Konten dari Pengguna

Perjanjian Bowring dan Reformasi Rama IV: Sebab Tidak Dijajahnya Thailand

Muhammad Nur Azza
Mahasiswa S-1 Hubungan Internasional Universitas Sebelas Maret
24 November 2024 12:12 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nur Azza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wat Arun atau Kuil Fajar di Bangkok (Sumber Gambar: Freepik)
zoom-in-whitePerbesar
Wat Arun atau Kuil Fajar di Bangkok (Sumber Gambar: Freepik)
ADVERTISEMENT
Mungkin ini menjadi sebuah pertanyaan yang cukup sering saya dengar. Bagaimana bisa Thailand tidak dijajah? Padahal, negeri-negeri di sekitarnya sudah berada di bawah kaki kolonialisme bangsa barat. Oleh karena hal tersebut, rakyat Thailand hingga kini dapat berbangga diri, menunjukkan status sebagai "Yang Tidak Pernah Terjajah". Pada artikel kali ini, saya berusaha untuk merangkum apa yang menjadi sebab-sebab Siam (nama Thailand masa itu) tidak dijajah oleh bangsa barat. Saya sendiri sering melihat artikel-artikel di internet yang sudah mencoba menjawab pertanyaan ini. Sebagian besar artikel-artikel tersebut menjawab bahwa Miskinnya Sumber Daya Alam menjadi penyebab Thailand tidak di jajah. Tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar. Justru faktor utama dari tidak dijajahnya Thailand adalah sebuah gerakan reformasi besar-besaran yang dimulai sekitar pertengahan abad ke-19 yang menurut Ricklefs dalam bukunya 'Sejarah Asia Tenggara' menyebut bahwa reformasi ini ditandai oleh dua sebab yakni naiknya Raja Rama IV (1851-1868) serta Perjanjian Bowring pada tahun 1855.
ADVERTISEMENT

Bertakhtanya Raja Mongkut (Rama IV)

Raja Mongkut, yang lahir tahun 1804, adalah putra Raja Rama II dan Ratu Srisuriyendra, sekaligus cucu Raja Rama I, pendiri Dinasti Chakri. Dia juga merupakan adik Raja Rama III. Mongkut mulai bertakhta pada tahun 1851, saat usianya 47 tahun. Sebelumnya, di masa pemerintahan saudaranya, dia menjalani kehidupan sebagai biksu selama 27 tahun. Menariknya, Mongkut sudah menjadi samanera (biksu muda) sejak usia 14 tahun sebelum akhirnya menjadi biksu penuh.
Ia adalah seorang raja yang berwawasan luas. Raja Rama IV cukup mahir dalam bahasa Inggris (untuk ukuran orang Asia Tenggara pada masa itu, ia bisa dibilang cukup fasih). Dia bahkan sering menulis surat dalam bahasa itu kepada berbagai negara, termasuk surat-surat untuk Ratu Victoria dari Inggris. Tujuannya jelas, untuk mempererat hubungan antara Thailand dan Inggris. Ia sangat tertarik pada kebudayaan barat yang lalu ia bawa pada sistem pemerintahannya yang kemudian disebut Ricklefs sebagai 'Westernisasi Permanen'. Hal yang juga diteruskan pada masa kepemerintahan putranya yang nantinya naik takhta menggantikan dirinya sebagai Rama V (Chulalongkorn). Ia digambarkan sebagai Raja yang luar biasa yang berhasil membawa Thailand melangkah dari masa 'kegelapan' ke era modern, sehingga negara ini bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dengan kebijaksanaan yang hebat, dia memimpin Thailand untuk beradaptasi, menggabungkan budaya dan ide-ide lokal dengan pengaruh Barat secara harmonis. Pada saat ia bertakhta, negeri tetangga yakni Burma telah kalah berperang melawan Inggris (The Second Anglo-Burmese War yang berlangsung pada tahun 1852-1853). Hal ini membuatnya dan kelompok pejabat elitnya yang juga sama-sama memiliki perspektif intelektual memikirkan cara untuk 'menyelamatkan' Siam dari ketidakaturan gelombang geopolitik Asia Tenggara yang makin kacau itu (Kala itu sebagian besar wilayah Asia Tenggara sudah takluk pada tangan Asing. Termasuk Jawa yang sudah takluk sepenuhnya akibat kekalahan pemberontak dalam Perang Dipanegara). Rama IV menyadari bahwa penting untuk mempersiapkan orang-orang Siam dari gelombang tekanan bangsa barat ini. Ia kemudian membawa beberapa guru asing untuk mengajari anak-anak dari golongan bangsawan. Keputusan untuk menyekolahkan orang-orang Siam ini bukanlah tanpa alasan yang jelas. Tak lain, niat Rama IV (nantinya kebijakan ini akan diteruskan dan lebih dikembangkan oleh Rama V, akan saya jelaskan di bawah) adalah untuk memastikan adanya golongan elit yang berpendidikan Barat yang nantinya disiapkan untuk memerintah Siam agar mampu menjalin hubungan 'yang setara' dengan kekuatan-kekuatan Eropa.
ADVERTISEMENT
Namun boleh dibilang usaha reformasi yang dilakukan Mongkut kurang mulus. Meski secara teori ia memerintah sebagai raja dalam sistem monarki absolut, kenyataannya kekuasaannya terbatas. Seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Ia menghabiskan 27 tahun sebagai biksu, maka ia kurang mempunyai pengalaman dan kedekatan pada kalangan elit. Sebagai akibatnya, Raja Rama IV tidak punya dukungan yang kuat dari para pangeran kerajaan dan juga belum memiliki aparatur negara modern untuk mewujudkan kebijakannya.

