Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Gereja Ortodoks dan Hal-hal yang Buat Saya Takjub
12 Juli 2022 9:05 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Nabila Jayanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seumur-umur, saya belum pernah masuk gereja. Di bayangan saya, gereja itu isinya seperti di MV "Helena"-nya My Chemical Romance: gothic, langit-langit tinggi, penuh kursi panjang, dan nyanyi bersama diiringi organ. Saya enggak nyangka kalau kali pertama saya masuk ke gereja adalah ke tempat ibadah umat Ortodoks yang beda jauh dengan settingan MV tadi.
ADVERTISEMENT
Kami sudah cukup dikagetkan dengan dua kotak perlengkapan sembahyang, yakni Kerudung dan kain yang ada di pintu masuk. Kekagetan kedua kami (saya sih) adalah saat masuk ke ruangan inti yang penuh ornamen gambar orang-orang suci. Belakang saya tahu namanya "ikon".
Ikon suci ini bukan cuma menghiasi altar saja, melainkan juga tersebar di tembok dan pojok ruangan. Pemandangan ini tentu tak ada di MV Helena.
Masuk ke ruangan gereja ini saja memang sudah terasa khidmat, hangat, dan mistis. Tapi itu belum seberapa.
ADVERTISEMENT
Saat ibadah dimulai, umat wanita sudah rapi dengan kerudung dan berdiri di shaf-nya. Sementara umat pria juga punya shaf-nya sendiri.
Kur lalu dilantunkan, mereka mulai mengucap pujian dan doa. Saya merinding takjub. Rasanya, tempat itu jadi jauh lebih hidup. Ditambah lagi dengan kehadiran ikon-ikon dan lilin-lilin yang menyala.
Saya lantas menyadari tak ada alat musik yang digunakan. Patung-patung, seperti di gereja Barat, juga nihil. Ternyata, itu adalah tradisi gereja mula-mula. Tradisi yang masih dipegang teguh oleh ajaran Ortodoks.
Sebenarnya masih ada banyak ketakjuban-ketakjuban lain (termasuk pendupaan yang aromanya terus saya ingat dan kidung "Ya Theotokos" yang terus terngiang), tapi ada satu yang lucu.
Saya waktu itu berdiri di barisan belakang, satu deret dengan umat wanita yang pakai kerudung. Tiba-tiba ada anak laki-laki, mungkin umurnya 12 atau 13 tahun, baru datang lalu bicara sama saya, "Mbak muslim, ya? Mbak muslim, ya?"
Enggak heran, sih. Saya kan pakai hijab, jadi terlihat menyatu dengan sekitar. Mungkin dia notice nama panjang saya di name tag, entahlah.
ADVERTISEMENT
"Iya," kata saya sambil mengangguk. Dia lalu masuk barisan dan ikut membuat gestur tanda salib seperti umat lain.
Oiya, hampir lupa. Pagi itu saya juga bertemu Kelvin, umat Protestan yang sama surprise-nya dengan saya saat masuk ke gereja Ortodoks. Dia bilang, dia penasaran seperti apa ibadah mereka.
Jadilah dia datang sendiri, ikut berdiri di belakang, namun tidak ikut rangkaian doanya. Tapi dia enggan saya tanya-tanya secara "formal" untuk berita kumparan. Saya perhatikan dia benar-benar serius mengamati Liturgi hari itu.
Setelah ibadah selesai, kami (saya dan tim video) langsung menyebar mengerjakan tugas. Saya mewawancarai Oscar, mahasiswa yang ternyata sudah punya kegalauan soal ajaran Kristen sejak SMA. Singkatnya ada di artikel ini .
ADVERTISEMENT
Lalu saya gabung dengan tim video mewawancarai Romo Boris, Kepala Paroki St Thomas. Beliau lalu cerita bagaimana ibadah Ortodoks itu berhubungan dengan ibadah Islam. Sudah saya rangkum di sini .
Selepas dari St Thomas (dan semangkuk soto kudus), kami lanjut liputan di gereja Ortodoks lainnya di Kalimalang, Jaktim. Gereja Ortodoks yang ini namanya Epifani Suci. Kalau yang tadi ada di bawah yurisdiksi Kepatriarkan Moskow, yang ini di bawah Konstantinopel.
Wah, kami benar-benar disambut hangat oleh sang Romo. Literally di depan pagar.
Saya lalu bicara sama Romo Prochoros ini kalau saya belum salat dzuhur dan ingin pinjam tempat salat. Beliau dengan sumringah langsung buka kunci salah satu ruangan di samping gereja (masih satu bangunan, sebenarnya), lalu mempersilakan saya salat.
ADVERTISEMENT
"Sajadahnya ada?" Tanya beliau. Saya bilang akan pakai alas tas mukena saja dan meminta maaf karena udah merepotkan.
Ada perasaan aneh sekali waktu saya salat di sana. Rasanya seperti diperhatikan oleh ikon-ikon yang tergantung di dinding, seakan-akan mau marahi saya kalau salat tidak benar. Perasaan aneh dan kikuk itu mungkin juga karena ini adalah tempat ibadah agama yang satu rumpun dengan Islam, hanya saja muncul lebih dulu. Tapi tidak masalah bagi saya.
Umat Ortodoks pun punya ibadah salat (sembahyang) juga. Tentu saja. Salat memang sudah dipraktikkan sejak dahulu, sebelum zaman Nabi Muhammad. Nah, soal salat Ortodoks bisa kalian baca di mari .
Ada beberapa orang yang saya wawancarai di sana. Saya dibikin takjub oleh cerita Pak Basar, seorang pengacara yang pindah ke Ortodoks setelah menikah. Beliau cerita, jadi warga minoritas kadang berat (saya juga tumbuh sebagai minoritas karena tinggal di Bali, tapi beliau lebih berat, jelas), terutama soal administrasi negara.
ADVERTISEMENT
Enggak jarang, beliau harus memilih "Lain-lain" pada kolom agama di form-form kenegaraan. Sebab, Kristen Ortodoks bukan salah satu dari enam agama yang diakui resmi oleh negara.
Namun, ini bukan berarti gereja Ortodoks bergerak ‘di bawah tanah’. Setelah diakui tahun 1996, agama tersebut berada di bawah Bimas Kristen Kementerian Agama RI.
Anak-anak beliau pun jadi harus ikut pelajaran Katolik di sekolah, sebab tak ada pelajaran Ortodoks. Namun, bukan masalah besar sebenarnya, sebab Katolik Roma dan Kristen Ortodoks memang punya sejumlah kesamaan.
Saya juga berbincang dengan Kak Risha, mantan Ateis yang udah "mualaf" mendalami Ortodoks.
Dari ketiga umat Ortodoks yang saya temui hari itu, saya belajar bahwa pencarian iman itu hal yang sungguh personal. Oscar, misalnya, meskipun ibunya yang seorang Protestan itu mementang, dia yang masih muda itu tetap teguh belajar Ortodoks. Jadilah dia seorang Ortodoks yang sungguh-sungguh beribadah.
ADVERTISEMENT
Saya tanya, apakah ada ibadah sehari-hari yang sifatnya wajib? Dia katakan ya memang dia harus berdoa setiap hari, tapi itu bukan wajib (seperti kewajiban salat 5 waktu yang saya lakukan). Oscar bilang, dengan aturan itu dia jadinya melaksanakan ibadah seikhlas mungkin untuk memohon kasih Allah.
Saya tertegun.
Selama ini saya salat, diberi kesempatan berbincang dengan Allah di waktu yang sudah fix, hanya sekitar 5 menit tiap waktunya, tapi masih saja pikiran saya sering melayang ke mana-mana. Lebih sering ke hal-hal duniawi.
Kalau berkaca dari omongan Oscar, harusnya saya benar-benar memanfaatkan privilege sebagai seorang muslim. Salat lima waktu, jujur saja, kadang saya lakukan di akhir karena malas-malasan. Kenapa saya tidak berusaha ibadah lebih ikhlas, lebih khusyuk, lebih bonding sama Allah?
ADVERTISEMENT
Awalnya saya pikir itu karena persoalan bahasa, sebab bacaan salat pakai bahasa Arab, sementara umat Ortodoks pakai bahasa Indonesia. Sepertinya bukan di sana letak masalahnya.
Lebih dari sekadar arti bacaan doa, masalahnya adalah saya tidak menempatkan hati saya untuk "present" ketika salat. Tidak benar-benar mengimani ucapan itu. Kalau sudah begitu, mau pakai bahasa apapun yang saya pahami ya pasti mental.
Saya juga sempat bicara dengan pembaca doa (Reader) di St Thomas, namanya Mas Gregory. Kami berbincang soal mana saja hal haram di Ortodoks. Beliau cerita soal pentingnya mengaku dosa dan meminta maaf kepada Tuhan setiap hari.
Ada satu perkataannya yang saya setuju sekali (bagi saya ini punchline, sebab ini sering saya temui di orang-orang yang mengaku saleh):
ADVERTISEMENT
Jadi begitulah cerita saya berpetualang seharian full di dua gereja Ortodoks. Pulang-pulang saya jelas capek, tapi saya tahu itu capek yang menyenangkan. Ditambah lagi saya dapat oleh-oleh buku "Kekristenan Timur: Sejarah Gereja Ortodoks" yang diberi gratis oleh Romo.
ADVERTISEMENT