Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Indonesia Tak Bisa Dipisahkan dari Mochtar Pabottingi
14 Juni 2023 11:14 WIB
·
waktu baca 8 menitADVERTISEMENT
Bagi Mochtar Pabottingi , “rumah” adalah keluarga dengan segenap anggotanya, terutama ayah dan/atau ibu yang bertanggung jawab dan mampu memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Tiap anggota keluarga dalam rumah seperti ini bisa membaca dan menyimpan buku.
ADVERTISEMENT
Perpustakaan adalah kepanjangan yang praktis tidak terbatas dari kebiasaan berbuku di rumah. Andai tiap buku yang baik ialah cakrawala sendiri, perpustakaan merupakan perkalian dan kepanjangan tanpa batas dari aneka cakrawala.
Seperti buku-buku dalam hal cakrawala, begitu pula rumah dan lingkungan pengalaman dalam perihal karakter manusia. Dan seperti cakrawala mematangkan karakter, begitu pula karakter memperluas cakrawala.
Berumah di buku
Alkisah, Mochtar kecil belum pernah lupa kalimat-kalimat perdana dari buku pelajaran bahasa Indonesia yang terekam dalam benaknya sejak usia lima tahun, “Ini si Didi. Si Didi sakit gigi. Ini si Minah. Si Minah sakit selesma.”
Kalimat-kalimat ini tertanam dini dalam benak Mochtar, bersama sejumlah ayat pendek dari Al-Qur’an dari rangkaian Surah Makkiah. Nyaris di bawah sadar, juga tertanam kisah-kisah La Mappa dari buku pelajaran bahasa Bugis dalam aksara “ka, ga, nga, nka…”.
ADVERTISEMENT
Namun, bahasa Indonesialah yang hingga usia dua puluh tahun paling berjasa membuka dan merentang cakrawala pemikiran Mochtar.
Ayah membelikan buku pelajaran bahasa Indonesia tadi untuk Mochtar pada awal 1950, sebelum Mochtar masuk sekolah rakyat (SR). Selain “Si Minah sakit selesma”, dia juga tak pernah lupa pada kata-kata “angin sepoi-sepoi basa”.
Sebagai seorang pemoeda pedjoeang di Bulukumba, ayah memang pengagum Sukarno dan ke mana-mana suka membawa gambar Bung Karno.
Jika ayah membelikan buku si Didi, Mochtar tidak ingat siapa yang pertama mengajarinya membaca buku. Boleh jadi kakak perempuannya pada malam-malam hari di bawah lampu teplok atau petromak bermerek Stormking yang digantung di tengah ruangan besar.
Mochtar suka cita melihat dan mendengar kakak membaca dan menghafal pelajaran di bawah lampu teplok. Ada sesuatu yang memeluk hangat dari dalam dan luar rumah di desa malam hari. Sesuatu yang menyatu dengan suara kakak, waktu itu berusia delapan tahunan, ditingkah suara jangkrik dan sahutan di musim hujan.
ADVERTISEMENT
Termasuk di situ desau daunan bambu dan nyiur di sekitar rumah serta sayup gemuruh sungai desa. Air sungai itu begitu jelah, meluncur deras lewat batu-batu gunung, kecil dan besar.
Mochtar yakin bahwa “Si Minah sakit selesma” atau “angin sepoi-sepoi basa” takkan terekam sekuat itu dalam benak kecilnya tanpa sentuhan keteduhan desa. Dia juga yakin bahwa ibu dan ayah berperan kuat dalam rekaman abadi itu.
Lamat-lamat, mungkin juga kakek dan nenek, serta segenap sanak dekat dengan siapa mereka sekeluarga melewati tahun-tahun 1950-1953 di desa, yang bagi Mochtar terentang panjang, bernas, dan indah.
Rumah atau lingkungan-pengalaman perdana telah membentuk karakter modal Mochtar. Baru di usianya ke duapuluh empat, tatkala tinggal bertahun-tahun di tengah subkultur Jawa, Mochtar menyadari bahwa ayah, yang hanya lulusan ‘sekolah kelas dua”, telah menanamkan lewat petuah-petuah semenjananya keempat patokan siri’ dari “sistem” nilai Bugis-Makassar, yaitu lempu, getting, acca, dan warani, yang otomatis mencakup dua nilai sentral liyan: deceng dan paccing.
