Algoritma Media Sosial dan Kemunculan Polarisasi yang Berbahaya

Muhammad Iqbal Habiburrohim
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
4 Oktober 2021 21:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Iqbal Habiburrohim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Algoritma media sosial yang bisa menimbulkan polarisasi. Sumber : pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Algoritma media sosial yang bisa menimbulkan polarisasi. Sumber : pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Media sosial kini sudah menjadi hal wajib, bahkan kebutuhan semua orang dari berbagai kalangan tak mengenal gender, umur, atau status sosial sekalipun. Berbagai macam aplikasi semakin berlomba-lomba menarik massa sebanyak-banyaknya agar media sosial mereka tak ditinggalkan oleh para pengguna.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, media sosial merupakan sebuah kemajuan teknologi yang dapat membantu manusia khususnya dalam hal berkomunikasi karena hanya dengan sekejap, kita bisa terkoneksi secara langsung dengan orang-orang dari belahan bumi yang lain. Selain itu, media sosial juga berperan penting dalam banyak hal mulai dari industri, sosial, hingga politik di mana semua sektor tersebut dapat dengan mudah ikut membaur. Apakah itu termasuk hal yang buruk? Tentu saja tidak.
Semua media sosial memiliki algoritma yang berbeda-beda di mana salah satu tujuan yang ingin dicapai dari algoritma tersebut adalah membuat para penggunanya sebetah mungkin berada di depan layar handphone mereka. Masing-masing media sosial merancang sebuah perintah yang begitu rumit dalam aplikasi tersebut, di mana setiap kegiatan yang dilakukan oleh pengguna di dalam aplikasi tersebut direkam. Banyak aspek yang bisa diketahui mulai dari Artificial Intellegence, konten yang ditonton, atau pencarian yang baru kita lakukan hingga didapatkan suatu kesimpulan yang digunakan untuk memilah apa hal yang sebenarnya kita sukai. Maka jangan heran ketika beberapa menit yang lalu kita melakukan pencarian terhadap suatu barang, kemudian disaat kita membuka media sosial tertentu barang tersebut akan muncul di kolom iklan. Bukan sulap dan bukan sihir karena memang seperti itulah algoritma bekerja.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh aplikasi Tiktok yang sedang digemari oleh banyak orang. Dalam aplikasi Tiktok tersebut terdapat halaman "FYP" (For Your Page) di mana halaman tersebut berisi video yang telah diseleksi sedemikian rupa berdasarkan minat masing-masing pengguna terhadap suatu jenis video. Jadi, bisa disimpulkan bahwa video yang muncul pada halaman ini akan berbeda pada masing-masing akun pengguna. Video yang sedang viral dan ditonton oleh banyak orang bisa saja tidak masuk ke FYP beberapa pengguna yang memang tidak memiliki minat pada jenis video semacam itu. Canggih, bukan? Iya memang, tapi justru disinilah kita harus berhati-hati.
Sebelumnya saya telah menjelaskan bahwa salah satu tujuan utama dirancangnya algoritma adalah membuat pengguna media sosial sebetah mungkin berada di depan layar handphone mereka. Hal tersebutlah yang membuat media sosial selalu memberikan rekomendasi entah itu postingan atau video yang memang benar-benar kita sukai atau kebalikannya yaitu yang benar-benar kita benci. Tentunya hal tersebut sangatlah tidak sehat karena setiap harinya kita akan dicekoki sebuah topik atau konten yang benar-benar spesifik dan telah dikotak-kotakkan. Itulah yang dinamakan polarisasi.
Konten yang kita lihat semakin dikotak-kotakkan berdasarkan pembacaan algoritma. Sumber : pexels.com
Mungkin kita belum sadar sepenuhnya apa bahaya sebenarnya dari polarisasi tersebut. Memang ada yang salah dari algoritma yang membuat kita hanya melihat suatu hal berdasarkan minat kita? Jawabannya tentu. Menurut kalian munculnya fenomena penganut teori konspirasi yang begitu besar itu darimana? Kemudian, fenomena fanatisme berlebihan terhadap tokoh atau artis besar berasal darimana? Atau adanya perdebatan online yang tak ada habisnya hingga timbul perpecahan memang tak ada penyebabnya?
ADVERTISEMENT
Semua permasalahan tersebut muncul karena adanya polarisasi. Bayangkan saja apa yang kita lihat di media sosial kita merupakan sebuah informasi yang kita inginkan saja dan BUKAN yang kita butuhkan. Mungkin saja kita bisa sangat jengkel dan merasa heran terhadap orang-orang yang begitu percaya dengan penganut teori konspirasi dan menganggap mereka orang yang tak bisa berpikir dengan jernih, tetapi mereka para penganut teori tersebut pun juga berpikiran hal yang sama. Padahal, yang membedakan antara kita dan mereka hanyalah asupan informasi yang diterima sehari-hari di mana kita mendapatkan informasi mengenai hal yang jauh dari teori-teori tersebut, sedangkan mereka setiap harinya mendapatkan asupan dan bukt-bukti baru bagaimana membuktikan teori tersebut agar bisa dipercaya oleh orang lain.
Kita hanya disuguhkan konten yang ingin kita lihat, bukan yang kita butuhkan. Sumber : pexels.com
Contoh tersebut hanya sebagian kecil dari bahaya polarisasi dan apabila kita tak kunjung sadar, masih ada sektor lain seperti kesehatan khususnya pemberitaan pandemi COVID-19, bahkan pemilu lima tahun sekali pun bisa menimbulkan perpecahan karena perbedaan informasi yang kita dapatkan tadi. Pendukung A akan selalu mendapatkan informasi terkait kelebihan dari si A, sedangkan pendukung B pun mendapatkan informasi terkait kelebihan si B secara terus menerus. Oleh karena itu, perdebatan di antara kedua pendukung selalu sulit untuk terhindarkan.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, kita sebagai pengguna harus selalu sigap dan open minded terhadap semua hal yang ada. Apabila ada sebuah informasi yang mungkin tidak kita sukai, jangan cepat-cepat bereaksi apalagi ikut berkomentar buruk. Cobalah untuk membaca situasi terlebih dahulu dan mengumpulkan data agar kita tidak masuk ke jurang polarisasi. Di era seperti ini kita tidak boleh hanya menuntut terus menerus, melainkan dimulai dari diri sendiri pun harus lebih melek dan mengikuti semua perkembangan teknologi dengan lebih bijak.