataru dan najimu, merupakan bukti kuat dari kompleksitas hubungan antarmanusia dalam budaya Jepang.
ADVERTISEMENT