ADVERTISEMENT
Lempu’ (juga dengan bunyi huruf “e” seperti pada kata “elang”) berarti lurus dan jujur; getting (masih dengan bunyi huruf “e” yang sama) berarti teguh, tegas, dan tegar; acca berarti berilmu, bijak, cendekia; dan warani, berani. Kata deceng (dengan bunyi huruf “e” seperti pada kata “elok”) berarti kebenaran dalam hal perilaku dan pandangan hidup, dan paccing berarti kebersihan dalam perihal jiwa dan raga. Keempat atau keenam prinsip ini secara harfiah. Siri’ sendiri berarti malu seperti prinsip dan/atau kehormatan (Mattulada 1985).
Rentang internalisasi ini tidak hanya membuat semua pengalaman hidup bermakna, menyangkut kontak dan sentuhan-sentuhan manusiawi di tengah-tengah keluarga dan seterusnya, ia juga menghadirkan secara nyata konsep bangsa dan tanah air, membuat “Ini si Didi-Ini si Minah” dan “angin sepoi-sepoi basa” suara-suara yang terus berdengung dalam sanubari Mochtar.
ADVERTISEMENT
Kembang api cakrawala
Dalam autobiografinya, Burung-Burung Cakrawala (2013), Mochtar meneroka bahwa cakrawalanya pertama kali terbuka lewat Bahasaku. Buku teks pelajaran bahasa Indonesia untuk anak SR ini dipersiapkan baik sekali oleh pemerintah waktu itu. Mochtar mendapatkannya di Makassar antara 1953-1957.
Bahasaku memuat cerita-cerita dari dan tentang Indonesia dengan ilustrasi yang menyentuh dan mewakili seperti yang Mochtar akrabi; sungai dan gunung, pohonan pisang dan nyiur, burung-burung dan angon kerbau, lautan padi dan hamparan pantai di sepanjang pinggiran selatan dari rentang barat ke-timur Bulukumba, di mana perahu-perahu pinisi’ terus dibuat.
Di Makassar, bertolak dari bahasaku, cakrawala dan imajinasi Mochtar tersingkap serentak laksana seruak puspawarna cahaya dari ledakan kembang api besar. Dalam kurun usia 9-15 tahun, cakrawala dan atau imajinasi Mochtar menggapai lepas ke berbagai dunia dan penjuru.
ADVERTISEMENT
Mochtar membaca serial komik Siti Gahara, Flash Gordon, Sie Jin Kui, Arjuna Wiwaha, Rip Kirby, Sam Kok, Mahabarata, Mandarake, dan Ramayana.
Juga serial komik pahlawan seperti Pattimura, Diponegoro, dan Untung Surapati. Begitu pula komik-komik yang menokohkan Gatotkaca, Petruk, Gareng, dan Semar (yang kentut dahsyat itu!).
Mochtar melahap cerita-cerita tentang perompak lanun yang biasa bertarung di laut lepas, bahkan di tengah badai samudera. Dia hanyut dalam suka-duka Remi di lorong-lorong pertambangan dalam Sebatang Kara-nya Hector Malot, yang berlatar awal Revolusi Industri di Eropa.
Sedari kelas satu Sekolah Menengah Pertama (SMP), 1958, Mochtar mendapatkan pelajaran bahasa Inggris dari buku karangan M. van Delden, Progressive English Course. Di situ, dia selalu ingat cerita Jack and the Beanstalk dan The Man with the Pipe.
ADVERTISEMENT
Pada kelas lima SR, di tahun 1956, Mochtar telah ikut membaca Siti Nurbaya Marah Roesli, Layar Terkembang Sutan Takdir Alisjahbana, serta Tenggelamnya Kapal Van der Wijk dan di Bawah Lindungan Ka’bah serta Lembaga Budi dari Buya Hamka.
Sampai usia dua belas, tak jarang Mochtar berjalan kaki berkilo-kilo ke utara maupun ke selatan Makassar hanya untuk menukarkan komik atau buku cerita yang dia punyai dengan milik kawan yang belum dia baca.
Kerap Mochtar tahan berdiri berjam-jam membaca komik tanpa membeli satu pun. Dari kelas satu hingga kelas tiga SMP, dia mulai menulis catatan-catatan pribadi.
Pelbagai prinsip hidup yang diajarkan ayah, keragaman kultural dari buku-buku yang Mochtar baca, dan tinggal sejak usia delapan tahun di bagian-bagian pusat perdagangan yang bersifat multikultural di Makassar telah membuat jiwanya terbuka sejak dini pada orang-orang dari kultur, etnis, bahkan ras yang lain.
ADVERTISEMENT
Kenikmatan membaca menggiring Mochtar untuk juga melahap cerita-cerita silat Kho Ping Hoo. Ditunjuki dan didorong-dorong oleh A Fang, tetangga Tionghoa dari jarak tiga rumah sekaligus sahabat yang jago cerita, Mochtar lantas meninggalkan karya-karya Kho Ping Hoo untuk beralih ke karya-karya Cin Yung yang jauh lebih mengasyikkan.
