Kebebasan Berekspresi Berbanding Lurus dengan Kebebasan Tersinggung

Farih Fanani
Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga
Konten dari Pengguna
17 April 2021 9:29 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farih Fanani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pixabay
ADVERTISEMENT
Kebebasan berekspresi memang jargon yang cukup renyah untuk dipakai orang dalam menyampaikan suara di ruang publik. Namun, kebebasan berekspresi selalu berbanding lurus dengan kebebasan tersinggung. Seperti halnya ada gula ada semut, ada aku ada kamu, dan ada minimarket ada tukang parkir. Di mana ada kebebasan berekspresi, di situ ada juga orang yang akan tersinggung.
ADVERTISEMENT
Di masyarakat kita, ketersinggungan orang sudah mencapai level kritis. Perasaan tersinggung lahir atas tindakan dan opini orang lain di ruang publik yang susah diterima oleh masyarakat umum.
Sekarang ini, sudah tidak terhitung lagi berapa banyak orang yang menyinggung dan tersinggung. Sejak dahulu, orang Indonesia gemar sekali bernyinyir, akan tetapi juga gampang sekali hatinya tersentil.
Di dalam negeri, saat pandemi ini saja sudah lumayan banyak kasus ketersinggungan yang terjadi, meskipun tidak semuanya berujung pada bui. Mulai dari kasus yang remeh sehari-hari, hingga kasus yang melibatkan institusi.
Fakta bahwa ketersinggungan erat kaitannya dengan kebebasan berekspresi, tidak lantas membuat kita menganggap bahwa kebebasan berekspresi mesti ditinggalkan.
Saya, dan mungkin banyak orang bersepakat bahwa kebebasan berekspresi sangat penting untuk ditegakkan. Namun, saya juga sadar bahwa itu tidak akan bisa berjalan dengan mulus. Bagaimana tidak, di mana-mana tidak ada jalan yang benar-benar mulus. Seperti halnya tidak ada manusia yang sempurna dan tidak ada bulu kaki yang tidak rontok.
ADVERTISEMENT
Salah satu elemen masyarakat yang kerap kali membicarakan isu ketersinggungan adalah para konten kreator di YouTube. Alasannya, karena mereka sering sekali tersandung kasus ini. Misalnya Andre Taulany yang menyinggung salah satu marga di Maluku, Pandji Pragiwaksono yang menyinggung komunitas kucing, hingga persoalan Coki Muslim yang kerap kali menyinggung salah satu ormas.
Negara kita sebenarnya menerapkan peraturan yang mengizinkan warganya untuk bebas berekspresi, termasuk bebas menyampaikan pendapat di muka umum. Itu di atur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E Ayat (3), mengizinkan kebebasan berekspresi, sama dengan menerapkan konsep Hak Asasi Manusia (HAM).
Kita semua bisa sepakat bahwa tingkat ketersinggungan masyarakat berada pada level yang berbeda-beda. Mulai dari tersinggung karena ditanya skripsi, hingga tersinggung karena diingatkan kalau bulu hidungnya keluar. Semua bisa memicu ketersinggungan.
ADVERTISEMENT
Tersinggung atas hal-hal kecil itu mencerminkan bahwa cita-cita kita untuk menegakkan konsep kebebasan berekspresi masih berada di jalan yang bergeronjal. Masih mampu jalan, tapi sewaktu-waktu bisa terjerembap jatuh ke tanah. Masyarakat kita adalah masyarakat yang baperan. Tapi uniknya, terkadang masyarakat kita justru tersinggung atas nama orang lain.
Pada kasus yang lain, beberapa tahun yang lalu, di media sosial sempat viral sebuah gambar yang memperlihatkan pembina sedang memberi makan anggota pramuka dengan beralaskan rumput.
Banyak orang yang tersinggung atas tindakan pembina tersebut. Warganet beramai-ramai menyerang. Mereka bilang bahwa kelakuan seperti itu sangat tidak bermoral dan tidak bisa dimaafkan, karena dianggap merendahkan harga diri dan tidak mendidik.
Warganet berduyun-duyun untuk tersinggung atas nama anggota pramuka tersebut. Mereka menyerang dengan nada membela. Padahal, mereka tidak dirugikan dan bahkan tidak terlibat secara langsung.
ADVERTISEMENT
Kita tanggalkan dahulu persoalan benar atau tidaknya tindakan tersebut. Namun, ada dua sudut pandang yang bisa kita lihat dari fenomena di atas. Pertama, bahwa ketersinggungan orang-orang didasarkan pada ukuran moral dari masing-masing individu, yang mana hal ini menjadi sangat bias. Mereka menggunakan standar tidak bermoral mereka masing-masing untuk melihat fenomena yang terjadi jauh di luar mereka.
Padahal, tidak ada satu pun standar yang dapat dipakai sebagai tolok ukur moral masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Standar moral di satu tempat, tentu berbeda dengan tempat lain.
Kedua, seharusnya pembina tidak memotret dan memposting kejadian tersebut. Mereka tentu mengerti bahwa jika kejadian makan di atas rumput itu diketahui oleh khalayak umum, mereka akan dikecam banyak pihak.
ADVERTISEMENT
Hal itu yang seharusnya diketahui oleh semua orang yang memiliki media untuk berekspresi. Kita semua harus tahu bahwa masyarakat kita masih sangat rentan terhadap ketersinggungan.
Alih-alih belajar mengerti dan memvalidasi kebenaran atas berita yang mereka baca atau dengar, orang-orang justru tidak mau tahu dan lebih memilih untuk mencerca dan tersinggung atas nama orang lain.
Berpikir dan mempertimbangkan risiko adalah pilihan yang bijak sebagai salah satu tahap untuk menyaring opini kita di ruang publik. Mengingat di media sosial sudah tidak ada lagi batas dalam menjangkau informasi. Semua informasi bebas dan mudah untuk diakses oleh siapa pun, tidak terbatas tempat, waktu, dan status sosial.
Jangan sampai dalih kebebasan berekspresi justru menjadi bumerang bagi kita sendiri. Terlebih masyarakat kita masih sangat menjunjung tinggi norma. Tidak ada salahnya kita berekspresi dengan mempertimbangkan batasan-batasan yang telah ditentukan oleh norma dan hukum.
ADVERTISEMENT