Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Beda Nasib Hizbut Tahrir di Jerman dan Inggris
10 Mei 2017 10:11 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Pemerintah Republik Indonesia membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia karena dianggap bertentangan dengan ideologi dan konstitusi negara, Pancasila dan UUD ‘45.
ADVERTISEMENT
Menurut Wiranto, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional --yang langsung dibantah HTI.
Meski HTI --yang mengusung konsep khilafah-- dibubarkan, Wiranto menegaskan pemerintah RI bukan berarti anti terhadap umat Islam.
“Semata-mata dalam menjaga dan merawat keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,” ujar Wiranto dalam jumpa pers di Kantor Menkopolhukam, Jakarta, Senin (8/5).
Melihat alasan yang digunakan pemerintah Indonesia untuk melarang HTI, menarik untuk melongok beda negara-negara di dunia dalam memperlakukan organisasi transnasional yang berdiri di Yerusalem pada 1953 tersebut.
Ambil contoh Jerman dan Inggris. Kedua negara di Eropa ini memiliki kebijakan berbeda terhadap Hizbut Tahrir. Meski demikian, mereka punya kecurigaan sama: menduga Hizbut Tahrir mendukung berbagai aksi radikal.
ADVERTISEMENT
Di Jerman, negara yang memilki populasi Muslim sekitar 5 juta orang, segala bentuk aktivitas publik Hizbut Tahrir dilarang.
Hizbut Tahrir yang di negara itu dikenal juga dengan nama Party of Liberation, pada 2003 disebut Menteri Dalam Negeri Jerman Otto Schilly telah menyebarkan propaganda kekerasan dan kebencian pada kaum Yahudi.
Hizbut Tahrir Jerman menolak tuduhan tersebut.
“Kami bersyukur kami dapat tinggal di sini (Jerman). Maka kami menerima hukum yang ada dan menolak melakukan hal-hal ilegal. Kami juga tak memiliki niat untuk menggulingkan pemerintahan Barat manapun,” ujar Juru Bicara Hizbut Tahrir Jerman, Shaker Assem, seperti dilansir The New York Times, 29 September 2004.
Apapun, Hizbut Tahrir tetap dilarang di Jerman.
Setelah berupaya bertahun-tahun, banding yang dilakukan Hizbut Tahrir ke Mahkamah Uni Eropa untuk mengakhiri kebijakan Jerman tersebut, ditolak pada 2013.
ADVERTISEMENT
Kasus lain juga pernah dituduhkan kepada Hizbut Tahrir Jerman, yakni dituding terlibat aksi teror 9/11 di Amerika Serikat.
Hal ini membuat seorang pelajar imigran asal Yaman yang juga anggota Hizbut Tahrir, Nizar al-Saqeb, diusir dari Jerman karena pernah berhubungan dengan Ramzi bin al-Shibh, salah satu perencana aksi 9/11.
Berbeda dengan Jerman yang merasa memilki cukup bukti untuk melarang dan membubarkan aktivitas Hizbut Tahrir, Inggris justru tak memilki cukup bukti untuk melakukan hal yang sama.
Upaya untuk membubarkan Hizbut Tahrir di negeri itu gagal dilakukan oleh dua Perdana Menteri Inggris yang cukup vokal terhadap kelompok tersebut, Tony Blair dan David Cameron.
Tony Blair, dalam merespon aksi teror bom 7/7 yang menewaskan 56 orang di London, dengan lantang menyatakan akan melarang dan membubarkan kegiatan Hizbut Tahrir.
ADVERTISEMENT
Blair, yang menjabat dua periode pada 1997-2007, menganggap Hizbut Tahrir memiliki ikatan dengan para pelaku aksi teror.
Namun pada akhirnya Blair tak dapat membuktikan hal tersebut, dan ancaman pembubaran Hizbut Tahrir tinggal angan tertiup angin.
Upaya pembubaran Hizbut Tahrir juga gagal dilakukan oleh mantan Perdana Menteri Inggris lainnya, David Cameron.
Padahal Cameron yang menjabat pada periode 2010-2016, dalam kampanyenya dengan tegas berjanji akan membubarkan kelompok tersebut.
“Dua Perdana Menteri Inggris telah mencoba untuk membubarkan mereka (Hizbut Tahrir), atau pernah menyarankan untuk melakukannya, namun keduanya tak dapat melakukannya. Hal ini dikarenakan saran dari pengamat hukum yang mengatakan apabila keduanya membubarkan Hizbut Tahrir, apabila Hizbut Tahrir mengajukan banding, pemerintah akan kalah,” kata pengamat terorisme dari Quilliam, Haras Rafiq, kepada The Guardian, 4 Februari 2015.
ADVERTISEMENT
Pada 2009, sebelum menjadi perdana menteri, Cameron bahkan sempat harus meminta maaf kepada publik karena kesalahannya menuduh dua sekolah Islam yang dikelola Hizbut Tahrir menerima dana dari pemerintah.
Saat itu Cameron menjabat sebagai pemimpin Partai Konservatif yang bertindak sebagai oposisi.
Jelas bagi Inggris, tak semudah itu membubarkan Hizbut Tahrir. Pemerintah Indonesia, rupanya, merasa punya kasus berbeda.