Mengingat Kematian Sejenak

Muhammad Saddam Haikal
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta.
Konten dari Pengguna
1 Agustus 2022 15:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Saddam Haikal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian orang, kematian adalah hal yang ditakuti dan menyeramkan. Kematian seringkali dijadikan sebagai representasi atas ketidakberdayaan karena manusia sangat benci dengan keadaan tersebut. Maka dari itu, kata "kematian" seakan menjadi hitam dan tabu untuk dibicarakan. Alhasil, pembicaraan mengenai kematian pun sangat jarang dijadikan topik utama ketika bercakap dengan teman atau keluarga. Padahal, jika kita pahami lebih dalam, kematian merupakan topik yang patut dibincangkan setidaknya sekali seumur hidup.
ADVERTISEMENT
Kematian pada dasarnya tidak perlu dan tidak pantas ditakuti karena memang sudah menjadi kondrat kita sebagai manusia. Dengan kata lain, kita akan menemui kematian pada akhirnya, cepat atau lambat. Kesadaran akan kematian yang mulai terkesan dihindari tersebut menyebabkan manusia terlena dengan kehidupan. Mau tidak mau, sering kita temukan perbuatan dan sikap manusia yang terlewat batas pada kehidupan nyata maupun dunia digital. "Terlewat batas" di sini menggambarkan keterlenaan manusia terhadap aspek-aspek kehidupan yang sementara sehingga menimbulkan sikap hedonisme, intoleransi, apatisme, hiperglamor, dan sebagainya.
Oleh karena itu, sudah menjadi urgensi bagi kita semua untuk membangun kesadaran kembali bahwa kita bisa meninggalkan dunia ini kapan saja. Dengan begitu, seluruh pikiran, sikap, dan tindakan kita akan lebih tertata dan dipertimbangkan dengan akal sehat sehingga tidak menyebabkan penyesalan di masa mendatang dan merugikan diri sendiri atau orang lain. Di sinilah peran mengingat kematian menjadi penting, sebagai salah satu strategi yang bisa diterapkan.
ADVERTISEMENT

Memento Mori

Bila ditarik ulur kembali ke zaman Yunani Kuno, khususnya pada masa stoikisme tumbuh pesat, perihal kematian ini sudah menjadi bahan pembicaraan para filsuf, baik yang termansyur sampai amatiran sekalipun. Mereka menyebut istilah mengingat kematian sebagai memento mori.
Memento mori, dalam bahasa Latin, memiliki arti "ingat bahwa Anda akan mati". Ungkapan ini seringkali disandingkan dengan berbagai macam penggambaran kematian, seperti tengkorak, jam pasir, pecahan kaca, tanaman yang membusuk, dan berbagai macam objek bernuansa ajal lainnya. Tujuan dari memento mori bukanlah untuk menakuti-nakuti manusia terhadap takdirnya yang fana. Sebaliknya, penanaman memento mori bertujuan agar kita senantiasa mengingat bahwa segala kenikmatan yang ada di dunia ini hanyalah sementara. Untuk itu, kita tidak lagi tertipu dengan berbagai simbol-simbol duniawi: kemewahan, kecantikan, kemiskinan, dan kesakitan.
ADVERTISEMENT
Jika dilihat dari segi tingkat ekonomi, memento mori agaknya lebih sulit diterapkan oleh mereka yang hidup serba-berkecukupan. Kekayaan, jabatan, dan kecantikan jauh lebih membutakan daripada kemiskinan, kebodohan, dan kejelekan. Hal ini karena makin tinggi posisi spektrum kita terhadap dunia, makin mudah pula kita tergiur dengan kehidupan.
Gejala di atas cenderung sulit dirasakan oleh mereka yang hidup serba pas-pasan. Penggambaran mereka terhadap dunia justru berbeda seratus delapan puluh derajat. Dalam situasi yang ekstrem dan depresif, mereka menganggap dunia berjalan sangat lambat hingga membuat mereka berpikir "lebih baik saya mati saja". Walaupun terdengar tidak mengenakkan, begitulah yang terjadi apa adanya. Keadaan dikotomi seperti ini juga terjadi pada aspek-aspek lain, seperti pintar-bodoh, tampan-jelek, sehat-sakit, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Eitss! Tenang; tak perlu khawatir. Apa pun keadaan dan takdir kita, memento mori selalu dapat digunakan sebagai fondasi utama untuk lebih menghargai dan menikmati kehidupan ini, baik bagi si miskin maupun si kaya.
Sebenarnya, tidak ada teknik atau prosedur khusus untuk menjalankan memento mori. Semua orang bisa memulainya dengan cara masing-masing, bahkan sekadar beristirahat sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan berpikir "kita akan mati" pun sudah terhitung sebagai latihan. Yang terpenting adalah kesadaran dan komitmen dalam menanamkan nilai-nilai tersebut dalam keseharian.
Namun, sebagai salah satu jalan menuju kebahagiaan, terdapat dua kiat yang bisa kita gunakan agar penanaman memento mori menjadi lebih terarah dan mudah dipraktikkan. Bagaimana caranya?