Setamat SMA tahun 1963, Mochtar masuk Fakultas Sosial dan Politik, di Universitas Hasanuddin. Setahun di situ, dia pindah ke Fakultas Sastra Inggris karena merasa paling dia butuhkan saat itu ialah penguasaan bahasa Inggris.
Sejak 1963, cerita-cerita pendek, beberapa puisi, dan artikel-artikel Mochtar mulai dimuat di koran-koran mingguan di Makassar. Ada kenikmatan tersendiri tiap kali tulisan kita terbit dan dibaca orang. Hidup terasa lebih bermakna jika yang kita pandang bermakna juga ditinjau demikian oleh pembaca. Perihal ini memperkuat dorongan untuk lebih jauh lagi menjelajah dunia maknawi itu.
ADVERTISEMENT
Satu dua kali Mochtar tampil sebagai juara lomba baca puisi, tapi dalam hal ihwal ini dia masih kalah dari adik perempuannya. Tahun 1964, Mochtar memenangkan lomba penulisan cerita pendek se-Sulawesi Selatan. Hadiahnya adalah dua jilid edisi tebal dan istimewa dari kumpulan tulisan Presiden Sukarno: Di Bawah Bendera Revolusi.
Singkat cerita, Mochtar Pabottingi–lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan titimangsa 17 Juli 1945—mendapat gelar sarjana Sastra Inggris dari Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada 1972.
Dia pindah ke Jakarta tahun 1974, dan sempat bekerja sekira enam bulan di Kedutaan Besar Inggris sebagai press assistant sebelum pada 1975 memilih menjadi ko-editor majalah Titian yang dikelola kedutaan Besar Amerika Serikat. Tahun 1977, dia diterima sebagai calon peneliti di Lembaga Kemasyarakatan dan Ekonomi Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Leknas-LIPI).
ADVERTISEMENT
Tahun 1980, Mochtar Pabottingi berhasil memperoleh beasiswa tingkat Master selama dua tahun di Department of Sociology, University of Massachusetts di Ammherst, Massachusetts, Amerika Serikat, dari Fulbright Hayes.
Pada 1983, Mochtar kembali meraih beasiswa doktoral untuk empat tahun dari East-West Center yang memungkinkannya masuk ke Political Science Department, University of Hawaii di Manoa, AS.
Tahun 1987 hingga 1989, Mochtar mendapat bantuan pembiayaan dari Ford Foundation atas penulisan disertasinya yang berjudul “Nationalism and Egalitarianism in Indonesia, 1908-1980: Probing the Problem of Discontinuity in Indonesian Political Discourses and Practises”.
Mochtar Pabottingi kembali ke Puslitbang Politik dan Kewilayahan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPW-LIPI) tahun 1989 dan diangkat sebagai Kepala Balai untuk bidang politik.
Tahun 1994-2001, Mochtar ditunjuk sebagai Kepala Pusat di lembaga yang sama. Titimangsa 22 Juni 2000, dia meraih gelar Ahli Peneliti Utama (APU) dan memperoleh undangan untuk menjadi profesor tamu di University of Wisconsin at Madison, AS pada Spring Semester 2001. Mochtar diangkat sebagai anggota Akademi Jakarta pada 2002.
ADVERTISEMENT
Beberapa buku karya Mochtar Pabottingi, di antaranya: Islam: Antara Visi, Tradisi, dan Hegemoni Bukan Muslim (1986); Political Legitimacy in Southeast Asia: The Quest for Moral Authority (1995); himpunan esai kolom Suara Waktu (1999); kumpulan puisi Rimba Bayang-Bayang (Kompas, 2003); dan autobiografi Burung-Burung Cakrawala (2013).
Arkian, Mochtar Pabottingi yakin bahwa karakter modal yang dia miliki terbentuk pertama-tama berkat dan di sekitar Ayah dan Ibu. Kemampuannya berbicara di depan khalayak mungkin justru menurun dari Ibu, yang semasih muda memang suka memberi ceramah dan aktif di Aisyiah.
Adapun cakrawala sebagian hidup Mochtar peroleh dari pengalaman, terutama selama di rantau, tetapi pada umumnya dari tidak terhitung bacaan baik yang akhirnya terpatri dalam benaknya, yang kelak ditata oleh sistem otak pada relung-relung dan lapis-lapis ingatan, maupun pada pelbagai lapisan bawah sadar. Karakter dan cakrawalanya membentuk suatu kontinuum dialektis yang kimpal.
ADVERTISEMENT