Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
MUI: Hindari Makanan yang Belum Ada Label Halalnya
19 Juni 2017 11:48 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Kadang kala sesuatu yang sedang happening atau booming, membuat kita latah untuk ikut-ikutan mencoba tanpa mencari tahu asal usulnya. Salah satunya terhadap produk makanan. Mi Samyang contohnya.
ADVERTISEMENT
Mi instan asal Korea Selatan itu sebetulnya mulai ramai di Indonesia sekitar pertengahan tahun lalu, dengan image mi dengan rasa pedas yang meyakinkan. Namun pada Januari 2017 muncul isu adanya kandungan babi pada mi Samyang.
Isu itu menyeruak cepat karena sangat sensitif. Wajar memang, karena dalam Islam haramnya babi tak ada perdebatan. Lalu tanggal 15 Juni kemarin, terbit edaran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang menyebut 4 produk mi instan asal Korea mengandung babi. Sontak edaran itu bikin geger lagi, karena sudah banyak orang mengonsumi produk mi instan itu.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai semestinya umat Islam tak perlu cemas dengan edaran BPOM, jika sejak awal sudah melakukan verifkasi apakah mi tersebut halal untuk dikonsumsi.
ADVERTISEMENT
"Ini menjadi ibrah (pelajaran) untuk berhati-hati ketika mememilih produk pangan, dengan memastikan hanya yang halal yang akan dikonsumsi," ucap Sekretaris Komisi Fatwa MUI KH Asrorun Ni'am kepada kumparan (kumparan.com), Senin (19/6).
"Kalau sudah jelas haram atau masih diragukan kehalalalnya atau keharamannya, maka harus dihindari sampai ada kejelasan bahwa itu halal, baru kemdian baru dikonsumsi," imbuhnya.
Asrorun menyatakan umat Islam yang sudah telanjur mengonsumsi mi Samyang yang mengandung babi, maka harus bertaubat. Dalam arti menyesali perbuatan, beristigfar dan tak mengulanginya lagi. Karena meski didapat dengan cara yang halal (membeli), bagaimanapun zat yang dikonsumsi haram hukumnya.
"Berbeda dengan mengambil hak orang lain atau mencuri makanan. Bisa jadi secara zat halal, tapi karena prosesnya haram, maka yang dikonsumisnya menjadi haram. Dalam posisi seperti ini, maka wujud pertobatannya selain minta maaf kepada Allah dan komitmen tak mengulangi, juga mengembalikan hak orang itu atau meminta keikhlasan," papar Ni'am.
ADVERTISEMENT
Karena itu pada prinsipnya, untuk semua produk yang belum jelas halal dan haramnya, umat Islam harus tabayyun atau mencari tahu hukumnya. Secara sederhana cukup dengan melihat label halal yang diterbitkan MUI.
"Kalau setelah tabayyun belum ada kejelasan atau syubhat (tak jelas halal dan haramnya -red), maka kewajiban muslim untuk menjauhi. Yang syubhat saja dilarang, apalagi yang haram," tegasnya.