1. Sadari betul bahwa tidak ada yang abadi

Kita semua akan bergabung dengan komunitas orang mati di pemakaman, suka atau tidak, kita akan menjadi member kuburan pada akhirnya. (Sumber: Pribadi)
Sebagai seorang manusia, satu hal yang perlu kita tanamkan dengan khitmat adalah keyakinan bahwa kita akan meninggalkan alam semesta ini. Kita akan terbaring di bawah tanah, menjadi debu, bercampur dengan cacing, dan membusuk.
ADVERTISEMENT
Tujuan dari semua ini bukanlah untuk membuat kita menjadi pesimis dan tidak bergairah dalam menjalani hidup. Sebaliknya, ketika kita paham dengan esensi kefanaan manusia, kita tidak lagi menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Selagi masih diberikan waktu untuk hidup, kita benar-benar memanfaatkan kesempatan itu dengan sungguh-sungguh, sehingga tidak ada lagi sikap menunda (prokrastinasi).
Tubuh, uang, kekasih, paras wajah, jabatan, bahkan hewan peliharaan sekalipun pada akhirnya akan meninggalkan kita; atau bisa jadi kitalah yang meninggalkan mereka lebih dulu. Menanamkan memento mori akan membuat kita tersadar bahwa sangat tidak realistis bila kita menginginkan segala sesuatu yang kita miliki di dunia ini untuk abadi.
Seorang manusia yang bijak, menurut Marcus Aurelius, adalah mereka yang senantiasa menggunakan waktu di sepanjang hidupnya untuk berlaku baik dan berguna bagi sekitar. Kesadaran akan kefanaan juga dapat memfokuskan hidup kita pada hal-hal yang memang kita anggap penting.
ADVERTISEMENT
Kita mungkin akan mulai bertanya tentang hal apa saja yang patut diperjuangkan selama masa hidup yang singkat ini. Dengan begitu, kita akan lebih mudah bersyukur dan menghargai segala sesuatu yang alam (Tuhan) berikan dengan sepenuh hati. Latihlah kebiasaan ini dan rasakan perubahannya.