Perjanjian Bowring

Mungkin pola ini hampir sama dengan apa yang terjadi pada Keshogunan Tokugawa di Jepang. Shogun-shogun Tokugawa menerapkan kebijakan pembatasan pada perdagangan luar negeri yang ternyata juga terjadi di Siam.
Pada tahun 1855, Gubernur Hong Kong, Sir John Bowring, datang ke Bangkok membawa tuntutan perubahan yang didukung ancaman kekerasan (Sebenarnya menurut Ricklefs, perjanjian ini bukanlah sebuah 'paksaan' yang datang secara tiba-tiba pada sebuah negeri 'tertutup'). Untuk menghindari konflik, Raja setuju dengan Perjanjian Bowring. Perjanjian ini membatasi bea masuk hingga 3%, menghapus monopoli perdagangan kerajaan, dan memberikan hak ekstrateritorial bagi warga negara Inggris. Tak lama, negara Barat lainnya menuntut dan mendapatkan konsesi serupa.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Sir John Bowring dalam merundingkan perjanjian tersebut sebagian besar disebabkan oleh posisinya sebagai utusan resmi pemerintah Inggris, bukan hanya sebagai wakil kepentingan komersial. Berbeda dengan misi-misi sebelumnya yang dikirim oleh British East India Company, Bowring kali ini mewakili pemerintah Inggris secara langsung, yang berarti bahwa tujuannya bukan sekadar memperjuangkan kepentingan perdagangan lokal di India dan Melayu, tetapi untuk kebijakan Inggris secara keseluruhan.
Raja kemudian menyadari bahwa ancaman terbesar Siam sebenarnya datang dari Prancis, bukan Inggris. Inggris lebih fokus pada keuntungan dagang, sedangkan Prancis gencar memperluas wilayah koloninya. Mereka menduduki Saigon pada 1859 dan mendirikan protektorat di Vietnam bagian selatan serta Kamboja pada 1867. Raja Rama IV berharap konsesi ekonomi yang diberikan kepada Inggris akan membuat mereka melindungi Siam. Meski pada akhirnya harapan ini meleset, Inggris tetap menganggap Siam sebagai negara penyangga strategis antara Burma yang dikuasai Inggris dan wilayah lainnya. Perjanjian ini, meskipun mengurangi kemandirian hukum dan keuangan Siam, berhasil menyelamatkan negara tersebut dari serangan militer dan penjajahan kolonial yang menimpa banyak negara Asia Tenggara lainnya. Dengan beradaptasi dengan tuntutan Barat, Siam berhasil menghindari nasib yang lebih buruk, seperti yang dialami oleh negara-negara tetangga.
ADVERTISEMENT
Perjanjian ini menjadi sebuah 'stimulus' ekonomi Siam. Komoditas beras yang pada mulanya merupakan komoditas untuk kehidupan harian orang Siam semata, kemudian menjadi komoditas ekspor. Para petani lalu termotivasi untuk menghasilkan surplus beras. Lahan-lahan yang 'tak berpenghasilan' diubah menajdi area persawahan, misalnya saja Lembah Sungai Chao Phraya. Pemerintah Siam kemudian menyediakan beragam fasilitas seperti jaringan kanal yang cukup luas untuk pengairan dan transportasi.

