Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
28 Ramadhan 1446 HJumat, 28 Februari 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Digitalisasi SHM: Upaya Mempermudah Akses Untuk Mafia Tanah
1 Maret 2025 14:00 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari M Fahmi Yahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di era modern ini, perkembangan teknologi berlangsung dengan sangat pesat, sehingga hampir setiap aspek kehidupan kita bergantung pada teknologi. Misalnya, dalam berbelanja, kini kita dapat dengan mudah membeli barang melalui aplikasi daring. Teknologi juga telah mempermudah berbagai aktivitas dengan digitalisasi, memungkinkan kita untuk mengakses informasi dan layanan dengan lebih cepat dan efisien.
ADVERTISEMENT
Salah satu bentuk digitalisasi yang telah diterapkan adalah perubahan barang fisik menjadi bentuk digital, seperti buku yang dulunya hanya tersedia dalam format cetak, kini bisa diakses dalam bentuk digital. Kemajuan ini memberikan kemudahan dalam mencari dan mengakses informasi. Sejalan dengan perkembangan ini, pemerintah juga turut memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan kebijakan baru, termasuk digitalisasi berbagai dokumen penting. Salah satu contohnya adalah program E-KTP yang pernah dirancang, namun gagal terealisasi akibat kasus korupsi yang melibatkan Setya Novanto.
Beberapa tahun kemudian, pemerintah kembali menerapkan kebijakan serupa, kali ini dengan menyasar Sertifikat Hak Milik (SHM). Jika sebelumnya setiap pemilik tanah dan bangunan menerima sertifikat dalam bentuk buku bersampul hijau, kini telah diperkenalkan sertifikat dalam format elektronik. Namun, kebijakan ini memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat. Beberapa akun di media sosial menilai bahwa digitalisasi ini dapat mempermudah mafia tanah dalam menjalankan aksinya. Selain itu, beredar narasi di media sosial yang menyatakan bahwa jika sertifikat tanah tidak segera dikonversi ke bentuk elektronik sebelum tahun 2026, maka aset tersebut akan menjadi milik negara.
ADVERTISEMENT
Salah satu unggahan video yang menyebarkan informasi tersebut berasal dari akun Instagram @kementerian.atrbpn pada Sabtu (8/2/2025). Dalam video itu, seorang narator perempuan menyampaikan bahwa pemerintah akan menerapkan regulasi baru yang mengharuskan sertifikat tanah dan properti lainnya dikonversi ke bentuk elektronik. Jika tidak dilakukan sebelum batas waktu yang ditentukan, aset tersebut akan dialihkan menjadi milik negara.
Menanggapi isu yang berkembang, Kementerian ATR/BPN segera memberikan klarifikasi melalui unggahan yang sama, menegaskan bahwa informasi tersebut adalah hoaks. Mereka memastikan bahwa sertifikat tanah dalam bentuk buku bersampul hijau tetap berlaku, meskipun telah tersedia layanan sertifikat elektronik. Selain itu, pemerintah tidak akan mengambil alih tanah atau aset warga hanya karena tidak melakukan konversi sertifikat ke format digital.
ADVERTISEMENT
Namun, kekhawatiran masyarakat terhadap regulasi ini masih belum mereda. Beberapa orang membandingkannya dengan kasus E-KTP, yang mengalami permasalahan besar akibat korupsi. Bedanya, dalam kasus sertifikat elektronik, kekhawatiran yang muncul lebih berkaitan dengan kemungkinan penyalahgunaan oleh mafia tanah. Salah satu unggahan di platform "X" memperingatkan masyarakat agar waspada terhadap kebijakan ini.
Dalam unggahan tersebut, disebutkan bahwa digitalisasi sertifikat tanah dapat menjadi celah bagi mafia tanah, pengembang properti besar, dan bahkan pemerintah untuk menghapus bukti kepemilikan masyarakat secara lebih mudah. Pernyataan dalam unggahan itu berbunyi:
*"Sertifikat digital hanya akan mempermudah akses bagi mafia tanah. Saat ini sertifikat tanah masih berbentuk fisik, tetapi jika sistem mengalami error atau data dihapus, kita tidak akan memiliki bukti kepemilikan. Pemerintah pun bisa dengan mudah menggusur warga... Jika sertifikat sudah berbentuk digital, cukup dengan satu tombol ‘delete’ untuk menghilangkan hak kepemilikan atas tanah.”*
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran ini semakin diperparah dengan rekam jejak pemerintah dalam mengelola sistem digital. Indonesia pernah mengalami kasus kebocoran data, salah satunya ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika, yang saat itu dipimpin oleh Budi Arie, mengalami serangan siber yang mengakibatkan kebocoran data Pusat Data Nasional Sementara (PDNS). Insiden tersebut berdampak serius pada sistem informasi berbagai instansi pemerintahan.
Berdasarkan pengalaman tersebut, dapat dikatakan bahwa kesiapan pemerintah dalam menerapkan sistem digitalisasi masih menjadi pertanyaan besar. Jika program digitalisasi Sertifikat Hak Milik (SHM) benar-benar diterapkan, masih ada berbagai aspek yang perlu dipastikan, mulai dari keamanan data hingga jaminan bahwa regulasi ini tidak merugikan masyarakat. Kekhawatiran publik terhadap potensi penyalahgunaan kebijakan ini cukup beralasan, terutama jika melihat riwayat kebocoran data yang pernah terjadi di instansi pemerintah sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Dari situasi ini, terlihat bahwa masyarakat Indonesia mengalami dilema dalam menanggapi kebijakan digitalisasi yang diterapkan pemerintah. Di satu sisi, digitalisasi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi, tetapi di sisi lain, masih ada kekhawatiran besar mengenai keamanan data dan potensi penyalahgunaan yang dapat merugikan masyarakat.