2. Berbuat baik semampu kita

Tidak perlu mahal, berbuat baik juga bisa dilakukan hanya dengan senyuman. (Sumber: Pribadi)
Ketika kita sadar bahwa hidup ini hanya sementara, kita menjadi lebih mudah untuk peduli. Tingkat penghargaan kita terhadap waktu dan kesempatan pun ikut meningkat. Kita secara otomatis akan sadar bahwa harta yang paling berharga bukanlah uang, melainkan waktu dan kesehatan. Dengan begitu, kita akan lebih giat untuk peduli dan membantu antarsesama tanpa memandang latar belakang.
Perbuatan baik yang kita lakukan sekecil apa pun akan membawa rasa bahagia, setidaknya untuk diri kita sendiri. Namun, berbuat baiklah tanpa ada keinginan untuk dibalas. Cukup lakukan perbuatan baik tersebut dan jangan ceritakan kepada siapa pun. Alhasil, kita tidak lagi dikelilingi oleh perasaan "ingin dibalas" atas perbuatan baik yang telah kita lakukan. Sungguh sangat sayang jika kita malah terjatuh ke jurang kekecewaan karena merasa bahwa orang yang sudah dibantu tidak membalas apa pun kepada kita.
ADVERTISEMENT
Perbuatan baik juga tidak melulu soal uang. Kita bisa melakukan sesuatu yang simpel, mudah, gratis, dan terkesan kecil. Misalnya, memungut sampah di jalan, tersenyum kepada orang yang kita temui, mengucapkan terima kasih untuk pelayan di restoran, mencuci piring, atau bahkan sekadar mendoakan seseorang yang kita cintai: ibu, ayah, guru, kekasih, sahabat, atau diri sendiri.
Kita juga bisa melakukan perbuatan baik dengan dua cara, yaitu sembunyi-sembunyi atau terbuka. Kita tidak secara formal dilarang untuk selalu diam-diam ketika berbuat baik. Justru pada beberapa konteks tertentu, kita perlu menyampaikan dan memperlihatkan perbuatan baik kepada orang lain dengan catatan bahwa kampanye tersebut bukan untuk mencari pengakuan dari lingkungan sosial, melainkan murni mengajak, mengimbau, dan memotivasi orang-orang untuk ikut menjadi bagian dari langkah "menjadi orang baik" dengan cara dan kemampuan mereka masing-masing. Bayangkan, perbuatan semacam ini akan melahirkan efek domino yang positif sehingga pada akhirnya makin banyak pula orang yang akan terbantu. Alhasil, dunia ini tidak akan lagi dilanda krisis kepedulian atau apatisme.
ADVERTISEMENT
Apa pun cara yang dipilih—secara diam-diam atau terbuka—respons alami kita setelah berbuat baik sangatlah ampuh untuk meningkatkan rasa syukur. Kita akan merasa bahwa kita telah memanfaatkan kesempatan hidup dengan baik, yaitu menjadi seseorang yang peduli pada sekitar. Saya yakin, perasaan tenang itu saja sudah cukup untuk menggapai kebahagiaan hakiki, sehingga kita berangsur-angsur tidak lagi tergesa-gesa atau terlena dengan kehidupan. Lantas, kita menjadi pribadi yang empatis, bersahaja, dan toleran.

Praktik dan Komitmen

Teori yang tidak dipraktikkan sama saja seperti buah segar yang dibiarkan membusuk, alias sia-sia dan tidak bermanfaat. Untuk itu, uraian yang telah disampaikan di atas alangkah lebih baiknya mulai Anda praktikkan tahap demi tahap dalam keseharian.
Memento mori adalah salah satu jalan yang bisa Anda tempuh untuk sekiranya mencari hal yang benar-benar menjadi prioritas dan tujuan Anda dalam menjalani sisa umur dan waktu yang diberikan Tuhan. Hingga pada akhirnya, pengamalan memento mori dapat menumbuhkan rasa semangat dan motivasi untuk memperjuangkan hidup ini. Ingatlah selalu bahwa mengingat kematian tidak akan menjadi penghambat jika kita dengan sungguh-sungguh mau mempelajari dan mempraktikkannya.
ADVERTISEMENT
Akhir kata, Anda juga bisa menemukan berbagai referensi lain melalui buku, artikel, atau bahkan pemikiran Anda sendiri untuk bisa mengamalkan "ritual" memento mori ini sesuai kemampuan masing-masing. Kemudian, rasakanlah perubahan yang terjadi pada pikiran perasaan, dan tindakan Anda sebagai bentuk usaha untuk mengisi kehidupan yang fana ini. Selamat mencoba!
(Muhammad Saddam Haikal, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang tertarik dengan isu linguistik, filosofi, dan pengembangan diri)