Rama V dan Pengembangan Reformasi Siam

Mongkut sudah berhasil dalam reformasi budaya dan intelektual Siam. Kini giliran putranya, Rama V (Chulalongkorn)yang melakukan restrukturisasi dalam bidang politik, pemerintahan serta sosial. Ia adalah Raja Siam pertama yang mendapatkan pendidikan Barat penuh. Membuat dirinya terlihat sangat progresif. Kebijakan-kebijakan reformasi yang dilakukan Chulalongkorn memiliki pola yang sama dengan yang dilakukan ayahnya. Reformasi ini adalah reaksi dari tekanan eksternal bangsa Barat. Negeri-negeri tetangga seperti Kamboja dan Vietnam sudah jatuh ke tangan Barat. Hal ini tentu saja membuat Siam, siap tak siap harus menghadapi ancaman ambisius dari 'Tetangga Kolonial'.
ADVERTISEMENT
Sama seperti ayahnya, usaha Chulalongkorn untuk mereformasi politik Siam tidaklah semulus Wol Kashmir. Ia harus berhadapan pada orang-orang yang mencoba untuk menyainginya. Satu-satunya kekuatan yang dianggap cukup kuat untuk melawan Chulalongkorn ialah Mahapatih Chuang Bunnag. Masa awal pemerintahan Chulalongkorn, kekuasaannya didominasi Bunnag ini. Ia kemudian menjadi 'Raja Kedua' dalam monarki Siam yang kemudian diwariskan pada Pangeran Wichaichan (sepupu tua Chulalongkorn). Saya tak akan membahas lebih lanjut mengenai diarki Siam ini karena nantinya akan menjadi sangat panjang penjelasannya. Saya akan lebih berfokus pada usaha reformasi Chulalongkorn.
Pada awal 1870-an, Chulalongkorn mengkonsolidasi sebuah kekuatan yang berisi bangsawan dan kalangan elit yang memiliki pandangan yang sama dengannya yakni 'Perubahan'. Karena selama ini, warisan struktur politik Siam didominasi oleh kekuatan-kekuatan dan jabatan (misal menteri) yang sebenarnya tak terlalu penting dan tidak memiliki tugas yang jelas. Kekuatan ini didominasi oleh keluarga Bunnag seperti yang sudah saya jelaskan secara singkat di atas. Maka Chulalongkorn melakukan sebuah 'eksperimen' dengan membentuk dua dewan yang meniru sistem di Inggris yakni Thi Prueksa Nai Phra Ong (Privy Council of Siam) dan Shapta Thi Prueksa Ratchakan Phaendin (Council of State). Kedua dewan ini diisi oleh para simpatisan muda yang dianggap menyukai perubahan dan bisa menjadi tandingan kekuatan keluarga Bunnag yang konservatif.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya sekitar tahun 1880, Chulalongkorn mampu menjalankan kebijakan reformasinya dengan lancar. Ketika para menteri dan bangsawan senior telah meninggal dunia atau pensiun, ia mengisi posisi-posisi kosong tersebut dengan para pangeran dan bangsawan muda yang walau orang-orang ini tidak mendapat pendidikan Barat, Chulalongkorn sudah mempersiapkan mereka untuk menjadi 'Pemerintahan yang Reformis'. Maka beberapa tahun kemudian, sudah jelas bahwa monarki Siam menyerupai monarki Barat dengan struktur kepemerintahan yang jelas. Ia juga meneruskan kebijakan 'Pendidikan Barat' ayahnya dengan mengirimkan keluarnganya ke luar negeri untuk menempuh pendidikan Barat. Dengan konsolidasi kekuatan sejalan dengan pandangan Chulalongkorn dan bangsawan yang berpendidikan Barat, kereta api dan sistem telegram mulai berkembang, bahkan hingga ke daerah-daerah terpencil dan provinsi semi-otonom. Mata uang Siam juga diubah menjadi standar emas, sementara sistem modern menggantikan perpajakan sewenang-wenang dan tenaga kerja paksa yang berlaku sebelumnya. Namun, masalah terbesar yang dihadapi adalah kekurangan pegawai negeri yang terlatih, sehingga banyak orang asing yang dipekerjakan hingga sekolah-sekolah baru bisa dibangun dan melahirkan lulusan pribumi. Hingga tahun 1910, saat Raja meninggal, Siam telah berkembang menjadi negara yang semi-modern dan berhasil menghindari penjajahan yang menimpa banyak negara Asia Tenggara lainnya. Sementara itu, reformasi terus berlangsung dengan cepat, mengubah monarki absolut yang sebelumnya didasarkan pada hubungan kekuasaan tradisional, menuju sistem yang lebih modern yang berfokus pada konsep negara bangsa.
ADVERTISEMENT

Referensi

Ricklefs, M. C. (2013). Sejarah Asia Tenggara: dari masa prasejarah sampai kontemporer
Wolpert, S. A. (n.d.). Bowring Treaty | Anglo-Siamese, Trade Agreement, Diplomacy. Britannica. Retrieved November 23, 2024, from https://www.britannica.com/event/Bowring-Treaty
Bhamorabutr, A. (1983). The Chakri dynasty. D.K. Today.
พระบาทสมเด็จพระจอมเกล้าเจ้าอยู่หัว. (n.d.). https://bit.ly/2WpZYZD