Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.9
Konten dari Pengguna
Idulfitri dan Refleksi Mengembalikan Indonesia ke Fitrahnya
7 April 2025 10:30 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Muhammad Fachrizal Helmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Idulfitri adalah momen untuk kembali ke fitrah, yaitu keadaan manusia yang suci dan bersih dari dosa (QS Ar-Rum: 30).
ADVERTISEMENT
Prolog: Idulfitri dan Kita

Bagi kebanyakan orang Indonesia, momen Idulftri adalah momen yang sangat penting–penting secara keyakinan, penting secara kultural, dan penting secara sosial. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, yaitu sekitar 87,08% atau setara dengan 245,97 juta jiwa pada semester pertama 2024, tentu perayaan Idulfitri menjadi sesuatu yang penting dan pastinya akan berkesan bagi kebanyakan orang. Belum lagi, secara global pun Indonesia dikenal sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Idulfitri menjadi hajatan penting lebih dari 87% orang di seluruh Indonesia.
Secara keyakinan, tentunya perayaan Idulfitri penting sebagai simbol kemenangan, menangnya seluruh umat Muslim dalam mengendalikan hawa nafsunya saat menjalankan ibadah puasa 1 bulan lamanya. Secara kultural, Idulfitri sendiri telah memiliki tempat penting dalam banyak kebudayaan suku bangsa Indonesia, misalnya saja, ada tradisi "Meugang" di Aceh, "Padusan" di Jawa Tengah, dan "Balimau Kasai" di Sumatera Barat yang erat kaitannya dengan kebiasaan yang berlangsung saat Idulfitri. Belum lagi secara sosial, Idulfitri adalah satu peristiwa yang memungkinkan mobilisasi masyarakat dalam jumlah yang sangat besar, melalui kebiasaan mudik atau pulang kampung sepanjang rangkaian Idulfitri berlangsung.
BPS mencatat pergerakan masyarakat selama mudik Lebaran 2023 mencapai 26,3 juta orang, naik 45% dibandingkan periode Lebaran 2022. Kementerian Perhubungan Republik Indonesia memperkirakan sekitar 193,6 juta orang akan melakukan mudik Lebaran 2024, naik dari 123,8 juta orang pada tahun sebelumnya. Berdasarkan survei Balitbang Kemenhub, diperkirakan sekitar 146,48 juta orang akan melakukan mudik Lebaran 2025, yang setara dengan 52% dari total penduduk Indonesia, akan tetapi terdapat penurunan dari tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Lantas, apa yang berbeda antara Idulfitri tahun-tahun sebelumnya dengan Idulfitri tahun 2025?
Ramadan 2025 dan Ujian dari Negara
Sebelum membahas tentang Idulfitri, kita mungkin kembali sejenak ke momen pre-idulfitri, yaitu momen Ramadan 2025. Momen Ramadan 2025 ini berbeda dengan momen Ramadan beberapa tahun ke belakang. Setidaknya ada 4 peristiwa dan isu penting yang bergulir sepanjang Ramadan 2025, mulai dari PHK Massal PT Sritex (salah satu perusahaan tekstil terbesar, dengan PHK diperkirakan berdampak pada 10.000 karyawan), Indonesia Gelap Jilid 2, Revisi UU TNI, peresmian DANANTARA, dan menjelang Idulfitri muncul isu bergulir tentang rencana revisi RUU Polri. Alih-alih sibuk beribadah di masjid-masjid, banyak di antara kita, termasuk saya sendiri, untuk mencoba ibadah jalur lain, yaitu ibadah perjuangan untuk mengembalikan kondisi bangsa Indonesia kepada fitrahnya: negara demokrasi, yang diperoleh atas perjuangan yang terjadi pada 1998.
ADVERTISEMENT
Pemerintah rasa-rasanya terlihat lupa akan esensi bulan Ramadan, yang harusnya berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan, tetapi malah sebaliknya, berlomba-lomba membuat negara babak belur. Padahal, seperti Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa yang mendekatkan diri kepada Allah dengan satu kebaikan (sunnah) maka ia seperti mengerjakan ibadah wajib di bulan yang lain, dan barang siapa yang mengerjakan ibadah (wajib) maka ia seolah mengerjakan tujuh puluh kewajiban di bulan lain". Seandainya pemerintah melakukan “ibadah” sebagai pembela rakyat, menempatkan segala kepentingan rakyat di atas segalanya (termasuk di atas kepentingan oligarki), tentu negara kita akan memperoleh lipat ganda pahala, yang InsyaAllah akan membuat negara menjadi negara yang lebih baik lagi ke depannya. Tetapi, yang dilakukan malah sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, sependek pengetahuan saya mengutip dari beberapa media massa, sepanjang Maret 2025, bertepatan dengan Ramadan 1446 H, ada beberapa unjuk rasa besar seperti misalnya unjuk rasa PHK Massal PT Sritex Jakarta oleh KSPI dan Partai Buruh pada 5 Maret 2025; unjuk rasa PHK PT Sritex Sukoharjo, Jawa Tengah, pada 10-15 Maret 2025; unjuk rasa Indonesia Gelap Jilid 2 di Yogyakarta pada 11 Maret 2025; unjuk rasa penolakan revisi UU TNI pada 15 Maret 2025 di Jakarta di hotel Fairmont; unjuk rasa penolakan RUU TNI 19-20 Maret 2025 di Jakarta, yang mengakibatkan kemacetan parah di beberapa titik di sekitar gedung DPR RI; dan puncaknya pada 27 Maret 2025, beberapa hari sebelum Idulfitri, ada unjuk rasa penolakan RUU TNI dan RUU Polri di Jakarta. Sebenarnya, mengutip Dandhy Laksono, pelopor Ekspedisi Indonesia Baru, aksi penolakan RUU TNI sendiri bergulir semakin semarak dan masif, tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi banyak aksi-aksi serupa berlangsung sepanjang 20-25 Maret 2025.
