Konten dari Pengguna

Dampak Perbedaan Beban Belajar Terhadap Adaptasi ABK dari SLB ke Sekolah Reguler

Nashwa sakina adani
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
30 September 2024 9:46 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nashwa sakina adani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Analisa

sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Secara umum, penyelenggaraan Pendidikan Khusus di Indonesia dilakukan melalui dua model, yaitu model pendidikan segregasi dan model pendidikan terintegrasi atau terpadu. Pendidikan Khusus yaitu pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan / atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (presiden R. Indonesia, 2003).
ADVERTISEMENT
Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau SLB sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB A (untuk tunanetra), SLB B (untuk tunarungu), SLB C (untuk tunagrahita), SLB D (untuk tunadaksa), SLB E (untuk tunalaras). Bergabungnya individu berkebutuhan khusus ke sekolah reguler menggunakan model, diantaranya; mainstream, integrasi, dan inklusi. (Direktorat PKLK, 2014:10) Model mainstream dilakukan terhadap anak-anak yang tidak mengalami sakit yang berdampak kepada pengurangan kemampuan kognitifnya, seperti anak-anak yang memiliki kecacatan sensori menggunakan alat bantu dan anak tuna daksa, kemudian juga kepada anak-anak yang mengalami sakit asma, epilepsi dan lainnya. Model integrasi yaitu menggabungkan anak-anak yang berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya dalam satu kelas ketika mengikuti pelajaran-pelajaran yang dapat mereka ikuti dan untuk pelajaran akademik yang tidak bisa mereka ikuti, akan mereka dapatkan di kelas yang berbeda dengan anak-anak normal dengan materi pengganti pula. Pada model inklusi ini memberikan kesempatan yang lebih luas lagi kepada seluruh anak-anak yang memiliki kelainan dan / atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan secara bersama-sama dengan anak normal lainnya. dalam satu lingkungan sekolah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang mereka miliki.
ADVERTISEMENT
Pendidikan inklusif menjadi alternatif bagi individu berkebutuhan khusus yang memiliki keterbatasan fisik, tetapi masih mampu mengikuti pelajaran di sekolah umum. Banyak dari mereka yang berhasil mengikuti pembelajaran dan bahkan mengungguli individu tanpa keterbatasan fisik dalam hal akademik maupun non akademik. Dengan bersekolah di sekolah umum / reguler (non-SLB), mereka yang memiliki kebutuhan khusus mendapatkan kesempatan untuk bersosialisasi lebih luas dengan teman-teman tanpa disabilitas yang membantu perkembangan mereka. Hal ini mencegah individu berkebutuhan khusus merasa rendah diri dan membuat mereka merasa setara dengan individu lainnya. Inilah yang menjadi alasan utama diselenggarakannya pendidikan inklusif.
Adanya masa transisi peserta didik misal dari SD ke SMP, lalu SMP ke SMA, membuat masa transisi menjadi penting karena peserta didik belajar mengenal lingkungan, sistem, dan cara belajar yang baru. Hal ini mempengaruhi hasil belajar di jenjang berikutnya. Kemampuan beradaptasi dengan hal-hal baru sangat menentukan pencapaian belajar. Jika adaptasi berjalan baik, maka hasil belajar akan tercapai. Terutama transisi dari sekolah luar biasa (SLB) ke sekolah reguler yang dimana terdapat perbedaan beban belajar / kurikulum di sekolah tersebut. Transisi adalah peralihan dari satu keadaan (tempat, tindakan, dan sebagainya) ke keadaan yang lain. Sebuah transisi adalah perubahan dari satu hal ke yang berikutnya, baik dalam tindakan maupun keadaan (KBBI).
ADVERTISEMENT
Hal ini dijelaskan oleh Callan R. Triyunanto, sebagai seorang narasumber yang merupakan individu dengan berkebutuhan khusus tunarungu/tuli dan pernah bersekolah di SLB semasa TK (TKLB Santi Rama) lalu melanjutkan pendidikan di sekolah umum dari SD hingga kuliah (SDN Cipete Utara 12 Pagi, SMPN 240 Jakarta, SMAN 6 Jakarta, Universitas Brawijaya). Ia mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan antara SLB-B yang merupakan sekolah khusus untuk peserta didik disabilitas tuli, dan sekolah reguler yang berisi peserta didik dari berbagai latar belakang. Salah satu perbedaan yang dirasakan adalah beban kurikulum, khususnya dalam cara penyampaian pelajaran. Di SLB, pengajar menggunakan bahasa yang lebih sederhana dan langsung ke inti, misalnya dalam mata pelajaran matematika instruksi yang diberikan seperti “1 + 1 = 2.” Sementara itu, di sekolah umum, bahasa yang digunakan lebih kompleks, misalnya “Aku membeli minuman 1, ditambah dia membelikan aku 1 lagi. Berapa jumlah minuman yang aku punya?”.
ADVERTISEMENT
Dapat dilihat ada perbedaan penggunaan media pembelajaran dalam matematika antara sekolah SLB dan sekolah reguler. Di sekolah SLB, media yang digunakan biasanya berupa benda konkret, karena anak-anak perlu melihat dan mempraktekkannya secara langsung. Sementara itu, di sekolah reguler, media yang digunakan bisa berupa benda abstrak, karena siswa sudah mampu membayangkannya. Namun, hal ini tetap bergantung pada kondisi siswa di setiap sekolah.
Callan juga berbagi pengalamannya bahwa ia dapat beradaptasi dengan baik di sekolah reguler yang telah mendapatkan predikat inklusif, berkat adanya guru pendamping seperti guru BK. Meskipun guru pendamping tidak selalu hadir di kelas setiap jam pelajaran, guru mata pelajaran berusaha mempermudah dengan menuliskan materi di papan tulis. Untuk mengatasi ketertinggalan, ia juga berinisiatif meminta materi sebelum kelas dimulai agar dapat mempersiapkan diri. Namun, meskipun sekolah-sekolah tersebut sudah menyandang predikat inklusif, ternyata masih terdapat hambatan, seperti kurangnya pemahaman teman-teman sekolah mengenai disabilitas tuli. Pendidikan inklusif di Indonesia, khususnya bagi siswa dengan disabilitas tuli, masih menghadapi tantangan, baik dari segi kurikulum maupun pemahaman teman sebaya. Disisi lain, dukungan dari guru pendamping dan usaha proaktif dari siswa dapat membantu proses adaptasi di sekolah reguler.
Nashwa sakina adani sebagai mahasiswa psikologi universitas brawijaya menjadi interviewer mewawancarai Callan R. Triyunanto sebagai interviewe (Jumat 27 September 2024)
Pembelajaran bahasa isyarat di Universitas Brawijaya sebagai salah satu bentuk inklusifitas di lingkungan belajar kampus
Meskipun predikat inklusif sudah ada, kesadaran akan kebutuhan khusus masih perlu ditingkatkan di lingkungan sekolah. Hal ini sejalan dengan pendapat Collins et al. (2019), yang menyatakan bahwa salah satu tantangan utama dalam pendidikan inklusif adalah keterbatasan sumber daya manusia yang terlatih. Banyak guru dan tenaga pendidik belum memiliki pengetahuan, keterampilan, serta pemahaman yang memadai mengenai strategi pengajaran inklusif dan cara mengelola kebutuhan pendidikan khusus di kelas. Hal ini berdampak pada efektivitas pembelajaran dan keterlibatan peserta didik dengan kebutuhan khusus.
ADVERTISEMENT
Kurikulum di SLB menekankan pada keterampilan hidup (life skills) dan dirancang khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus, seperti tuna rungu, tuna netra, dan tunagrahita. Materi yang digunakan disederhanakan sesuai kemampuan siswa, baik dalam hal bahasa maupun konsep. Materi akademik yang rumit mungkin tidak menjadi prioritas, digantikan dengan latihan keterampilan praktis yang dapat membantu siswa hidup mandiri. Sedangkan kurikulum di sekolah reguler bersifat umum dan disusun untuk siswa tanpa kebutuhan khusus, fokusnya pada penguasaan materi akademik yang lebih luas dan abstrak, sesuai dengan standar nasional, lebih kompleks dan abstrak, menuntut siswa untuk memahami konsep-konsep yang lebih mendalam dan luas, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan analitis.

