Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Urgensi Regulasi Tunggal Administrasi Pertanahan
5 Maret 2025 11:55 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Indonesia, dengan total luas lahan sekitar 190 juta hektar, menghadapi kompleksitas administrasi pertanahan. Hal itu berakar pada tumpang tindih regulasi dan kewenangan antarlembaga negara. Beberapa peraturan yang sering kali berbenturan antara lain adalah Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Transmigrasi, serta sejumlah peraturan yang mengatur tanah adat ulayat dan tanah bekas penguasaan asing atau tanah partikelir (eigendom). Ketidaksinkronan ini menciptakan berbagai sengketa, baik antara masyarakat dengan pemerintah maupun antara lembaga pemerintah itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Sertifikasi tanah yang seharusnya memberikan kepastian hukum justru seringkali menjadi sumber konflik. Misalnya, tanah yang semestinya diberikan hak milik (SHM) atau hak guna bangunan (SHGB) oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), kerap berbenturan dengan kepentingan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mengklaim area tersebut sebagai bagian dari kawasan hutan.
Salah satu contoh nyata tumpang tindih adminisrasi pertanahan sebagaimana konflik lahan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Masyarakat adat yang memiliki hak ulayat atas tanah tersebut harus berhadapan dengan klaim hutan produksi oleh KLHK. Sebanyak empat orang tokoh masyarakat Adat di Komunitas Hibun Sanjan Kunut dituduh melakukan penyerobotan lahan Kebun Plasma Divisi 13 PT. Kebun Ganda Prima. Sengketa ini berujung pada konflik sosial dan ketidakpastian hukum bagi warga.
ADVERTISEMENT
Ketidaktepatan dalam pencatatan dan pemetaan tanah menjadi salah satu faktor utama permasalahan. Dari 190 juta hektar luas daratan Indonesia, sekitar 72 juta hektar berada dalam kewenangan ATR/BPN dan sisanya dianggap hutan dalam kewenangan KLHK. Dari kewenangan yang dimiliki ATR/BPN, sekitar 10 juta hektar dialokasikan untuk tanah adat ulayat dan 3 juta hektar dikelola oleh Kementerian Transmigrasi untuk program pemukiman transmigran. Tanpa adanya integrasi data yang menyeluruh, penentuan status lahan menjadi sulit, yang pada akhirnya merugikan masyarakat serta menghambat investasi dan pembangunan.
Konflik lahan yang melibatkan perusahaan besar juga menjadi masalah yang merugikan perekonomian nasional. Contoh lain adalah sengketa lahan di Riau, di mana perusahaan kelapa sawit bersengketa dengan masyarakat adat atas penguasaan lahan. Konflik ini berdampak pada ketidakstabilan investasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi sektor agribisnis yang memiliki kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
ADVERTISEMENT
Keberadaan regulasi yang tidak terkoordinasi juga memperburuk perlindungan hutan. Kasus di Papua dan Kalimantan menunjukkan bahwa banyak lahan hutan konservasi dialihfungsikan untuk perkebunan sawit atau pertambangan ilegal. Realitas demikian akibat lemahnya pengawasan dan perbedaan data kepemilikan lahan antara ATR/BPN dan KLHK. Hal ini berdampak langsung pada kerusakan ekosistem, hilangnya keanekaragaman hayati, serta meningkatnya emisi karbon yang merugikan lingkungan secara global.
Ketidakpastian hukum dalam kepemilikan lahan juga menghambat investasi. Menurut data Bank Dunia, kepastian hukum atas tanah meningkatkan daya tarik investasi hingga 40 persen. Dengan regulasi yang tidak jelas, banyak investor memilih untuk tidak menanamkan modalnya di Indonesia karena risiko hukum yang tinggi. Padahal, dengan sistem administrasi tanah yang jelas dan terintegrasi, nilai ekonomi sektor properti dan agribisnis dapat meningkat pesat, menciptakan banyak lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh nyata dampak buruk dari regulasi yang tidak terkoordinasi adalah kasus pagar laut di Tangerang dan Bekasi, di mana terjadi penyerobotan lahan hutan mangrove serta lahan laut. Kejadian ini menegaskan perlunya kesatuan administrasi pengelolaan tanah dan ruang. Sejumlah permasalahan tanah di Indonesia sangat berkaitan dengan riwayat kepemilikan, yaitu sengketa akibat perbedaan dokumen administratif. Penggusuran dan perobohan rumah warga Cluster Setia Mekar Residence yang memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) secara sah di Kabupaten Bekasi oleh juru sita pengadilan, menjadi preseden hukum terbaru menyangkut pertanahan.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Indonesia membutuhkan regulasi tunggal dalam administrasi pertanahan. Konsep single administration harus segera diterapkan, dengan mengintegrasikan data kepemilikan tanah, sertifikat peta tanah, sertifikat peta hutan, dan sertifikat peta lahan transmigrasi dalam satu sistem terpadu. Digitalisasi dan transparansi dalam pengelolaan tanah menjadi langkah fundamental agar setiap instansi dapat mengakses data yang sama dan menghindari konflik kewenangan.
ADVERTISEMENT
Harmonisasi undang-undang yang mengatur pertanahan menjadi keharusan. Pemerintah perlu membentuk lembaga koordinasi khusus yang berfungsi sebagai penghubung antara Kementerian ATR/BPN, KLHK, Kementerian Transmigrasi, serta pemerintah daerah dalam menentukan status dan peruntukan tanah. Dengan demikian, kepastian hukum bagi masyarakat dapat terjamin, dan pembangunan dapat berjalan lebih efektif tanpa hambatan regulasi yang saling tumpang tindih.
Indonesia harus segera mengambil langkah konkret untuk menciptakan regulasi pertanahan yang lebih sederhana, terpadu, dan akuntabel. Dengan sistem administrasi pertanahan yang terintegrasi, diharapkan sengketa agraria dapat diminimalkan dan pembangunan nasional dapat berjalan lebih optimal demi kesejahteraan seluruh rakyat.