Konten dari Pengguna

Mengapa Masyarakat Justru Gusar Setelah Pendidikan Dibuat Kurikulum 'Merdeka'?

Devi Nirmala Muthia Sayekti
Dosen ISI Surakarta dan Penulis Lepas
15 Oktober 2024 10:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Devi Nirmala Muthia Sayekti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kursi dan menja sekolah. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kursi dan menja sekolah. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kurikulum Merdeka justru membuat gusar masyarakat luas. Benarkah Nadiem Makarim gagal dalam membuat kebijakan?
ADVERTISEMENT
Sebagian besar masyarakat dibuat tidak habis pikir ketika berita tentang sejumlah siswa SMP di Pangandaran yang belum bisa membaca dengan lancar mencuat ke publik. Narasi ini nampak menakutkan dan mengkhawatirkan bagi orang tua. Indonesia Emas yang digadang-gadang pemerintah langsung berbelok arah menjadi Indonesia Cemas.
Warganet mulai beropini dengan beragam sudut pandang. Ada sejumlah pihak yang menyalahkan sekolah. Ada sebagian orang lagi yang mengkritik tajam ketimpangan kondisi fasilitas pembelajaran di sekolah-sekolah yang ada sepanjang Indonesia.
Tidak sedikit juga yang mengkritik kesadaran orang tua yang terlalu sibuk dengan gawai dan tidak memotivasi apalagi memfasilitasi anaknya untuk membaca di rumah. Tapi yang paling puncak dari seluruh kritik adalah tudingan atas kegagalan kebijakan pemerintah dalam membuat kurikulum merdeka.
ADVERTISEMENT
Masih segar di ingatan publik ketika Jusuf Kalla melayangkan kritik yang begitu pedas kepada Nadiem Makarim. Wakil Presiden era SBY dan Joko Widodo ini menilai bahwa kebijakan Menteri Pendidikan terkait kurikulum merdeka tidak cocok diterapkan dengan karakter masyarakat Indonesia.
"Tidak merdeka saja tidak mau belajar, apalagi dibuat merdeka?" ujar Jusuf Kalla dalam menyikapi kondisi pendidikan bangsa Indonesia saat ini.
Konon, menurut hemat Jusuf Kalla, yang juga divalidasi oleh sejumlah pendukungnya, sistem pendidikan Indonesia seharusnya mencontoh India, Tiongkok, dan Korea. Negara-negara ini masih ketat dalam menentukan standar kelulusan siswa. Mau tidak mau, siswa dikonstruksi untuk belajar lebih keras dan giat demi meraih kelulusan.
Namun kondisi semacam ini sirna sesudah sistem Ujian Nasional dihapus sebagai syarat kelulusan di Indonesia. Setiap sekolah dibuat otonom untuk menentukan standar kelulusan siswanya. Implikasinya, setiap sekolah tentu saja membuat aturan selentur mungkin demi membuat seluruh anak didiknya lulus dengan nilai yang maksimal.
ADVERTISEMENT
Siapa pun tentu sepakat bahwa nilai tentang 'kemerdekaan' dalam proses belajar memang tidak bisa diadopsi secara prematur di negeri ini. Jangankan untuk merdeka dalam belajar, merdeka secara finansial saja sebagian masyarakat kita masih jauh dari harapan.
Subjek sentris kita dalam merefleksikan kondisi pendidikan tentu tidak bisa hanya bercermin pada sekolah-sekolah swasta mahal di kota besar seperti Jakarta. Sekolah-sekolah semacam itu guru-gurunya sudah dijamin mendapatkan gaji yang layak, sekolahnya memiliki tenaga administratif yang mendukung pelayanan pembelajaran, fasilitas media pembelajarannya jelas mumpuni, dan orangtuanya sudah tidak lagi pusing mengatur penghasilan yang kadang tidak cukup untuk satu bulan.
Tidak usahlah para Menteri berlelah-lelah untuk melakukan perjalanan dinas sampai ke ujung negeri di daerah 3T. Di pulau Jawa saja masih banyak kondisi sekolah negeri yang untuk bisa dikatakan sesuai standar minimal saja belum. Masih banyak guru-guru yang harus merangkap pekerjaan sebagai administrator di luar kegiatan mengajar.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini diperparah dengan gaji mereka yang masih jauh di bawah UMR setempat. Orang tua murid pun sebagian besar masih menganggap bahwa membeli buku adalah sebuah kebutuhan tersier. Apa pasal? Buku-buku berkualitas baik, harganya kurang lebih setara dengan 5 kilogram beras. Bagi masyarakat seperti ini, membeli buku bukan sebuah pilihan bila perut belum terisi.
Terminologi 'Merdeka' sendiri di tanggal 17 Agustus sudah menjadi bahan introspeksi tahunan. Sudah sejauh apa rakyat Indonesia merdeka tapi kondisinya masih begini-begini saja. Bisa dibayangkan para guru, murid, dan orang tua yang menghadapi istilah 'Merdeka Belajar' setiap hari tapi pada kenyataannya nisbi?
Di tingkat perguruan tinggi pun tak kalah menarik. Mahasiswa dijejali narasi indah supaya bisa mendapatkan pengalaman belajar di luar kampus untuk kemudian diberi 'hadiah' konversi SKS. Pengalaman belajar ini sifatnya beragam seperti magang, pertukaran pelajar, prestasi akademik maupun non akademik, kegiatan organisasi mahasiswa, kegiatan wirausaha, pemberdayaan masyarakat, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, karakter mahasiswa di Indonesia sendiri juga amat beragam. Tidak semua mahasiswa menganggap kesempatan ini sebagai sebuah ruang untuk belajar dengan maksimal. Alih-alih menjadi medium pembelajaran dan mendapatkan pengalaman, konversi SKS ini justru menjadi 'jalan ninja' sejumlah oknum mahasiswa bermasalah untuk menyulap nilai-nilai mereka yang tadinya tidak lulus (D atau E) menjadi lulus (rentan A sampai C).
Dosen pengampu tidak jarang merasa dilema untuk melakukan konversi nilai ketika sadar betul bahwa sejumlah oknum mahasiswa ini belum layak mendapatkan nilai 'lulus'. Ketika dilakukan konfirmasi untuk menyetarakan proses pembelajaran 'merdeka' yang telah mereka lakukan dengan capaian pembelajaran mata kuliah pun mahasiswa tersebut tidak bisa menjelaskan dengan baik. Namun, jika dosen pengampu nekat tidak memberikan nilai konversi, maka siap-siap mendapat teguran dari berbagai pihak.
ADVERTISEMENT
Kalau sudah begini, dosen dan guru seperti makan buah simalakama. Fakta yang mereka hadapi, tuntutan yang harus dipenuhi, dan kebijakan yang menyertai membuat mereka tidak bisa berbuat banyak. Angan-angan menjadi merdeka dalam belajar terasa seperti sakarin dalam minuman manis kemasan. Nikmat sesaat dirasa lidah. Namun membuat nyeri di dalam kerongkongan. Ketika ditelan terus menerus, tak jarang membuat batuk dan sesak napas.