Konten dari Pengguna

Masyarakat Cashless Sebuah Fenomena atau Pertanda

Najmi Saidah
Mahasiswi Ilmu Komunikasi 2019, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
29 Desember 2020 8:03 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najmi Saidah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Masyarakat Cashless atau Cashless Society oleh Freepik.com <a href="https://www.freepik.com/vectors/background">Background vector created by rawpixel.com - www.freepik.com</a>
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Masyarakat Cashless atau Cashless Society oleh Freepik.com <a href="https://www.freepik.com/vectors/background">Background vector created by rawpixel.com - www.freepik.com</a>
ADVERTISEMENT
Masyarakat Cashless (cashless society) atau disebut juga masyarakat tanpa tunai pasti sudah tidak asing lagi di telinga. Sejak pandemi COVID 19, dan hidup dalam Era New Normal, gerakan masyarakat cashless ini semakin sering diserukan oleh pemerintah untuk membantu mengurangi penularan COVID-19. Masyarakat yang sedang melakukan work from home, menjadi salah satu yang berpengaruh dalam kegiatan masyarakat cashless ini sendiri. Mereka tidak perlu repot-repot keluar rumah karena bisa memesan makanan, atau pun kebutuhan rumah tangga lainnya melalui aplikasi yang tersedia di smartphone dan melakukan pembayaran secara nontunai. Kehidupan di Era New Normal yang tetap mengharuskan untuk berkegiatan di luar rumah, juga dapat dibantu dengan hidup sebagai cashless society. Di mana masyarakat dapat bertransaksi di supermarket, coffeshop, rumah makan dan sebagainya tanpa membawa uang tunai. Masyarakat tinggal menyiapkan telepon genggam yang berbasis internet ataupun kartu debit/kredit.
ADVERTISEMENT
Pengaruh cashless society ini sendiri tidak terlepas dari yang namanya budaya populer. Menurut Mukerji (1991 dalam Adi: 2001:10), “budaya populer mengacu pada kepercayaan, praktek-praktek dan objek yang menyatu yang hidup dalam masyarakat. Hal ini termasuk kepercayaan adat, praktek-praktek, dan objek yang diproduksi dari pusat-pusat komersial dan politik.”
Jadi, kata populer yang disingkat “pop”, mengandung arti “dikenal dan disukai orang banyak (umum), “sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya, mudah dipahami orang banyak, disukai dan dikagumi orang banyak” (KBBI:1989).
Hebdige dalam (Subandy: 2011: xxviii), sebagai contoh memandang budaya populer sebagai sekumpulan artefak yang ada, seperti film, kaset, acara televisi, alat transportasi, pakaian, dan sebagainya. Budaya Pop selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu.
ADVERTISEMENT
Budaya Populer memiliki banyak karakteristik menurut Derry Mayendra (2011). Karakteristik yang paling mendekati dengan masyarakat cashless sendiri adalah: pertama, relativisme, budaya populer merelatifkan segala sesuatu sehingga tidak ada yang mutlak benar maupun mutlak salah, termasuk juga tidak ada batasan apapun yang mutlak. Dalam masyarakat cashless, menggunakan uang nontunai bukan berarti benar dan juga salah. Masyarakat cashless hanya berupaya dalam menggunakan teknologi secara maksimal. Kedua, pragmatisme, budaya populer menerima apa saja yang bermanfaat tanpa memperdulikan benar atau salah. Semua dapat diukur dari hasilnya atau manfaatnya. Hal ini sesuai dengan dampak masyarakat cashless yang mendorong orang-orang untuk malas menggunakan uang tunai dan mulai hidup bertransaksi melalui teknologi saja. Karena dapat dilakukan di mana pun dan kapan pun. Ketiga, hedonisme dan budaya konsumerisme, budaya populer lebih banyak berfokus kepada emosi dan pemuasannya. Yang harus menjadi tujuan hidup adalah bersenang-senang dan menikmati hidup, sehingga memuaskan segala keinginan hati dan hawa nafsu. Masyarakat juga seringkali merasa kurang dan tidak puas secara terus menerus, sebuah masyarakat yang membeli bukan berdasarkan kebutuhan, namun keinginan, bahkan gengsi. Cashless society membentuk masyarakat yang hedonisme dan konsumerisme karena dengan mudahnya bertransaksi tanpa harus keluar rumah, membawa uang tunai, dan dapat diakses hanya dengan melalui smartphone, membuat masyarakat ingin belanja terus-menerus. Baik itu karena gengsi atau haus akan belanja. Karena sistem yang tinggal click, bayar, dan barang akan diantar sampai depan rumah.