Belum lagi, berbagai pemberitaan dan kabar yang bernuansa negatif seperti misalnya anjlok IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan); adanya intimidasi dan teror yang terjadi pada Tempo (salah satu media massa yang kritis terhadap pemerintahan), korupsi Pertamina; kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah anggota Polri dan TNI terhadap pengunjuk rasa; orang bermasalah di masa lalu yang masuk pengurusan DANANTARA; sejumlah kasus kriminal yang melibatkan aparat penegak hukum sebagai pelakunya; menurun jumlah kelas menengah Indonesia, yang menandakan lesunya ekonomi kita; nilai tukar mata uang kita yang semakin lemah dari hari ke hari; dan berbagai pemberitaan negatif lainnya, yang betul-betul menjadi ujian paling nyata yang terjadi sepanjang Ramadan 2025. Mungkin tahun-tahun sebelumnya di bulan Ramadan ramainya itu perkara warteg buka siang hari yang digerudug ormas, tapi Ramadan tahun ini ada peningkatan, ujian kita naik tingkat, semoga ini adalah sebuah tanjakan sebelum turunan panjang di hari depan.
ADVERTISEMENT
Refleksi Kehidupan Bernegara dari Momentum Idulfitri
Idulfitri selalu mengandung makna pulang—pulang ke kampung halaman, dan secara spiritual, pulang ke fitrah. Di saat jutaan orang menempuh perjalanan panjang demi bertemu keluarga dan menghapus jarak yang memisahkan, seharusnya negara pun menempuh perjalanan moral yang sama: kembali ke fitrah konstitusionalnya, yaitu sebagai negara hukum, negara demokrasi, dan negara yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi.
Namun, Ramadan dan Idulfitri 2025 ini memperlihatkan betapa jauhnya negara dari fitrahnya. Ketika rakyat sedang berjuang melawan lapar dan haus dalam ibadah, negara malah memunculkan kebijakan dan tindakan yang memperburuk dahaga keadilan. Alih-alih menguatkan demokrasi, negara justru mengerdilkannya lewat revisi undang-undang yang kontroversial, intimidasi terhadap media, kekerasan terhadap demonstran, dan pembiaran terhadap kesewenang-wenangan aparat.
ADVERTISEMENT
Dalam suasana Idulfitri, ketika umat Islam saling bermaaf-maafan, kita justru mendapati bahwa negara belum meminta maaf kepada rakyat atas kebijakan yang menyakiti mereka. Tidak ada pertanggungjawaban atas PHK massal ribuan buruh. Tidak ada klarifikasi terhadap revisi undang-undang yang ditentang publik luas. Tidak ada refleksi atas kekerasan yang dilakukan aparat terhadap pengunjuk rasa. Padahal, Idulfitri adalah momentum untuk mengakui kesalahan, membersihkan hati, dan memperbaiki hubungan. Seharusnya, tidak perlu ada “ndasmu” dan “anjing menggonggong” yang keluar dari seorang presiden, yang kita semua tahu arahnya ke mana–mengkerdilkan suara-suara kritis rakyat.
Jika benar negara adalah rumah bersama, maka rakyat berhak untuk merasa nyaman di dalamnya. Tetapi, bagaimana mungkin merasa nyaman jika rumah ini dirancang ulang tanpa mendengarkan penghuninya? Lebaran 2025 semestinya menjadi cermin untuk melihat kembali arah perjalanan bangsa—apakah kita benar-benar menuju keadilan, atau justru makin menjauh darinya?
ADVERTISEMENT
Di tengah hangatnya suasana Idulfitri tanggal 31 Maret lalu, di antara gema takbir yang mengagungkan keagungan Allah, kita pun bertanya: kapan negara kembali tunduk kepada nilai-nilai luhur yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945? Atau jangan-jangan, fitrah itu kini hanya tinggal ritual, sementara substansinya telah lama ditinggalkan?
Semoga #IndonesiaGelap bukan lah sesuatu yang benar adanya, semoga ini hanya sekadar tanjakan sementara, tetapi setelah itu ada turunan yang panjang. Pemerintah perlu melakukan refleksi serius tentang nasib berbangsa dan bernegara ke depan, jangan sampai petuah Ir. Soekarno yang masyhur jadi kenyataan: "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri".