Konten dari Pengguna

Tradisi Pernikahan: Melepas Ayam di Gunung Pegat Sebelum Menikah

Nasywa Zauti Zahra
Mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Surabaya
23 November 2024 16:32 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nasywa Zauti Zahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret sendiri
zoom-in-whitePerbesar
Potret sendiri
ADVERTISEMENT
Pernikahan merupakan peristiwa penting dan menjadi kebutuhan fitri setiap manusia yang tidak dapat lepas dari tradisi yang dimodifikasi agar sesuai dengan ajaran yang mereka anut. Indonesia memiliki banyak tradisi sebelum melangsungkan pernikahan, khususnya seperti masyarakat Desa Gajah, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, yang melakukan tradisi sebelum pernikahan yaitu melepaskan ayam di gunung Pegat yang berada di Desa Karang Kembang, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan. Pelepasan ayam tersebut dilakukan oleh pengantin pada saat melakukan perjalanan menuju resepsi pernikahan, tetapi melepaskan ayam di gunung Pegat dilakukan jika hanya pengantin saat perjalanan melewati gunung Pegat tersebut. Dikutip dari https://e-repository.perpus.uinsalatiga.ac.id/9096/ keuntungan atau manfaat dari melepas ayam di gunung Pegat sebelum pernikahan yakni sebagai tolak bala saat perjalanan maupun tolak bala di dalam pernikahan pengantin,juga menjadi pembawa keberuntungan pernikahan pengantin. Tapi tradisi tersebut mengandung banyak sekali pertanyaan, seperti apakah tidak menentang ajaran islam? Dikutip dari salah satu jurnal UINSU bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan pemeluk agama Islam, mereka mengakui bahwa segala yang disekelilingnya adalah ciptaan Allah SWT Dia yang mengatur segalanya, yang mendatangkan pahala dan cobaan. Namun, masih banyak dari mereka yang melakukan perbuatan-perbuatan di luar akal yang mereka jadikan sebagai upacara ritual peribadatan. Misalnya kepercayaan terhadap hewan, jimat, kayu, batu dan berbagai macam kepercayaan yang dianggap sebagai kekuatan supranatural yang dapat mempengaruhi gerak hidup yang dapat membuat untung, rugi, bencana dan bahagia terhadap umat manusia. Perilaku-perilaku budaya mistik cukup mewarnai aspek sprinualitas masyarakat, bahkan hampir tidak dapat dibedakan antara ajaran ajaran agama dengan budaya mistik tersebut. Karakteristik syariat Islam adalah universal (syumul). Ia relevan pada setiap tempat dan waktu, sebab ia tidak terbatas untuk masa dan umat tertentu saja. Syariat Islam mengatur manusia dalam segi bidang, baik secara umum maupun terperinci. Disamping itu, syariat juga bersifat kontekstual (waqi iyyah), karena dalam sejarah perkembangan penetapannya sangat memerhatikan tradisi, kondisi sosiokultural, dan tempat masyarakat sebagai objek dan sekaligus subjek hukum. Oleh karena itu, para ulama memerhatikan halhal tersebut dalam menetapkan suatu hukum, sebab hal-hal yang berkembang di masyarakat merupakan nilai dan norma yang tidak dapat dipisahkan dari manusia9. Dengan demikian, perhatian dan respons terhadap unsur unsur tersebut merupakan keniscayaan, tidak terkucuali dengan syariat Islam, salah satu metode dalam pengambilan hukumnya dikenal dengan istilah “al urf”. Metode ini mengambil hukum dari sesuatu yang tidak asing lagi pada suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka, baik berupa perbuatan atau perkataan, tentunya tanpa melanggar Alquran dan Sunnah. Dengan metode ini syariat (hukum) Islam dapat akrab, membumi dan diterima di tengah temgah kehidupan masyarakat yang plural, tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya. Dalam kehidupan masyarakat banyak terdapat kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang populer secara luas di tengah kehidupan masyarakat. Tradisi tersebut dapat berupa perkataan atau perbuataan yang berlaku secara umum, hal semacam ini disebut dengan urf. Kebiasaaan-kebiasaan tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan ketika akan menetapkan hukum Islam dalam transaksi ekonomi yang semakin berkembang terutama terkait masalah yang tidak ada ketegasan hukum dalam Alquran dan hadist. Allah SWT banyak menurunkan berbagai bentuk macam bala di muka bumi. Menurut pandangan masyarakat, bahwa memang indentik dengan bulan bala, dan harus dilakukan prosesi untuk menghindari malapetaka yang lebih besar dengan melakukan proses Tolak Bala. Tetapi balik kepada prinsip individu masing-masing bahwa tradisi tersebut dilakukan atau tidaknya.
ADVERTISEMENT