ADVERTISEMENT
Kemudian yang keempat adalah materialisme, budaya populer semakin mendorong paham materialisme yang sudah banyak dipegang oleh orang-orang modern sehingga manusia semakin memuja kekayaan materi, dan segala sesuatu diukur berdasarkan hal itu. Biasanya di dalam masyarakat cashless, alat yang digunakan untuk bertransaksi seperti aplikasi-aplikasi tertentu, sering kali memberikan promo-promo berupa diskon dan cashback yang lumayan. Tentu hal itu membuat masyarakat cashless semakin tergiur tanpa harus bertransaksi dengan tunai yang jarang sekali terdapat cashback. Kelima, hibrid, sesuai dengan tujuan teknologi, yaitu mempermudah hidup, munculah sifat hibrid, yang memadukan semua kemudahan yang ada dalam sebuah produk. Cashless society hanya membutuhkan sebuah smartphone yang memiliki data seluler/wifi yang dapat menyimpan uang yang kita miliki dalam jumlah besar. Tidak perlu repot untuk memegang uang tunai ke mana-mana. Terakhir, ada popularitas, budaya populer mempengaruhi banyak orang dari setiap sub-budaya, tanpa dibatasi latar belakang etnik, keagamaan, status sosial, usia, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Cashless society mempengaruhi hampir semua orang, khususnya anak muda dan remaja, di seluruh bagian dunia, terutama di negara-negara berkembang dan negara-negara maju. Kepopuleran cashless ini juga dipengaruhi karena hampir seluruh tempat jual-beli atau merchant sudah menyediakan pembayaran secara nontunai.
ADVERTISEMENT
Cashless society (masyarakat cashless) sudah menjadi hal yang lumrah di dunia bahkan di Indonesia sendiri. Apalagi, membayar secara nontunai ini sifatnya praktis dan mudah. Tentu sangat digemari oleh banyak orang terutama kaum generasi milenial yang suka dengan segala sesuatu bersifat praktis dan bisa dikerjakan melalui smartphone mereka. Terlepas dari itu semua, cashless society juga memberikan dampak bagi masyarakat di dalamnya baik itu untung atau rugi.
Menggunakan pembayaran cashless adalah tujuan untuk melakukan transaksi yang lebih mudah dan dapat dilakukan di mana pun dan kapan pun. Efisiensi menjadi sebuah keunggulan di kalangan cashless society. Di tambah pilihan metode cashless sendiri sangat beragam. Mulai dari kartu debit/kredit, e-money, hingga e-wallet. Selain efisiensi, cashless juga memiliki keamanan yang terjamin. Transaksi secara nontunai biasanya dilengkapi dengan banyak sistem keamanan. Seperti harus membuat akun terlebih dahulu memiliki password di dalamnya, ditambah PIN, OTP, dan sebagainya. Dibandingkan harus membawa uang tunai yang lebih banyak jumlahnya dan sering tercecer.
ADVERTISEMENT
Keunggulan lainnya dari sistem cashless sendiri adalah banyak terdapat diskon dan cashback. Bertransaksi dengan nontunai sering kali dipromosikan dengan akan mendapatkan diskon atau cashback yang tidak kecil jumlahnya, terutama transaksi dengan e-wallet yang menjadi populer belakangan ini. Sering kali e-wallet bahkan memberikan diskon atau cashback hingga 90% dan membuat masyarakat semakin tergiur untuk menjadi bagian dari cashless society. Namun, masyarakat tetap harus berhati-hati karena dengan adanya sistem cashless yang menawarkan diskon dan cashback yang besar akan membuat masyarakat menjadi sangat konsumtif. Yang seharusnya cashless dapat membuat masyarakat menjadi hemat dan mudah mengatur keuangan, namun malah membuat masyarakat semakin boros dan ingin terus-terusan berbelanja dengan alasan diskon atau cashback yang besar.
ADVERTISEMENT