Alternatif dan Solusi

Pendidikan inklusif merupakan pendekatan yang bertujuan untuk memberikan kesempatan pendidikan yang setara bagi semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Di Indonesia, penyelenggaraan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dilakukan melalui dua model utama, yaitu pendidikan segregasi dan pendidikan inklusif. Pendidikan segregasi diselenggarakan di Sekolah Luar Biasa (SLB), di mana anak-anak dengan disabilitas tertentu mendapatkan pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi mereka. Sementara itu, pendidikan inklusif memungkinkan siswa berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan siswa tanpa disabilitas di sekolah reguler.
ADVERTISEMENT
Namun, penerapan pendidikan inklusif di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, terutama terkait dengan keterbatasan sumber daya manusia, infrastruktur, serta penyesuaian kurikulum. Guru dan tenaga pendidik sering kali belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk menangani kebutuhan khusus siswa di kelas reguler. Selain itu, perbedaan kurikulum dan metode pengajaran antara SLB dan sekolah reguler juga dapat menjadi hambatan dalam proses transisi bagi siswa yang berpindah dari SLB ke sekolah umum.
Pendidikan inklusif menawarkan banyak manfaat, salah satunya adalah memberikan kesempatan bagi siswa berkebutuhan khusus untuk bersosialisasi lebih luas, mengurangi stigma sosial, dan meningkatkan rasa percaya diri mereka. Namun, untuk mencapai efektivitas dalam pembelajaran inklusif, diperlukan berbagai solusi, seperti :
ADVERTISEMENT

Referensi.

Collins, A., Azmat, F., & Rentschler, R. (2019). ‘Bringing everyone on the same journey’: revisiting inclusion in higher education. Studies in Higher Education, 44(8), 1475- 1487.
Direktorat PKLK, Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009, Jakarta, Direktorat PKLK, 2014
Indonesia, presiden R. (2003). UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kelima. Nasional.